Karakteristik
anak mencerminkan kondisi kelas. Kadang terdapat kelas yang mendapat cap dari
beberapa guru karena situasi yang ada di dalamnya. Kelas yang rame, kelas yang
aktif, kelas yang anteng, dan kelas yang lain sebagainya. Cap tersebut
diberikan berdasar apa yang guru alami ketika mengajar di dalamnya. Kondisi
tersebut tercipta oleh perpaduan komposisi anak yang mendiami kelas tersebut.
Begitu
pula yang kualami ketika berada di kelasku sekarang ini. Dengan jumlah anak 28,
merupakan percampuran karakter yang tak bisa terbayangkan. Awal pertemuan
dengan jumlah anak yang tidak sedikit dan berbagai karakter yang melengkapi
diperlukan manajemen kelas yang senantiasa dipertimbangkan. Salah satunya
adalah dalam hal pembagian kelas menjadi beberapa kelompok kecil.
Sudah
menjadi kebiasaan di awal tahun, anak-anak akan kubagi menjadi lima kelompok
dengan percampuran laki-laki dan perempuan. Penempatannya pun tidak
sembarangan. Aku harus mempertimbangkan
tipikal masing-masing anak. Anak yang terbilang aktif tidak bisa
dijadikan dalam satu kelompok, begitu pula anak yang aktif. Nanti yang aktif
semakin aktif, yang pasif akan jalan di tempat.
“Nak,
bu guru hari ini akan membagi kalian menjadi lima kelompok .Tujuannya agar
kalian dapat saling kenal dan bekerjasama, “ terangku untuk mengawali kegiatan
pada hari itu.
“Kelompok
saya siapa saja, Bu?’ tanya Alfa, anak yang duduk paling depan.
“Akan
Bu guru bacakan. Setelah itu, kalian berpindah tempat sesuai dengan kelompok
yang telah Bu Guru bagi ya.”
Aku
membacakan susunan kelompok satu sampai dengan lima.
“Nah.
Itu tadi kelompoknya. Sekarang dengan berjalan pelan dan tanpa banyak ngobrol,
silahkan anak-anak berpindah tempat. Kelompok satu silahkan duduk di barisan
paling kanan.” Tuntunku. Anak-anak mulai beranjak dari tempat duduknya. Ada
yang sangat bersemangat, namun ada pula yang ogah-ogahan karena mendapat teman
satu kelompok yang agak kurang cocok.
“Dilanjutkan
kelompok dua, disusul kelompok tiga sampai dengan kelompok lima.” Semua anak
sudah duduk di tempatnya. Beberapa langsung akrab mengobrol, saling bertukar
tempat atau sekedar so bersama. Namun, tak ayal ada pula yang duduk tepekur
sambil cemberut karena merasa tidak terima dengan pembagian kelompok hari ini.
“Sekarang,
kelompok kita sudah terbentuk. Bu Guru lihat dari tadi Irsyad diam saja sambil
cemberut, kenapa Nak? “
“Saya
nggak mau sekelompok sama Alfa Bu!”, sergahnya,
“Kenapa
Irsyad tidak mau sekelompok dengan Alfa? Boleh Ibu tahu alasannya?”
“Saya
nggak suka, karena Alfa anaknya suka mukul Bu?” Mataku melirik ke arah Alfa.
“Apakah
betul Alfa apa yang dikatakan Irsyad?” tanyaku mengagetkannya.
“Iya
Bu”, jawabnya singkat sambil menunduk.
“Kenapa
Alfa suka memukul Irsyad?”
“Ya,
Cuma pengin mukul aja Bu.”
“Alfa
gemes sama Irsyad gitu?”
“Iya,
di rumah saya juga gitu Bu kalo sama adek.”
“O,begitu
ya”. Aku memutar otak mencari cara untuk memahamkan semua anak.
“Begini,
Bu guru punya pertanyaan untuk semua.” Aku mulai masuk pada prolog dari apa
yang ingin kusampaikan.
“Siapa
yang menciptakan tangan kita ini?”
“Allah”,
jawab mereka serempak.
“Allah
memberi kita tangan. Kita semua punya tangan kan ya? Ada nggak di kelas ini
yang mungkin tangannya tidak lengkap atau tidak sempurna?”
“Nggak
ada Bu”, jawab mereka lagi.
“Tapi,
saya pernah melihat ada orang yang nggak punya tangan, Bu”, timpal Erm dengan
ditambahi beberapa anak yang menceritakan pengalamannya bertemu orang yang
tangannya tak lengkap atau tak sempurna.
“Betul
sekali. Memang Allah menciptakan beberapa hambanya tidak mempunyai tangan yang
lengkap. Tapi bukan berarti ciptaan Allah tidak sempurna”.
“Nah,
sekarang Bu Guru lanjutkan bertanya. Tangan diciptakan untuk apa ya?”
“Untuk
memegang”, jawab beberapa anak.
“Untuk
makan, mandi, ngambil barang”, tambah yang lain. Riuh rendah semua anak ingin
memberikan pendapatnya.
“Subhanallah,
jawaban kalian semua benar.”
“Bagaimana
dengan Alfa, tangan itu digunakan untuk apa Nak?”
“Untuk
megang, garuk-garuk kalau gatal”, sontak semua tertawa termasuk aku tentunya.
“Nah,
berarti boleh tidak kalau tangan digunakan untuk memukul?”
“Tidak
Bu”, jawab Alfa.
“Bagus,
Alfa. Dan Bu Guru percaya bahwa mulai hari ini Alfa tidak akan menggunakan
tangan yang diberikan Allah ini untuk memukul lagi”, terangku sambil mendekat
dan menyentuh tangan kecilnya.
“Tangan
ini Allah ciptakan untuk membantu orang lain. Karena suatu saat nanti, tangan
ini akan bicara, bersaksi di hadapan Allah atas apa yang pernah dilakukannya di
dunia ini.”
“Loh,
emang tangan bisa bicara Bu?”, tanya Rendra.
“Di
akhirat nanti, ketika perhitungan amal, tidak hanya tangan yang bisa berbicara.
Semua anggota tubuh ini akan berbicara, bersaksi di hadapan Allah SWT. Jika
waktu di dunia tangan digunakan untuk mencuri, maka tangan ini akan mengatakan,
Allah aku dulu di dunia digunakan untuk mencuri (kuperagakan tangan yang sedang
bicara)”
“Jadi,
tidak ada yang bisa berbohong lagi di hadapan Allah, karena saksinya banyak.”
“Wah,
berarti harus hati-hati ya Bu.”
“Betul
sekali, Nak. Coba, kalian percaya nggak kalau setiap hari ada yang mengawasi
kita?”
“Percaya
Bu, kan ada Malaikat Raqib Atid di sini,” ucap Irma sambil menunjuk pundaknya.
“Iya,
betul. Selain itu, ada yang setiap hari melihat kita. Walaupun kita tidak bisa
melihat-Nya, tapi kita harus merasa bahwa kita senantiasa diawasi.”
Ketika
diskusi berjalan, Alfa mengacungkan tangannya.
“Iya,
Alfa. Ada apa Nak?”
“Bu,
saya kan sudah banyak memukul teman. Allah akan memaafkan nggak?”
Kutatap
Alfa dengan senyum, kemudian aku beranjak dan mendekatinya.
“Alfa,
Allah itu Maha Pemaaf, Al Ghafur. Allah akan mengampuni setiap hamba yang
meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Alfa tinggal minta saja sama
Allah”, terangku sambil mengusap rambutnya.
“Selain
itu, Alfa juga harus meminta maaf kepada teman yang pernah dipukul serta
berjanji bahwa tidak akan mengulangi lagi.”
“Iya,
Bu.”
“Nah,
coba sekarang anak-anak bu guru berikan waktu untuk mengingat-ingat. Kira-kira
ada tidak teman dalam satu kelas ini yang pernah tersakiti. Kalau ada, silahkan
berjalan ke teman tersebut dan minta maaaflah dengan baik. Kita awali hari ini
dengan saling memaafkan.”
Semua
anak mencoba berpikir, ada pula yang saling pandang dan saling tunjuk
menandakan pernah ada kejadian diantara mereka. Beberapa langsung berjalan
menuju temannnya dan bersalaman kemudian mengucapkan kata maaf. Pemandangan
yang sangat indah.
“Bu,
saya mau minta maaf,” sela Rendra mengagetkanku.
“Minta
maaf untuk apa Nak?”
“Sebenarnya
yang menyembunyikan sepatu Bu Guru kemarin itu saya. Saya takut nanti tangan
saya bicara waktu di akhirat.”
Kutatap
Rendra dan kukatakan, “Iya, Nak. Bu Guru maafkan. Besok lagi jangan diulangi
ya.”
“Iya,
Bu. Tapi Bu Guru juga harus minta maaf.”
Aku
mendengarkan sambil terbengong.
“Bu
Guru kemarin kan marah-marah waktu sepatunya nggak ketemu.”
Jleb,
rasanya menohok hati. Teringat kemarin waktu sepatu hilang sempat mengeluarkan
kata dengan nada keras seperti orang marah.
“Iya,
Bu Guru minta maaf ya. Terima kasih Nak telah mengingatkan Bu Guru.”
Senyum
terkembang ketika kulangkahkan keluar dari kelas tersebut. Terima kasih Ya
Rabb. Satu pintaku, buka hati-hati kecil ini untuk selalu merasa diawasi oleh-Mu.
Begitu pula yang memohon doa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar