google.com
Seorang manusia
menjalani kehidupan dunia dengan adanya prinsip. Tanpa prinsip itu sesungguhnya
dia hanya akan menjadi seperti dedaunan yang bergerak tertiup angin kemanapun
arahnya kan pergi. Tak bisa melawan, dan mungkin memang tak mau melawan.
Mengalir pasrah tanpa usaha dan kekuatan.
Seorang manusia
mendapat takdir dari Allah untuk menjadi seorang guru. Dalam hatinya telah
terpatri sedari muda bahwa dia akan menjadi seorang pendidik yang berilmu dan
bijaksana. Maka kisahpun terukir lewat perjalanan hidupnya yang indah.
Sang guru mendapat
amanah untuk mengajar di sebuah sekolah tak begitu bernama karena memang sedang
merintis untuk menjadi ada nama di masyarakat yang hingga sekarang masih
berpendapat bahwa sekolah yang bagus itu adalah sekolah yang ternama alias ada
nama (emang ada sekolah yang tidak ada nama ya?)
Kewajiban pun dia
laksanakan, setiap tugas dia usahakan untuk dilaksanakan dengan sebaik mungkin.
Karena dalam prinsipnya, bahwa seseorang dihargai bukan karena uang, tampang,
jabatan dan semacamnya. Tapi seseorang dihargai lewat dedikasinya dalam
menjalankan tugas.
Dalam perjalanan
menjalankan rutinitas kerjanya, dia berpikir ulang tentang orientasi hidupnya.
Apakah memang ini yang ia cari. Mengapa pun ia bertanya? Mungkin lah tanya itu
muncul ketika dia menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan sebuah hal
yang terkesan monoton. Apalah dibilang begitu? Mengapa tidak. Setelah bangun
dari tidur, persiapan aktivitas pun dia jalankan. Kadang sembari mendengarkan
senandung yang membersitkan impian kehidupan masa depan. Setelah itu,
berangkatlah ia ditemani kendaraan yang apa adanya ia punya. Jika tidak ada
pun, kadang bus dan ojek jadi pelarian
Setelah sampai di
tempat pencarian rizky, dia pun segera malaksanakan kewajiban mulai dari
mengajar hingga mengisi administrasi. Rutinitas yang sama setiap hari. Masuk
dan keluar kelas, mengajarkan hal yang sama,
selalu sama. Apatah itu yang membuatnya kembali bertanya tentang
orientasi hidupnya. Pun pernah terpikir olehnya bahwa dia bukan hanya milik
satu instansi saja. Ada banyak lembaga di luar sana yang layaknya mengajaknya
untuk berkiprah pula. Namun apa daya, kadang dia tak kuasa dengan kewajibannya.
Dalam hal keilmuan
pun, dia merasa ada yang berubah. Dahulunya dia adalah orang yang haus akan
ilmu, apapun itu. Kini, dia merasa ada stagnasi pikiran dan semangat untuk
kompetisi itu. Semua mengalir begitu saja. Tak ada riak yang mewarnai
perjalanannya. “Layaknya katak dalam tempurung” itulah yang dia sematkan untuk
menggelari dirinya.
Pergolakan batin pun
menggejala. Tak bisa dia membiarkan dirinya berada dalam kubangan yang tak
berujung. Tak bisa pun dia berharap bahwa lingkungan segera berubah. Dia
sendiri yang harus menciptakan perubahan itu. Ibarat sebuah benih, ketika ia
berada dalam tanah yang subur maka ia akan tumbuh dengan baik. Pun ketika ia
ditempatkan pada lahan tandus, maka ia harus berusaha untuk tetap bisa
bertahan. Bahkan, setidaknya justru dia yang berperan sebagai pupuk untuk
mengubah tanah yang tandus itu menjadi subur. Itulah azzam dalam hatinya.
Azzam itu pun dia
patri dalam hati dan terejawantah dalam tindakan. Peluang pun diciptakan dengan
sokongan beberapa teman. Ladang diskusi tentang keilmuan atau biasa dia bilang
dengan istilah kongkow-kongkow yang mencerdaskan (Teringat dia ucapkan ini
pertama kali waktu berada di bangku kuliah, ketika dia senang berdiskusi
menunggu datangnya dosen ke kelas. Entah kapan itu kan terulang. Kurindu
kebersamaan itu. Yah, kongkow-kongkow yang mencerdaskan). Berbagai peluang
keilmuan dia coba geluti hingga beberapa kali dia menghubungi beberapa teman
termasuk yang menulis cerita ini. Dia memohon untuk dibantu dalam penciptaan
peluang itu. Rata-rata dari kami menjawab, “Oke, dengan senang hati!”. Senyum
terkembang di bibirnya. Senyum yang sering aku lihat ketika dulu dia berhasil
mendapatkan apa yang dia citakan. Dan kinipun aku berharap teman, kau
mendapatkan apa yang kau citakan sehingga senyum itu pun tetap terkembang.
Bagiku, kau ibarat
burung. Burung yang senang terbang bebas ke angkasa luas. Menembus cakrawala
kehidupan. Menjelajah pengalaman dan petualangan yang serba baru. Tak gentar
oleh angin, hujan, badai, topan ataupun segala hal yang kan merintangi
perjalananmu untuk meraih citamu. Dulu pun kau tak ubahnya pula seperti itu.
Kuingat betapa antusias ketika kau bercerita tentang angan indahmu, goresan
citamu yang ingin kau wujudkan meskipun kau sadar itu tak mudah. Kulihat
bagaimana keadaan telah menempamu menjadi seperti sekarang ini. Kau layak
karang yang tak tergoyah oleh ombak. Prinsip itu sampai saat ini kau pegang
erat. Namun, itu semua hanya kenangku akanmu. Karena kini, tak bisa kulihat
lagi engkau berpontang-panting mengejar asamu, tak kudengar lagi ceritamu
tentang angan indahmu, tak kurasakan pelukmu di dekatku meminta untuk dikuatkan
walaupun kutahu kau telah begitu kuatnya. Yang tetap terngiang dalam pikirku
adalah semangatmu. Semangat yang kurasa tak pernah pudar dan tak pernah
sedikitpun berkurang. Kubayangkan kini kau terbang, terbang laksana burung yang
menjemput asa di tempat tinggi nun jauh di sana. Di relung hatiku, jujur ku
rindu padamu. Rindu akan semangatmu.
Wahai burung, terbanglah mengangkasa. Ku tahu di luar sana citamu menunggu. Hanya ku bisa pinta kepada-Nya lewat do’a bahwa suatu saat kau kan berhasil menggapai apa yang kau impikan. Suatu saat ketika kelak umur masih mempertemukan kita, maka satu yang ingin kulihat darimu. Senyum itu, yah senyum kemenangan atas citamu, ketundukkan akan takdir-Nya yang memperjalankanmu menjadi seperti yang kau inginkan. Tentunya atas kehendak dan ridho-Nya.
Nafisah Al Akhfiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar