Bulan syawal tiba, setelah Ramadhan
terlewati beberapa waktu yang lalu. Bulan ini identik dengan berkumpul dengan
keluarga besar, bermaafan, saling mengunjungi dan berbagai ritual sosial khas
daerah masing-masing. Dan yang jelas, bulan ini juga dianggap sebagai bulan
baik untuk melangsungkan pernikahan. Terbukti, dalam waktu seminggu saja,
jadwal jagongan Bapak lebih dari 7 tempat yang berbeda. Dalam satu hari,
Bapak bisa perbaikan gizi lebih dari satu kali, begitu beliau mengistilahkan.
Adat masih sangat menjerat masyarakat. Pemilihan waktu untuk melangsungkan
pernikahan masih berdasar pada perhitungan njlimet ala kejawen. Tidak boleh
begini, tidak boleh begitu. Anak yang lahir pasaran paing tidak cocok jika
menikah dengan wage dan lain sebagainya. Hal yang paling ditakutkan adalah jika
kepercayaan tersebut secara tidak sadar menggerus kepercayaan kepada yang di
atas. Begitulah masyarakat kita saat ini, di zaman yang berlabel globalisasi.
Waktu untuk kembali masuk seklah
pun tiba.
Bergerombol anak perempuan di
belakang kelas seperti sedang merencanakan sesuatu. Seperti biasa, aku duduk di
meja guru di samping kanan kelas. Sambil menghadap laptop, aku makan snack yang
telah susah-susah diantar oleh bu Parti yang cukup bisa mengganjal rasa laparku
pagi itu. Terima kasih Bu Parti. Resoles ditemani oleh cabai kecil berwarna
hijau dan caragesing membuat mataku kembali awas, nafasku kembali normal dan
yang jelas tenagaku kembali pada titik aman walaupun tidak begitu maksimal.
Ketika aku mulai memegang tuts huruf pada laptop di depanku, beberapa anak
perempuan mendekat dan bertanya, “Ibu lagi ngapain?”, tanya salah satu diantara
mereka. “Ibu sedang ngetik, nih kalian lihat kan”, jawabku santai. “Ngetik apa
bu?”, lanjut yang lain. “Ngetik apa ya, mau tahu aja atau mau tahu banget?”,
candaku. “Ah, bu guru ini lho alay”. “Loh, alay gimana. Ibu kan tanya bener.”
“Iya deh.” “Bu, gantian saya mau tanya boleh?” , tanyanya. “Boleh aja, tanya
apa?”, sambil kuhentikan pekerjaanku dan menghadap langsung padanya. “Bu, apa
bedanya cutter dan cowok?” Aku tidak begitu kaget dengan pertanyaan teka-teki
dari anak-anak. Karena kami memang seringkali saling bertanya tentang teka-teki
karena itu mengaktifkan otak untuk senantiasa mencari jawaban yang kreatif.
Yang memberikan pertanyaan pun tertantang untuk kreatif membuat atau mencari
sumber di buku maupun internet. Aku mengernyitkan dahi, “Apa ya bedanya,. Emmmmm,
kalau cutter itu kan benda mati, kalau cowok itu benda hidup”, jawabku. “Bukan
bu, bu guru salah”, bantahnya sambil tersenyum tanda bahagia karena aku tidak
bisa menjawab. “Terus apa dong jawabannya?”, tanyaku. “Bu guru sudah nyerah?”
“Iya deh, bu guru nyerah”, kataku. “Bedanya cutter sama cowok itu tipis bu.
Kalau cutter itu untuk merobek kertas, kalau cowok itu merobek hatimu”,
jawabnya sambil menunjuk ke arah dadaku. Seketika aku tertawa mendengar
jawabannya. “Kamu dapat teka-teki itu darimana?”, kulanjutkan dengan
pertanyaan. “Dari kakak bu, kakak saya bilang kalau cowok itu sering melukai
hati perempuan bu, merobek gitu lah. Istilah kerennya bikin broken heart”,
paparnya polos. “Oh ya, emang kakakmu pernah dirobek hatinya sama cowok?”. “Iya
bu, pernah. Kakak saya sampai nangis, gak mau makan berhari-hari”. “Oh ya,
terus apa yang kamu lakukan waktu itu?”, lanjutku. “Ya saya bilang sama kakak
kalau gak usah sedih. Kan masih banyak cowok di dunia ini yang mau sama kakak. Tingga
cari yang lain aja kok repot”, tandasnya. Kuacungkan jempol di hadapannya
sekaligus berkata, “Trus kakakmu reaksinya gimana kamu bilang begitu.” “Itu bu,
kakak saya malah marah-marah. Katanya, kamu gak tahu sih yang kakak rasakan,
bilang gitu sambil nangis tambah kenceng. Saya langsung lari keluar kamar bu.
Takut kakak saya ngamuk.” Aku tersenyum mendengar penjelasan polos anak itu.
“Niatmu itu baik sayang, kamu pasti pengin kakakmu tersenyum lagi kan?”, anak
itu menjawab dengan menganggukkan kepala. “Sini bu guru kasih tahu”. Mereka
semakin mendekat. “Kadang, orang dewasa itu perlu waktu untuk berpikir sendiri.
Kakakmu juga sudah tahu apa yang kamu katakan. Cuma, dia perlu waktu untuk
mengatasi masalahnya itu. Bu guru yakin, dalam beberapa waktu ke depan kakakmu
sudah biasa lagi kok”, jelasku. “Begitu ya bu, jadi orang dewasa itu ribet ya,
apa-apa dipikirin”, jawabnya sambil berlalu mengambil makan yang sudah diantar
oleh pak Di. Aku cuma bisa tertawa mendengar kata-katanya itu.
Dalam hati, aku seperti mengiyakan
perumpamaan antara cutter dan cowok itu. Teka-teki itu muncul di saat yang
tepat dengan apa yang kurasakan. Beberapa minggu yang lalu, seorang yang kudambakan
dan kuharapkan menjadi pendamping hidup pun akhirnya mengatakan “Kita
bersaudara saja ya dek.” Kata-kata itu meluncur dengan sangat enteng dari
mulutnya. Tapi tidak seenteng ketika masuk ke hatiku. Berat rasanya hujaman
kenyataan itu. Ahh... ingatanku mulai lagi. Sekuat aku mencoba untuk mengatakan
iya di bibir, tapi ternyata tidak di dalam hati. Apakah bisa dikatakan seperti
cutter yang telah merobek kertas, pikirku. Tapi jujur, ketika aku mengingatnya,
seperti ada lubang menganga di sudut hati ini yang belum tertambal dengan
sempurna. Tekadku, waktu yang berjalan akan mengobatinya.
Kutepiskan pikiran itu sambil
beranjak menghampiri anak- anak yang sedang makan bersama di atas karpet di
sudut kelas. Sambil bercanda dengan mereka, pikirku masih melayang. Bagaimanapun
guru juga manusia, punya rasa punya hati kata candil di dalam salah satu syair
lagunya. Guru juga mempunyai sisi kemanusiaan yang juga dialami oleh orang
kebanyakan. Sisi tersebut justru kadang membuatku belajar untuk bisa bersikap
lebih bijak ketika menghadapi setiap pertanyaan murid yang berkaitan dengan
pelajaran kehidupan. Toh, suatu saat mereka pun akan menjadi manusia dewasa
yang sedikit banyak akan merasai apa yang mungkin kurasakan saat ini. Proses
timbal balik pun terjadi. Bagaimana kita orang dewasa harus belajar bagaimana
mensikapi sesuatu menurut kacamata anak-anak. Sikap santai, ikhlas, mudah lupa
terhadap satu masalah adalah beberapa yang bisa kita ambil dari kearifan
anak-anak kita. Terima kasih anak-anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar