Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Sabtu, 17 April 2021

Ramadhan Day 2: Sebait Perjalanan #1

 

                                           google.com


Seorang manusia menjalani kehidupan dunia dengan adanya prinsip. Tanpa prinsip itu sesungguhnya dia hanya akan menjadi seperti dedaunan yang bergerak tertiup angin kemanapun arahnya kan pergi. Tak bisa melawan, dan mungkin memang tak mau melawan. Mengalir pasrah tanpa usaha dan kekuatan.

Seorang manusia mendapat takdir dari Allah untuk menjadi seorang guru. Dalam hatinya telah terpatri sedari muda bahwa dia akan menjadi seorang pendidik yang berilmu dan bijaksana. Maka kisahpun terukir lewat perjalanan hidupnya yang indah.

Sang guru mendapat amanah untuk mengajar di sebuah sekolah tak begitu bernama karena memang sedang merintis untuk menjadi ada nama di masyarakat yang hingga sekarang masih berpendapat bahwa sekolah yang bagus itu adalah sekolah yang ternama alias ada nama (emang ada sekolah yang tidak ada nama ya?)

Kewajiban pun dia laksanakan, setiap tugas dia usahakan untuk dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Karena dalam prinsipnya, bahwa seseorang dihargai bukan karena uang, tampang, jabatan dan semacamnya. Tapi seseorang dihargai lewat dedikasinya dalam menjalankan tugas.

Dalam perjalanan menjalankan rutinitas kerjanya, dia berpikir ulang tentang orientasi hidupnya. Apakah memang ini yang ia cari. Mengapa pun ia bertanya? Mungkin lah tanya itu muncul ketika dia menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan sebuah hal yang terkesan monoton. Apalah dibilang begitu? Mengapa tidak. Setelah bangun dari tidur, persiapan aktivitas pun dia jalankan. Kadang sembari mendengarkan senandung yang membersitkan impian kehidupan masa depan. Setelah itu, berangkatlah ia ditemani kendaraan yang apa adanya ia punya. Jika tidak ada pun, kadang bus dan ojek jadi pelarian

Setelah sampai di tempat pencarian rizky, dia pun segera malaksanakan kewajiban mulai dari mengajar hingga mengisi administrasi. Rutinitas yang sama setiap hari. Masuk dan keluar kelas, mengajarkan hal yang sama,  selalu sama. Apatah itu yang membuatnya kembali bertanya tentang orientasi hidupnya. Pun pernah terpikir olehnya bahwa dia bukan hanya milik satu instansi saja. Ada banyak lembaga di luar sana yang layaknya mengajaknya untuk berkiprah pula. Namun apa daya, kadang dia tak kuasa dengan kewajibannya.

Dalam hal keilmuan pun, dia merasa ada yang berubah. Dahulunya dia adalah orang yang haus akan ilmu, apapun itu. Kini, dia merasa ada stagnasi pikiran dan semangat untuk kompetisi itu. Semua mengalir begitu saja. Tak ada riak yang mewarnai perjalanannya. “Layaknya katak dalam tempurung” itulah yang dia sematkan untuk menggelari dirinya.

Pergolakan batin pun menggejala. Tak bisa dia membiarkan dirinya berada dalam kubangan yang tak berujung. Tak bisa pun dia berharap bahwa lingkungan segera berubah. Dia sendiri yang harus menciptakan perubahan itu. Ibarat sebuah benih, ketika ia berada dalam tanah yang subur maka ia akan tumbuh dengan baik. Pun ketika ia ditempatkan pada lahan tandus, maka ia harus berusaha untuk tetap bisa bertahan. Bahkan, setidaknya justru dia yang berperan sebagai pupuk untuk mengubah tanah yang tandus itu menjadi subur. Itulah azzam dalam hatinya.

Azzam itu pun dia patri dalam hati dan terejawantah dalam tindakan. Peluang pun diciptakan dengan sokongan beberapa teman. Ladang diskusi tentang keilmuan atau biasa dia bilang dengan istilah kongkow-kongkow yang mencerdaskan (Teringat dia ucapkan ini pertama kali waktu berada di bangku kuliah, ketika dia senang berdiskusi menunggu datangnya dosen ke kelas. Entah kapan itu kan terulang. Kurindu kebersamaan itu. Yah, kongkow-kongkow yang mencerdaskan). Berbagai peluang keilmuan dia coba geluti hingga beberapa kali dia menghubungi beberapa teman termasuk yang menulis cerita ini. Dia memohon untuk dibantu dalam penciptaan peluang itu. Rata-rata dari kami menjawab, “Oke, dengan senang hati!”. Senyum terkembang di bibirnya. Senyum yang sering aku lihat ketika dulu dia berhasil mendapatkan apa yang dia citakan. Dan kinipun aku berharap teman, kau mendapatkan apa yang kau citakan sehingga senyum itu pun tetap terkembang.

Bagiku, kau ibarat burung. Burung yang senang terbang bebas ke angkasa luas. Menembus cakrawala kehidupan. Menjelajah pengalaman dan petualangan yang serba baru. Tak gentar oleh angin, hujan, badai, topan ataupun segala hal yang kan merintangi perjalananmu untuk meraih citamu. Dulu pun kau tak ubahnya pula seperti itu. Kuingat betapa antusias ketika kau bercerita tentang angan indahmu, goresan citamu yang ingin kau wujudkan meskipun kau sadar itu tak mudah. Kulihat bagaimana keadaan telah menempamu menjadi seperti sekarang ini. Kau layak karang yang tak tergoyah oleh ombak. Prinsip itu sampai saat ini kau pegang erat. Namun, itu semua hanya kenangku akanmu. Karena kini, tak bisa kulihat lagi engkau berpontang-panting mengejar asamu, tak kudengar lagi ceritamu tentang angan indahmu, tak kurasakan pelukmu di dekatku meminta untuk dikuatkan walaupun kutahu kau telah begitu kuatnya. Yang tetap terngiang dalam pikirku adalah semangatmu. Semangat yang kurasa tak pernah pudar dan tak pernah sedikitpun berkurang. Kubayangkan kini kau terbang, terbang laksana burung yang menjemput asa di tempat tinggi nun jauh di sana. Di relung hatiku, jujur ku rindu padamu. Rindu akan semangatmu.

Wahai burung, terbanglah mengangkasa. Ku tahu di luar sana citamu menunggu. Hanya ku bisa pinta kepada-Nya lewat do’a bahwa suatu saat kau kan berhasil menggapai apa yang kau impikan.  Suatu saat ketika kelak umur masih mempertemukan kita, maka satu yang ingin kulihat darimu. Senyum itu, yah senyum kemenangan atas citamu, ketundukkan akan takdir-Nya yang memperjalankanmu menjadi seperti yang kau inginkan. Tentunya atas kehendak dan ridho-Nya.


Nafisah Al Akhfiya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar