Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Kamis, 22 April 2021

Ramadhan Day-9: Tangan Bicara

 


Karakteristik anak mencerminkan kondisi kelas. Kadang terdapat kelas yang mendapat cap dari beberapa guru karena situasi yang ada di dalamnya. Kelas yang rame, kelas yang aktif, kelas yang anteng, dan kelas yang lain sebagainya. Cap tersebut diberikan berdasar apa yang guru alami ketika mengajar di dalamnya. Kondisi tersebut tercipta oleh perpaduan komposisi anak yang mendiami kelas tersebut.

Begitu pula yang kualami ketika berada di kelasku sekarang ini. Dengan jumlah anak 28, merupakan percampuran karakter yang tak bisa terbayangkan. Awal pertemuan dengan jumlah anak yang tidak sedikit dan berbagai karakter yang melengkapi diperlukan manajemen kelas yang senantiasa dipertimbangkan. Salah satunya adalah dalam hal pembagian kelas menjadi beberapa kelompok kecil.

Sudah menjadi kebiasaan di awal tahun, anak-anak akan kubagi menjadi lima kelompok dengan percampuran laki-laki dan perempuan. Penempatannya pun tidak sembarangan. Aku harus mempertimbangkan  tipikal masing-masing anak. Anak yang terbilang aktif tidak bisa dijadikan dalam satu kelompok, begitu pula anak yang aktif. Nanti yang aktif semakin aktif, yang pasif akan jalan di tempat.

“Nak, bu guru hari ini akan membagi kalian menjadi lima kelompok .Tujuannya agar kalian dapat saling kenal dan bekerjasama, “ terangku untuk mengawali kegiatan pada hari itu.

“Kelompok saya siapa saja, Bu?’ tanya Alfa, anak yang duduk paling depan.

“Akan Bu guru bacakan. Setelah itu, kalian berpindah tempat sesuai dengan kelompok yang telah Bu Guru bagi ya.”

Aku membacakan susunan kelompok satu sampai dengan lima.

“Nah. Itu tadi kelompoknya. Sekarang dengan berjalan pelan dan tanpa banyak ngobrol, silahkan anak-anak berpindah tempat. Kelompok satu silahkan duduk di barisan paling kanan.” Tuntunku. Anak-anak mulai beranjak dari tempat duduknya. Ada yang sangat bersemangat, namun ada pula yang ogah-ogahan karena mendapat teman satu kelompok yang agak kurang cocok.

“Dilanjutkan kelompok dua, disusul kelompok tiga sampai dengan kelompok lima.” Semua anak sudah duduk di tempatnya. Beberapa langsung akrab mengobrol, saling bertukar tempat atau sekedar so bersama. Namun, tak ayal ada pula yang duduk tepekur sambil cemberut karena merasa tidak terima dengan pembagian kelompok hari ini.

“Sekarang, kelompok kita sudah terbentuk. Bu Guru lihat dari tadi Irsyad diam saja sambil cemberut, kenapa Nak? “

“Saya nggak mau sekelompok sama Alfa Bu!”, sergahnya,

“Kenapa Irsyad tidak mau sekelompok dengan Alfa? Boleh Ibu tahu alasannya?”

“Saya nggak suka, karena Alfa anaknya suka mukul Bu?” Mataku melirik ke arah Alfa.

“Apakah betul Alfa apa yang dikatakan Irsyad?” tanyaku mengagetkannya.

“Iya Bu”, jawabnya singkat sambil menunduk.

“Kenapa Alfa suka memukul Irsyad?”

“Ya, Cuma pengin mukul aja Bu.”

“Alfa gemes sama Irsyad gitu?”

“Iya, di rumah saya juga gitu Bu kalo sama adek.”

“O,begitu ya”. Aku memutar otak mencari cara untuk memahamkan semua anak.

“Begini, Bu guru punya pertanyaan untuk semua.” Aku mulai masuk pada prolog dari apa yang ingin kusampaikan.

“Siapa yang menciptakan tangan kita ini?”

“Allah”, jawab mereka serempak.

“Allah memberi kita tangan. Kita semua punya tangan kan ya? Ada nggak di kelas ini yang mungkin tangannya tidak lengkap atau tidak sempurna?”

“Nggak ada Bu”, jawab mereka lagi.

“Tapi, saya pernah melihat ada orang yang nggak punya tangan, Bu”, timpal Erm dengan ditambahi beberapa anak yang menceritakan pengalamannya bertemu orang yang tangannya tak lengkap atau tak sempurna.

“Betul sekali. Memang Allah menciptakan beberapa hambanya tidak mempunyai tangan yang lengkap. Tapi bukan berarti ciptaan Allah tidak sempurna”.

“Nah, sekarang Bu Guru lanjutkan bertanya. Tangan diciptakan untuk apa ya?”

“Untuk memegang”, jawab beberapa anak.

“Untuk makan, mandi, ngambil barang”, tambah yang lain. Riuh rendah semua anak ingin memberikan pendapatnya.

“Subhanallah, jawaban kalian semua benar.”

“Bagaimana dengan Alfa, tangan itu digunakan untuk apa Nak?”

“Untuk megang, garuk-garuk kalau gatal”, sontak semua tertawa termasuk aku tentunya.

“Nah, berarti boleh tidak kalau tangan digunakan untuk memukul?”

“Tidak Bu”, jawab Alfa.

“Bagus, Alfa. Dan Bu Guru percaya bahwa mulai hari ini Alfa tidak akan menggunakan tangan yang diberikan Allah ini untuk memukul lagi”, terangku sambil mendekat dan menyentuh tangan kecilnya.

“Tangan ini Allah ciptakan untuk membantu orang lain. Karena suatu saat nanti, tangan ini akan bicara, bersaksi di hadapan Allah atas apa yang pernah dilakukannya di dunia ini.”

“Loh, emang tangan bisa bicara Bu?”, tanya Rendra.

“Di akhirat nanti, ketika perhitungan amal, tidak hanya tangan yang bisa berbicara. Semua anggota tubuh ini akan berbicara, bersaksi di hadapan Allah SWT. Jika waktu di dunia tangan digunakan untuk mencuri, maka tangan ini akan mengatakan, Allah aku dulu di dunia digunakan untuk mencuri (kuperagakan tangan yang sedang bicara)”

“Jadi, tidak ada yang bisa berbohong lagi di hadapan Allah, karena saksinya banyak.”

“Wah, berarti harus hati-hati ya Bu.”

“Betul sekali, Nak. Coba, kalian percaya nggak kalau setiap hari ada yang mengawasi kita?”

“Percaya Bu, kan ada Malaikat Raqib Atid di sini,” ucap Irma sambil menunjuk pundaknya.

“Iya, betul. Selain itu, ada yang setiap hari melihat kita. Walaupun kita tidak bisa melihat-Nya, tapi kita harus merasa bahwa kita senantiasa diawasi.”

Ketika diskusi berjalan, Alfa mengacungkan tangannya.

“Iya, Alfa. Ada apa Nak?”

“Bu, saya kan sudah banyak memukul teman. Allah akan memaafkan nggak?”

Kutatap Alfa dengan senyum, kemudian aku beranjak dan mendekatinya.

“Alfa, Allah itu Maha Pemaaf, Al Ghafur. Allah akan mengampuni setiap hamba yang meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Alfa tinggal minta saja sama Allah”, terangku sambil mengusap rambutnya.

“Selain itu, Alfa juga harus meminta maaf kepada teman yang pernah dipukul serta berjanji bahwa tidak akan mengulangi lagi.”

“Iya, Bu.”

“Nah, coba sekarang anak-anak bu guru berikan waktu untuk mengingat-ingat. Kira-kira ada tidak teman dalam satu kelas ini yang pernah tersakiti. Kalau ada, silahkan berjalan ke teman tersebut dan minta maaaflah dengan baik. Kita awali hari ini dengan saling memaafkan.”

Semua anak mencoba berpikir, ada pula yang saling pandang dan saling tunjuk menandakan pernah ada kejadian diantara mereka. Beberapa langsung berjalan menuju temannnya dan bersalaman kemudian mengucapkan kata maaf. Pemandangan yang sangat indah.

“Bu, saya mau minta maaf,” sela Rendra mengagetkanku.

“Minta maaf untuk apa Nak?”

“Sebenarnya yang menyembunyikan sepatu Bu Guru kemarin itu saya. Saya takut nanti tangan saya bicara waktu di akhirat.”

Kutatap Rendra dan kukatakan, “Iya, Nak. Bu Guru maafkan. Besok lagi jangan diulangi ya.”

“Iya, Bu. Tapi Bu Guru juga harus minta maaf.”

Aku mendengarkan sambil terbengong.

“Bu Guru kemarin kan marah-marah waktu sepatunya nggak ketemu.”

Jleb, rasanya menohok hati. Teringat kemarin waktu sepatu hilang sempat mengeluarkan kata dengan nada keras seperti orang marah. 

“Iya, Bu Guru minta maaf ya. Terima kasih Nak telah mengingatkan Bu Guru.”

Senyum terkembang ketika kulangkahkan keluar dari kelas tersebut. Terima kasih Ya Rabb. Satu pintaku, buka hati-hati kecil ini untuk selalu merasa diawasi oleh-Mu. Begitu pula yang memohon doa ini.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar