Kurikulum
merupakan bagian dari sistem pendidikan yang harus diikuti oleh semua satuan
pendidikan. Merupakan hal yang membingungkan ketika kita menilik pada kurikulum
yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap hal yang telah ditetapkan pasti
mengandung perdebatan yang tiada akhir. Belum lagi pro dan kontra yang
senantiasa mengiringi dalam pengusungan sebuah kebijakan. Bergantinya pemimpin
berdampak pada pergantian kebijakan pula. Seperti itu terus saja bergulir
seiring dengan pergantian tampuk pemerintahan.
Seperti sebuah
peribahasa, gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah. Perumpamaan
tersebut sekiranya dapar ditarik dalam dunia nyata pendidikan yang menggejala
saat ini. Ketika para pembesar pendidikan bersilang-sikut tentang kurikulum
yang akan diterapkan, maka guru sebagai ujung tombak diibaratkan seperti
pelanduk. Ya, seekor pelanduk yang mati atau dibahasakan dengan mati dalam
kebingungan. Betapa tidak, jika pergantian yang dilakukan berdasar hanya pada
kepentingan partai yang bersifat sesaat.
Kurikulum tingkat
sekolah dasar pun seperti itu. Dunia bermaian yang merupakan ekspresi fitrah
dari seorang anak sudah seharusnya diakomodir menjadi sebuah perumusan dalam
mengaplikasikan kurikulum di tingkat dasar. Tidak seperti saat ini. Wow,
STRESS, mungkin itu kata yang bisa digunakan untuk mengibaratkan. Materi
tingkat sekolah dasar yang sangat gemuk dengan konsep dan teori tersebut
diharuskan untuk bisa dijejalkan ke dalam otak si anak. Otak si anak yang
bahkan sudah terisi dengan pemahaman awal yang merupakan hasil interaksinya
dengan alam takambang.
Pensyaratan
kemampuan membaca, menulis maupun berhitung pun tidak sesuai dengan fitrah anak
yang masih membutuhkan lebih banyak waktu untuk pemenuhan kebutuhan bermainnya.
Menurut Prof. Dr. S.C. Utami Munandar (2001:99), bermain adalah kegiatan yang
dilakukan secara spontan karena disenangi dan sering tanpa tujuan tertentu.
Bagi anak, bermain merupakan suatu kebutuhan yang perlu agar ia dapat
berkembang secara wajar dan utuh, menjadi orang dewasa yang mampu menyesuaikan
dan membangun dirinya. Bermain bagian dari perkembangan anak.
Jika guru dibebani dengan gemuknya materi yang harus disampaikan kepada siswa, maka waktu untuk memberi kesempatan siswa untuk bermain pun akan berkurang. Oleh karena itu, guru pun harus cukup kreatif mensikapi kondisi yang memang belum bisa diubah hingga saat ini. guru dituntut untuk bisa mengemas kegiatan pembelajaran dalam bentuk permainan ataupun kegiatan yang menyenangkan. Dengan begitu, anak-anak tidak akan merasa bahwa sebenarnya mereka sedang belajar.
pict: google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar