Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Rabu, 21 April 2021

Ranadhan Day-8: Gombalisasi: Apa Beda Cutter dan Cowok?

 


Bulan syawal tiba, setelah Ramadhan terlewati beberapa waktu yang lalu. Bulan ini identik dengan berkumpul dengan keluarga besar, bermaafan, saling mengunjungi dan berbagai ritual sosial khas daerah masing-masing. Dan yang jelas, bulan ini juga dianggap sebagai bulan baik untuk melangsungkan pernikahan. Terbukti, dalam waktu seminggu saja, jadwal jagongan Bapak lebih dari 7 tempat yang berbeda. Dalam satu hari, Bapak bisa perbaikan gizi lebih dari satu kali, begitu beliau mengistilahkan. Adat masih sangat menjerat masyarakat. Pemilihan waktu untuk melangsungkan pernikahan masih berdasar pada perhitungan njlimet ala kejawen. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Anak yang lahir pasaran paing tidak cocok jika menikah dengan wage dan lain sebagainya. Hal yang paling ditakutkan adalah jika kepercayaan tersebut secara tidak sadar menggerus kepercayaan kepada yang di atas. Begitulah masyarakat kita saat ini, di zaman yang berlabel globalisasi.

Waktu untuk kembali masuk seklah pun tiba.

Bergerombol anak perempuan di belakang kelas seperti sedang merencanakan sesuatu. Seperti biasa, aku duduk di meja guru di samping kanan kelas. Sambil menghadap laptop, aku makan snack yang telah susah-susah diantar oleh bu Parti yang cukup bisa mengganjal rasa laparku pagi itu. Terima kasih Bu Parti. Resoles ditemani oleh cabai kecil berwarna hijau dan caragesing membuat mataku kembali awas, nafasku kembali normal dan yang jelas tenagaku kembali pada titik aman walaupun tidak begitu maksimal. Ketika aku mulai memegang tuts huruf pada laptop di depanku, beberapa anak perempuan mendekat dan bertanya, “Ibu lagi ngapain?”, tanya salah satu diantara mereka. “Ibu sedang ngetik, nih kalian lihat kan”, jawabku santai. “Ngetik apa bu?”, lanjut yang lain. “Ngetik apa ya, mau tahu aja atau mau tahu banget?”, candaku. “Ah, bu guru ini lho alay”. “Loh, alay gimana. Ibu kan tanya bener.” “Iya deh.” “Bu, gantian saya mau tanya boleh?” , tanyanya. “Boleh aja, tanya apa?”, sambil kuhentikan pekerjaanku dan menghadap langsung padanya. “Bu, apa bedanya cutter dan cowok?” Aku tidak begitu kaget dengan pertanyaan teka-teki dari anak-anak. Karena kami memang seringkali saling bertanya tentang teka-teki karena itu mengaktifkan otak untuk senantiasa mencari jawaban yang kreatif. Yang memberikan pertanyaan pun tertantang untuk kreatif membuat atau mencari sumber di buku maupun internet. Aku mengernyitkan dahi, “Apa ya bedanya,. Emmmmm, kalau cutter itu kan benda mati, kalau cowok itu benda hidup”, jawabku. “Bukan bu, bu guru salah”, bantahnya sambil tersenyum tanda bahagia karena aku tidak bisa menjawab. “Terus apa dong jawabannya?”, tanyaku. “Bu guru sudah nyerah?” “Iya deh, bu guru nyerah”, kataku. “Bedanya cutter sama cowok itu tipis bu. Kalau cutter itu untuk merobek kertas, kalau cowok itu merobek hatimu”, jawabnya sambil menunjuk ke arah dadaku. Seketika aku tertawa mendengar jawabannya. “Kamu dapat teka-teki itu darimana?”, kulanjutkan dengan pertanyaan. “Dari kakak bu, kakak saya bilang kalau cowok itu sering melukai hati perempuan bu, merobek gitu lah. Istilah kerennya bikin broken heart”, paparnya polos. “Oh ya, emang kakakmu pernah dirobek hatinya sama cowok?”. “Iya bu, pernah. Kakak saya sampai nangis, gak mau makan berhari-hari”. “Oh ya, terus apa yang kamu lakukan waktu itu?”, lanjutku. “Ya saya bilang sama kakak kalau gak usah sedih. Kan masih banyak cowok di dunia ini yang mau sama kakak. Tingga cari yang lain aja kok repot”, tandasnya. Kuacungkan jempol di hadapannya sekaligus berkata, “Trus kakakmu reaksinya gimana kamu bilang begitu.” “Itu bu, kakak saya malah marah-marah. Katanya, kamu gak tahu sih yang kakak rasakan, bilang gitu sambil nangis tambah kenceng. Saya langsung lari keluar kamar bu. Takut kakak saya ngamuk.” Aku tersenyum mendengar penjelasan polos anak itu. “Niatmu itu baik sayang, kamu pasti pengin kakakmu tersenyum lagi kan?”, anak itu menjawab dengan menganggukkan kepala. “Sini bu guru kasih tahu”. Mereka semakin mendekat. “Kadang, orang dewasa itu perlu waktu untuk berpikir sendiri. Kakakmu juga sudah tahu apa yang kamu katakan. Cuma, dia perlu waktu untuk mengatasi masalahnya itu. Bu guru yakin, dalam beberapa waktu ke depan kakakmu sudah biasa lagi kok”, jelasku. “Begitu ya bu, jadi orang dewasa itu ribet ya, apa-apa dipikirin”, jawabnya sambil berlalu mengambil makan yang sudah diantar oleh pak Di. Aku cuma bisa tertawa mendengar kata-katanya itu.

Dalam hati, aku seperti mengiyakan perumpamaan antara cutter dan cowok itu. Teka-teki itu muncul di saat yang tepat dengan apa yang kurasakan. Beberapa minggu yang lalu, seorang yang kudambakan dan kuharapkan menjadi pendamping hidup pun akhirnya mengatakan “Kita bersaudara saja ya dek.” Kata-kata itu meluncur dengan sangat enteng dari mulutnya. Tapi tidak seenteng ketika masuk ke hatiku. Berat rasanya hujaman kenyataan itu. Ahh... ingatanku mulai lagi. Sekuat aku mencoba untuk mengatakan iya di bibir, tapi ternyata tidak di dalam hati. Apakah bisa dikatakan seperti cutter yang telah merobek kertas, pikirku. Tapi jujur, ketika aku mengingatnya, seperti ada lubang menganga di sudut hati ini yang belum tertambal dengan sempurna. Tekadku, waktu yang berjalan akan mengobatinya.

Kutepiskan pikiran itu sambil beranjak menghampiri anak- anak yang sedang makan bersama di atas karpet di sudut kelas. Sambil bercanda dengan mereka, pikirku masih melayang. Bagaimanapun guru juga manusia, punya rasa punya hati kata candil di dalam salah satu syair lagunya. Guru juga mempunyai sisi kemanusiaan yang juga dialami oleh orang kebanyakan. Sisi tersebut justru kadang membuatku belajar untuk bisa bersikap lebih bijak ketika menghadapi setiap pertanyaan murid yang berkaitan dengan pelajaran kehidupan. Toh, suatu saat mereka pun akan menjadi manusia dewasa yang sedikit banyak akan merasai apa yang mungkin kurasakan saat ini. Proses timbal balik pun terjadi. Bagaimana kita orang dewasa harus belajar bagaimana mensikapi sesuatu menurut kacamata anak-anak. Sikap santai, ikhlas, mudah lupa terhadap satu masalah adalah beberapa yang bisa kita ambil dari kearifan anak-anak kita. Terima kasih anak-anakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar