Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Sabtu, 24 April 2021

Ramadhan Day-12: Arsitek Ulung


 

Duduk tertunduk, memainkan pensil yang dipegang, buku dihadapan dibiarkan terbuka tanpa dibaca. Teman yang lain berkejaran, bercanda kian kemari, berceloteh ria tak henti. Riuh rendah suara di sekitar seperti tak berpengaruh sama sekali pada konsentrasi anak tersebut dalam imajinasi.

“Tuutttttttttt,.... Tuuttt.....” , bel berbunyi berulang 3 kali.

Waktu istirahat tiba. Anak tersebut masih asyik memainkan pensil yang sedari tadi dipegang. Buku tetap saja teronggok tak terjamah.

“Brukkk..........” salah satu teman yang sedang main tak sengaja menyenggol dan jatuh tepat di depannya, menindih kertas yang ada di hadapannya.

“Aduhuhhh...... Kiki sih”, keluh anak yang jatuh tersebut.

“Dorong-dorong....!”

“Maaf-maaf..”, sambut Kiki sebelum anak tersebut marah padanya.

Anak tersebut tetap saja diam. Dia hanya melihat sekilas percakapan kedua teman di depannya. Tak ada komentar, tak ada reaksi.

45 menit telah berlalu dan kertas itu sedikitpun belum terjamah. Aku masih membiarkannya. Aku ingin melihat apa yang akan anak tersebut lakukan setelah waktu berlalu satu jam. Masih ada waktu 15 menit, harapanku tergantung pada menit tersebut. Permainan anak-anak di kelasku tetap berlanjut.

“Janu, sudah selesai, Nak?”, tanyaku membuyarkan lamunannya.

Tatapan kosong itu merupakan jawaban yang dia selalu berikan kepadaku ketika pekerjaan yang kuberikan tak selesai. Sementara itu, kertas yang ada di tanganku saat ini belum juga terisi. Hanya tulisan nama dan goresan basmallah di bagian kanan atas.

“Bagian mana yang Janu tidak bisa, biar Bu guru bantu.”

Sambil menunjuk kertas itu, “Janu nggak bisa Bu.” Tapi tatapan mata itu lagi-lagi tak menuju ke arahku.

“Baiklah, sekarang pelan-pelan kita kerjakan bersama ya.”

Tak ada jawaban maupun anggukan tanda setuju. Hanya sekilas tatapan itu terlihat mengarah ke mataku. Sangat cepat, setelah itu buyar dan pergi lagi. Pelan kubacakan soal satu per satu sembari kupancing pemahamannya terkait jawaban dari soal tersebut. Jika dia paham, maka tangan kecil itu akan langsung mendaratkan pensil di atas kertas dan menuliskan jawaban. Namun, ketika dia belum paham, maka diam dan berhenti itu langkah yang dia ambil. Tak ada pertanyaan ataupun pernyataan “Bu, aku tidak tahu” atau yang semacamnya. Itulah tantanganku untuk lebih gamblang menjelaskan konsep kepadanya.

Lima soal selesai dalam waktu 30 menit. 45 menit sebelumnya merupakan waktu penjajakanku untuk kesekian kali. Waktu dimana aku mencari cara treatment untuk muridku yang satu ini, Janu. Treatment itu akhirnya masih sama, yaitu pendampingan penuh dalam mengerjakan latihan soal.

“Janu, sekarang sudah boleh bermain dengan teman-teman ya.”

Dia tak beranjak sebelum aku yang kemudian mendahului untuk beranjak dari sisinya. Kulihat akhirnya dia melangkahkan kakinya ke arah loker dan mengambil selembar kertas. Dia mengambil tempat di sudut kelas yang tak banyak siswa bermain di sana. Tangannya mulai menggoreskan sesuatu di atas kertas tersebut. Entah apa, tapi terlihat bahwa dia sangat menikmati aktivitas tersebut.

Janu, merupakan anak tinggal kelas yang diamanahkan padaku untuk tahun ini. Dari awal tahun, memang belum pernah aku bisa berkomunikasi secara lancar dengannya. Transfer dari guru yang sebelumnya pun menyebutkan bahwa anak tersebut memang sangat spesial. Jarang bersosialisasi, jarang berbicara, menghindari tatapan langsung, sangat suka melamun dan berimajinasi, kadang berbicara ataupun tersenyum dengan sendirinya. Hampir di semua mata pelajaran tertinggal karena konsentrasinya sangat rendah. Ketika guru menjelaskan, dia justru asyik dengan imajinasinya.

Kuhampiri Janu yang sedang asyik dengan kertas dan pensil di depannya.

“Janu sedang apa?”

Kedatanganku sepertinya tak dihiraukan sama sekali. Anak itu terus saja membuat goresan dengan asyiknya. Sebuah replika pesawat yang tak lazim menurutku.

“Itu gambar pesawat ya?”, tanyaku lagi tak menyerah.

Anggukan itu cukup, tanpa tatapan sedikitpun. Sepertinya kata pesawat adalah kuncinya.

“Pesawatnya bagus. Itu pesawat tipe apa? Kok Bu Guru belum pernah lihat. Sepertinya keren banget”, lanjutku.

“Ini pesawat khusus angkutan”, jawabnya.

Antusias sepertinya tema tentang pesawat ini. Aku coba lanjutkan.

“Wah, bu Guru mau dong diceritain tentang pesawat ini”, sambil kutunjuk gambar yang ada di depannya.

Wajahnya terangkat, kemudian dia mulai berkisah.

“ Janu mau buat pesawat angkutan bu. Ini bagian mesinnya digerakkan oleh dua buah kipas yang didesaian secara khusus. Pesawat ini tidak terlalu besar sehingga mudah untuk dikendalikan”.

“Oh, gitu ya. Sejak kapan Janu suka pesawat?”

“Waktu itu saya dapay CD tentang pesawat. Saya lihat trus saya jadi suka Bu.”

“Memang kalau sudah besar nanti Janu pengin jadi engineer pesawat ya?”

“Bukan, Bu. Saya pengin jadi pilot. Pilot kan tugasnya mengendalikan pesawat. Keren, Bu.” 

Terkagum aku mendengar penjelasannya. Sebuah imajinasi luar biasa yang keluar dari seorang anak yang selama ini jarang kulirik kemampuannya. Bahkan setahuku, kemampuan penjelasannya melebihi teman-teman yang lain.

“Janu, besok lagi buat gambar pesawat yang lain ya”, pintaku.

Mengangguk dia di hadapanku.

“Bu guru juga ingin mendengar cerita tentang pesawatnya lagi.”

Kutinggalkan dia dalam keasyikan menarikan pensil di atas kertas bergambar pesawat itu. Hatiku berbisik, “Maafkan Bu guru, Nak. Selama ini belum terlalu mendalam mengenalmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar