ü Merumuskan Misi Hidup
Misi
hidup adalah peran hidup yang dipilih dan diperjuangkan hingga akhir hayat.
Misi hidup ini ditemukan melalui proses yang sangat panjang. Pertemuan dengan
misi hidup ini pun terkadang tak terbatas oleh usia. Ada yang menemukan misi
hidup di usia yang sangat belia. Sebagai contoh para sahabat Rasulullah SAW
yang menemukan peran hidupnya di usia muda. Salah satu yang sering kita dengar
adalah Muhammad Al Fatih. Pada usia 25 tahun beliau telah mampu menaklukkan
Konstantinopel di Romawi Timur. Sosok Muhammad Al Fatih ini tentu saja melalui
proses pengasuhan keluarga yang sangat luar biasa. Bahakan bisa disimpulkan
bahwa karakternya dibangun oleh
peradaban pada saat itu. Selain Muhammad Al Fatih masih banyak lagi sosok
pemuda yang memulai debut misinya di awal usia.
Meskipun
begitu, ketika usia telah beranjak renta pun tak menghalangi untuk berusaha
menemukan misi hidup dan memperjuangkannya hingga tutup usia. Sebuah misi dalam
hidup bukanlah target yang dibatasi oleh waktu. Misi hidup merupakan arah hidup
yang senantiasa memanggil-manggil untuk dilaksanakan dan terus diperjuangkan.
Maka dari itu, taka da kata berhenti dalam menjalankan misi hidup ini. Sering
kita melihat seorang yang sangat bersemangat dalam melakukan suatu gerakan
perubahan dan dia terus menerus melakukan itu hingga maut lah yang menghentikan
perjuangannya tersebut. Salah satu contoh yang dekat dengan kita adalah
almarhum Bapak BJ. Habibie. Siapa yang tak kenal dengan sosok arsitek ini?
Beliau sedari muda sudah memperjuangkan misinya dalam bidang kedirgantaraan.
Meskipun apa yang beliau lakukan mungkin tidak begitu diapresiasi, tetapi
beliau tetap berjuang menjalankan misi tersebut. Hingga pada akhirnya kini
putranya pun bergelut pada bidang yang sama, sebagai penerus misi sang ayah.
Kesimpulan lain dari misi hidup adalah terintegrasi dengan misi keluarga. Misi
hidup yang dijalankan tak bisa terlepas dari misi keluarga yang akan
diwujudkan. Poin penting dalam misi hidup adalah sesuatu yang diperjuangkan
hingga akhir hayat dan terintegrasi dengan misi keluarga.
Dalam
penjelajahan kali ini, sesuatu yang menurut saya sangat menantang karena kami
diminta untuk menuliskan misi hidup dengan detail. Oleh karena itu, proses
perumusan misi hidup tersebut dilakukan secara bertahap yang nantinya diharapkan
akan membentuk sebuah karakter dalam hidup. Seperti apa yang disampaikan oleh
sahabat Widya Iswara mbak Farida Ariyani maka komponen karakter yang menjadi
patokannya adalah knowing, feeling dan action.
1. Knowing
Dalam
tahap ini, saya berusaha mencari tahu “kegalauan” yang selama ini saya alami.
Dari “kegalaua tersebut yang nantinya akan mendorong saya untuk belajar lebih
banyak dalamenemukan solusi. Kegalauan yang saya alami selama ini adalah sebagian
besar orang tua berpandangan untuk bisa memiliki banyak uang sehingga bisa
menyekolahkan anak di tempat favorit. Sekolah menjadi tempat untuk menempa
semua aspek dalam proses pendidikan anak. Sementara itu, tidak semua orang tua
yang mau terlibat dalam proses tersebut. Hal inilah yang menjadikan semakin
melonjaknya krisis adab dan krisis moral. Karena tanggungjawab pendidikan
adab/moral adalah keluarga.
Dari permasalahan tersebut akhirnya saya belajar untuk menemukan solusi. Salah satu solusi yang saya pilih adalah dengan belajar mengenai Fitrah Based Education (pendidikan berbasis fitrah) yang dicetuskan oleh Ust. Harry Santosa. Kami pun tersadar bahwa selama ini kehidupan kami tidak dipandu dari misi personal maupun misi keluarga. Kami berjalan seperti umumnya orang, yaitu mencari uang untuk kebutuhan dan kesenangan. Padahal misi hidup tersebut yang akan memandu seluruh gerak dalam menjalani kehidupan yang lebih baik.
2. Feeling
Dalam proses ini, hati
yang terlibat untuk merasa apakah yang kami pilih tersebut baik ataukah tidak.
Banyak manfaatnya ataukah mudharatnya? Setiap saat melakukan self talk dan
perenungan untuk memperkuat keyakinan. Dari proses tersebut akhirnya kami
sampai pada kesimpulan bahwa pendidikan berbasis fitrah merupakan jawaban dari
kegalauan yang kami alami. Dari kesadaran dan keyakinan tersebut, maka kami
semakin bersemangat memperkuat niat untuk segera berubah.
3. Action
Setelah melalui dua
proses sebelumnya maka saat inilah saatnya untuk bergerak dan berubah. Beberapa pola pikir dan pola hidup yang kami
jalani saat ini diantaranya:
a. Menjadi
“pendidik rumahan”
Seperti
halnya orang tua muda yang memiliki anak usia pra sekolah, maka kami pun
memiliki harapan dan mimpi besar untuk kedua anak kami. Salah satu harapannya
adalah anak-anak dapat bersekolah di tempat yang favorit dengan biaya selangit.
Alasan tersebut yang mendasari kami berdua untuk giat bekerja mengumpulkan
pundi-pundi uang sehingga bisa mewujudkan impian tersebut. Selain itu, kami
juga memiliki harapan bahwa anak-anak sedini mungkin harus sudah diberikan
bekal berupa berbagai macam ilmu.
Namun, setelah mengenal
FBE kami tersadar bahwa tak ada istilah lebih cepat lebih baik lagi. Yang ada
adalah fitrah yang tumbuh dengan sempurna sesuai dengan waktunya. Maka saat ini
yang kami lakukan adalah menemani anak-anak bermain. Yang menjadi titik tekan
kami saat ini adalah mempesonakan mereka akan Maha Besarnya Allah. Kami
berusaha bagaimana anak-anak memiliki kekaguman akan agama Islam. Kami juga
belajar lagi untuk mendalami sejarah perjalanan Rasulullah SAW agar kami bisa
mengisahkan bagaimana hebatnya utusan Allah tersebut.
Dalam
proses membersamai anak-anak tersebut, justru kami sadar bahwa sebenarnya
fitrah kamilah yang belum tumbuh dengan sempurna. Selama ini kami berislam
hanya sekedar beribadah saja tanpa ada ghirah untuk berbuat bagi agama.
Maka-proses dalam merawat dan menumbuhkan fitrah pada anak-anak tersebut membuat
kami pun tersadar akan kekurangan selama ini.
b.
Mengurangi
carbon footprint
Sudah menjadi kebiasaan di rumah,
pilihan pertama kami ketika akan bepergian untuk jarak dekat adalah dengan
bersepeda. Anak-anak merasa nyaman ketika bersepeda karena biasanya kami memilih
jalur yang sediit polusi uadaranya. Biasanya kami lewat pematang sawah, lewat
kebun-kebun jagung, gang-gang sempit. Pengalaman inilah yang justru menjadi
“sumber kebahagiaan” tersendiri bagi kami dan anak-anak. Selain itu,
tempat-tempat yang kami lewati tersebut menjadi sumber belajar bagi anak-anak.
Kegiatan memilah sampah juga menjadi
bagian penting dalam keluarga kami. Setelah menerapkan proses pemilahan ini
kami semakin “menikmati”. Kami mendapat keuntungan berupa kompos dari sampah
organik. Sampah anorganik pun semakin berkurang karena dibarengi dengan
mengurangi penggunaan plastik.
Setelah mengenal konsep fitrah,
maka kami saat ini berusaha memenuhi kebutuhan harian dengan membuatnya
sendiri. Untuk kebutuhan makanan harian kami terbiasa memasak sendiri. Bahan
yang dimasak pun kami usahakan untuk ditanam di sekitar rumah. Beberapa barang
penunjamg yang saat ini kami usahakan untuk dibuat sendiri diantaranya adalah:
deodorant, minyak rambut, minyak telon anak, sabun mandi, dan masker. Untuk
kebutuhan yang selain itu, kami berusaha umtuk meminimalisir pemakaian.
c.
Memilih
makanan yang halal dan thayib
Ungkapan hidup untuk makan atau
makan untuk hidup memang perlu menjadi bahan perenungan. Mengapa begitu? Karena
selama ini banyak konsep salah kaprah kita tentang makanan yang sebenarnya
dibutuhkan oleh tubuh. Sebelum mengikuti kelas FWM Summit, kami berpandangan
bahwa makanan itu seperti apa yang umumnya ditemui di masyarakat. Ternyata
sajian tersebut tak semuanya dibutuhkan oleh tubuh. Tubuh kita memerlukan
makanan untuk regenerasi sel atau biasa disebut dengan living food. Living food
didapatkan dari buah-buahan dan sayuran segar. Itupun tak banyak proses dengan
dimasak.
Berawal dari pemahaman tersebut,
maka saat ini kami menimati waktu menjadi “petani” rumahan. Bertani di area
sempit yang terkadang dianggap aneh. Banyak yang menyarankan kenapa harus
menanam sendiri kalau beli saja lebih mudah. Namun, sudah menjadi niatan kami
untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan keluarga meskipun masih dalam sektor kecil. Kami mempunyai mimpi besar untuk
memiliki peternakan kambing, lahan bertanam yang lebih luas, serta area untuk
bisa beternak lebah madu.
Dari
semua proses panjang tersebut, maka saatnya untuk merumuskan misi hidup diri
ini. Misi hidup saya di dunia adalah “Menjadi
ibu yang senantiasa belajar dan bersungguh-sungguh dalam merawat fitrah
keluarga sehingga terwujud pendidikan dan pola hidup selaras fitrah”
ü Tantangan dalam Mewujudkan Misi Hidup
Ketika mulai mengaplikasikan FBE di dalam kehidupan sehari-hari,
kami menemukan beberapa kendala. Kendala tersebut biasanya bersifat keraguan
dan ketakutan apakah kami mampu melakukannya. Sebagai contoh ketika mengambil
keputusan tentang pendidikan anak-anak. Untuk usia sampai 5 tahun, anak
bersekolah bersama ibu dan ayahnya di rumah. Keputusan tersebut tentu saja
menuntut pemenuhan waktu maupun kapasitas. Akhirnya salah satu dari kami pun
akhirnya resign dari pekerjaan. Saya sebagai ibu dari anak-anak lah yang
akhirnya melepaskan pekerjaan yang sudah sekitar 11 tahun digeluti (sebagai
guru di sekolah swasta). Tetap ada kekhawatiran karena satu pundi keuangan kami
harus berkurang.
Tantangan selanjutnya adalah pertanyaan dari keluarga
besar dan juga masyarakat kenapa anak belum masuk sekolah. Karena di tempat kami,
anak usia dini memang sudah seharusnya masuk sekolah. Jujur waktu itu memang
kami kebingungan memulai dari mana. Ditambah belum adanya komunitas yang bisa
saling mendukung dalam menerapkan konsep FBE dalam keluarga. Akhirnya penguatan
tersebut kami lakukan dalam keluarga inti. Suami yang selalu menyemangati dan
kembali menyadarkan tentang misi keluarga. Ketika saya merasa lelah dan bingung
bagaimana membersamai anak-anak, maka beliau akan kembali menyadarkan tentang
konsep FBE yang sampai saat ini kami pilih sebagai panduan.
ü Karakter yang Menguatkan Misi Hidup
Proses untuk perwujudan misi hidup tersebut memerlukan
penguat agar senantiasa istiqomah untuk memperjuangkannya. Beberapa karaktert
dalam ibu professional di bawah ini yang akan selalu menjadi penguat proses
dalam menjalani misi hidup tersebut.
1. Never stop running, the mission alive
Dalam
komunitas ibu professional ini kami bersama saling menjaga, terus bergerak
menuju misi hidup. Berproses bersama dalam ranah kerja dan bidang
masing-masing. Sesekali tak apa beristirahat untuk mengisi perbekalan. Sebuah ketapel
pun perlu ditarik mundur untuk menghasilkan loncatan yang jauh.
2. Don’t teach me. I love to learn.
Karakter ini merupakan sesuatu yang harus seantiasa melekat pada diri setiap ibu. Karena dengan belajar maka seorang ibu akan lebih bisa mengimbangi proses perkembangan anak-anak. Selain itu, seorang ibu akan menjadi inspiratory dan generator bagi masyarakat di sekitarnya. Maka, tak perlu disuruh dan merasa terpaksa seorang ibu harus selalu haus akan ilmu pengetahuan terbaru.
3. I know I can be better
Seorang
ibu harus merasa yakin bahwa dirinya bisa berproses menjadi pribadi yang lebih
baik. Dengan senantiasa melakukan update dan
upgrade ilmu serta keterampilan.
4. Always on time
Waktu
merupakan salah satu harta yang paling berharga yang dimiliki oleh manusia di
muka bumi. Dengan menghargai dan memanfaatkan waktu dengan baik maka akan
terjadi perubahan besar dalam hidup. Oleh karena itu, dalam mewujudkan misi pun
harus senantiasa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Tak ada sedetikpun
waktu yang terlewat kecuali digunakan sebagai sarana memperjuangkan misi
kehidupan.
5. Sharing is caring
Perwujudan misi tersebut pastilah melibatkan orang lain terutama keluarga. Maka karakter berbagi haruslah menjadi kebiasaan yang dilakukan. Dari proses berbagi tersebut akan banyak orang yang mendapat inspirasi dari apa yang dilakukan. Berbagilah sebagai bagian dari perhatian kepada orang lain. Kita tak hanya menjadi baik sendiri tetapi harus membaikkan orang lain.
Harta
karun telah terkumpul, misi telah dirumuskan. Kini saatnya untuk menata hati
dan berharap keridhoan Allah SWT agar apa yang telah dirumuskan mendapatkan
kemudahan di kemudian hari.
Nur Iswanti Hasani
#Misi7
#KarakterIbuProfesional
#PenjelajahSamuderaAmarta
#Matrikulasibatch9
#InstitutIbuProfesional
#IbuProfesionalforIndonesia
#SemestaKaryauntukIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar