Fenomena masyarakat saat ini sudah sangat jauh berubah. Peristiwa demi peristiwa menghias halaman depan surat kabar ataupun topik utama dalam pembahasan diskusi pada semua stasiun televisi. Tak tertinggal pula segala peristiwa yang membuat bulu kuduk ini bergidik menyaksikannya. Betapa tidak, berita mengenai kebrutalan anak kepada orang tua ataupun kebiadaban orang tua kepada anak sudah melampau batas fitrah yang selayaknya. Belum lagi tingkah polah para pemimpin negeri yang sudah tak malu lagi berbuat kesalahan yang akibatnya pun ditanggung oleh rakyatnya. Apakah itu? Korupsi sendiri ataupun dengan berjamaah. penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri ini sudah menjadi satu rahasia umum. Pembangunan dinasti keluarga pada suatu instansi, penyelesaian perkara dengan uang sebagai pelicin dan masih banyak lagi kasus lain yang mungkin tak sempat terekspos oleh media.
Berbagai fenomena di atas merupakan sebuah hasil dari proses lama sebuah pembentukan kepribadian atau karakter. Karakter tersebut berawal dari individu-individu yang bermental lemah yang akhirnya menjadi sebuah karakter bangsa. Seorang ahli pernah mengatakan bahwa jika kita menanam kebiasaan maka akan terbentuklah karakter. Beberapa karakter yang tersebut di atas, semisal karakter korup merupakan kebiasaan turun menurun yang tidak pernah diputus yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan ada pemakluman ataupun pemaafan. Bisa dibilang, kesalahan yang dilakukan berulang kali tidak dianggap lagi sebagai kesalahan. Semua itu sudah disebut sebagai kebiasaan yang berbuah pada karakter. Kondisi tersebut akhirnya mendarah daging dan sulit untuk dihilangkan.
Pembentukan karakter ini merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan sebuah bangsa. Jika semakin lama karakter korup yang dibiasakan maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang berkarakter korup. Jika yang dibiasakan adalah karakter sogok, maka akan muncullah karakter sogok atau pelicin dalam semua lini pemerintahan. Apalagi yang mau dikata jika hal tersebut sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Suatu yang jelek jika dibiasakan akan menjadi karakter, maka sesuatu yang baik pun ketika dibiasakan maka akan menjadi sebuah karakter juga. Namun, mungkin belum banyak yang mengumandangkan bagaimana karakter baik itu terbentuk. Padahal banyak karakter baik yang sebenarnya dimiliki oleh bangsa ini.
Bangsa yang menginginkan manusia yang berkarakter baik, maka harus berupaya untuk mewujudkannya lewat media bernama pendidikan. Kenapa harus pendidikan? Karena tujuan dari pendidikan adalah untuk membentuk dan juga mengubah. Membentuk pembiasaan yang baik melalui pendidikan, menanamkan pemahaman melalui pendidikan. Selain itu, mengubah sesuatu dari buruk menjadi baik pun juga melalui pendidikan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menjadi indikator kemajuan sebuah bangsa. Hal tersebut dikarenakan dengan pendidikan yang baik, maka kualitas manusia pun akan sejalan. Begitu pula sebaliknya.
Sopan santun merupakan bagian dari karakter bangsa. Adat ketimuran terkenal dengan kekhasan kesantunan dalam berbahasa, berbusana maupun bertingkah laku. Terutama dalam kebiasaan masyarakat Jawa, kekhasan tersebut sangat diberikan perhatian. Kebiasaan sikap dan bahasa seorang anak kepada orang yang lebih tua menjadi sebuah aturan informal yang memasyarakat. Dalam bertutur kata misalnya, seorang anak hendaknya menggunakan “basa krama” jika berbicara kepada orang yang lebih tua. Jika ada yang “njangkar” atau tidak menggunakan basa krama, maka dalam pandangan masyarakat anak tersebut tidak memiliki sopan santun.
Namun, kebiasaan tersebut kini kian luntur. Menghilangnya kebiasaan penggunaan “basa krama” ini dibarengi dengan semakin membudayanya penggunaan Bahasa Indonesia bahkan bahasa asing dalam keseharian anak-anak. Tidak ada salahnya sama sekali jika anak-anak terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing karena hal tersebut sebagai bagian untuk mempersatukan bangsa. Dalam konteks pelestarian bahasa daerah, alangkah lebih baiknya jika porsi penggunaan Bahasa Jawa juga mendapat perhatian. Dalam sebuah penelitian terbukti bahwa tiap tahun terdapat Bahasa Daerah yang hilang di Indonesia. Alasannya adalah karena bahasa tersebut jarang bahkan tidak pernah digunakan oleh penduduk setempat. Apakah sebagai orang Jawa asli, kita akan merelakan Bahasa Jawa memiliki nasib sama, tentu tidak. Hal tersebut dapat kita atasi dengan membiasakan menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan teruama dalam lingkungan keluarga atau rumah.
Penggunaan basa krama dalam percakapan sehari hari dapat membentuk karakter seseorang. Jika seseorang tersebut menggunakan/berbicara dengan basa krama, tidak akan dia bicara dengan keras atau lantang. Karena karakter menggunakan basa krama itu adalah dengan kelemahlembutan. Sikap yang ditunjukkan pun juga akan mengikuti. Seorang yang berbicara dengan basa krama pasti akan menjaga sopan santunnya.
Sri Edi Swasono dalam kongres Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menyampaikan bahwa terkait dengan penghargaan bangsa terhadap kebudayaan, jika jati diri bangsa tidak ditanamkan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional tidak dimiliki maka bangsa ini akan ela-elo, terombang-ambing ngalor ngidul ora rono-ora rene, ora ngono, ora ngene. Pernyataan tersebut kini telah terjadi di sekitar kita. Fakta yang bisa kita lihat adalah dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Misalnya: anak-anak lebih memilih menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa Jawa. Orang tua akan merasa bangga jika anaknya dapat diterima pada sekolah ataupun kelas dengan label “internasional”. Masyarakat lebih merasa mempunyai prestise ketika memiliki barang-barang yang bermerek dari luar negeri. Tontonan yang sering ditemui di televisi pun sebagian besar bernilai kebaratan, entah dari film, iklan, lagu dan lain sebagainya. Sangat sedikit ataupun tidak ada sama sekali tayangan yang mengedepankan kebudayaan daerah. Jika adapun mungkin hanya di saluran TV nasional dan memiliki rating yang bisa dibilang rendah.
Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa penanaman sejak dini terhadap kebudayaan sangatlah penting. Melihat perkembangan zaman yang semakin tidak bersahabat, yang semakin menggerus jatidiri bangsa.
Pembiasaan penggunaan Bahasa Daerah tersebut dapat diawali dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga. Orang tua memiliki peran untuk pelestarian ini. Lingkungan yang juga mempunyai tanggung jawab adalah sekolah. Sekolah merupakan lingkungan dimana siswa menghabiskan sebagian besar waktunya. Dalam rentang tersebut, siswa berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat.
Manusia senantiasa berubah sesuai dengan kultur dimana ia tinggal. Sifat manusia tidaklah statis melainkan dinamis. Hal ini dibuktikan bahwa dalam masyarakat kita tidak sedikit orang yang dulunya jahat sekarang menjadi baik, lebih baik dari kita bahkan. Begitu pula sebaliknya, banyak juga orang yang dulunya baik berubah 180 derajad menjadi orang yang sangat jahat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sifat atau karakter seseorang bukanlah murni bawaan secara genetis, namun andil pembiasaan dan lingkungan pun juga sangat besar. Kondisi tersebut menjadi sebuah peluang ataupun kesempatan bagi para pendidik untuk membentuk karakter seorang anak sejak dini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar