Kemarin kita hidup, sekarang kita hidup, besok
kita juga mungkin masih hidup. Apa buktinya? Kemarin kita masih bercengkerama
dengan keluarga, bermain dengan anak-anak tercinta, bercakap dengan istri
/suami tercinta, merangkai kehidupan mendatang yang nampak begitu indah. Itu cerita
kemarin. Kemudian hari ini? Hari ini kita masih mandi pagi, berangkat bekerja,
bertemu teman kerja, melakukan segala kewajiban yang menuntut separuh waktu
kehidupan.
Pernahkah kemudian kita
bertanya, untuk apakah hidup dihadirkan? Jika boleh meminjam jawaban seorang
ustadz, maka sesungguhnya hidup dihadirkan agar kita bisa merasakan nikmat dan
indahnya mati. Hidup berarti berjalan menyeberangkan diri menuju kematian.
Kenapa jawaban itu terasa menakutkan? Mati, mati, mati. Sebuah kata yang kita
kadang tak kuat dan bahkan tak mau untuk mendengarnya. Berusaha menghindar
untuk mengatakannya. Dan mungkin ada
juga yang berusaha untuk menghindarinya. Bahkan ada yang berkata “aku belum
siap menghadapinya”. Itulah beberapa jawaban manusia yang lemah akan ilmu
Allah. Padahal Allah telah berfirman dalm surat al A’raf : 34 “tiap-tiap umat mempunyai batas waktunya,
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula
memajukannya”.Itu bukan kata saya, itu juga bukan pendapat Anda. Tapi itu
adalah firman Allah yang tertulis dalam kalamNya yang mulia. Bersembunyi di
tempat serapat apapun, seaman apapun,
dengan teknologi secanggih apapun, sesungguhnya tak ada manusia yang akan lepas
dari Al Maut. Al Maut akan datang jika
memang sudah dititahkan oleh Allah untuk datang. Tak bisa maju sedetik pun dan
tak pula diundurkan sedetikpun.
Betapa indah skenario Allah, bahkan skenario
tentang kematian. Apakah kemudian kita akan tunduk dengan segala skenario yang
kita jalani tanpa do’a dan usaha sama sekali? Sesungguhnya tidaklah seperti
itu. Allah masih memberikan ruang bagi kita untuk menentukan takdir yang akan
kita jalani. Usaha dan do’a. Ya, itulah usaha kita untuk dapat menjemput
takdir-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri” (Ar Ra’du:11). Itu janji Allah yang pasti. Tak maukah
kemudian kita berusaha menagih janjinya yang pasti akan ditepati? “Mintalah
kepada-Ku, maka aku akan mengabulkan permintaanmu”
Kemanakah hidup harus kita bawa sehingga akhirnya
Dia bertitah untuk mengabulkan takdir yang kita inginkan? Adakah rumus jitu
ataupun ramuan mujarab yang bisa dipakai untuk menjemputnya? Seperti halnya
sebuah soal matematika yang paling rumit sekalipun pastilah tersedia
jawabannya. Begitu pula pertanyaan tentang hidup ini, Allah Yang Maha Baik pun
telah memberikan jawabannya lewat kalam-Nya yang mulia.
Kita tidak hanya menginginkan hidup ini indah,
namun seharusnya yang menjadi tujuan kita tertinggi adalah menginginkan
kematian yang indah. Yah, kematian yang biasa kita sebut dengan Khusnul Khatimah. Kemudian apa yang
harus kita lakukan agar kita bisa menjemput kematian itu dengan indah? Pasti
kita semua ingin merasakan apa yang sering disebut dengan Khusnul Khatimah. Sesungguhnya setiap jiwa bisa menjemput kematian
dengan indah. Yang harus kita lakukan adalah menggunakan hidup ini untuk
menjemputnya. Setiap hal yang kita lakukan, sekecil apapun kita orientasikan
hanya untuk meraih ridho-Nya. Menjadikan segala yang kita lakukan berorientasi
kepada akhirat itulah kira-kira yang bisa kita lakukan agar hidup ini selamat
dunia dan akhirat.
Berikut beberapa hal yang kiranya bisa upayakan
untuk menjemput kematian dengan indah, walaupun masih banyak hal yang bisa
dilakukan. Pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan melepaskan diri dari
segala pengaruh buruk nafsu. Seperti disebutkan dalam surat Yusuf ayat 53 yang
artinya kurang lebih “Dan aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan,
karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha
Penyayang”. Berbuat bukan semata-mata karena ingin tapi karena butuh. Dalam memilih makanan, hendaknya
mempertimbangkan makanan yang memang dibutuhkan oleh tubuh tidak hanya apa yang
diinginkan oleh lidah saja tapi tidak memperhatikan faktor kesehatan. Begitu
pula ketika berbelanja baju, kadang seseorang berbelanja bukan berdasar pada
prioritas tetapi lebih kepada keinginan semata. Itulah nafsu manusia.
Dalam Tafsir Al-Misbah Thantawi memngemukakan
bahwa sesungguhnya nafsu manusia sangat banyak yang mendorong pemiliknya kepada
keburukan kecuali jiwa yang dirahmati Allah dan dipelihara dari ketergelinciran
dan penyimpangan. Hal ini berawal dari kisah Yusuf yang digoda oleh seorang
wanita dan dirayu untuk berbuat zina. Namun, ia lebih suka dimasukkan ke dalam
penjara.
Al Qur’an memperkenalkan tiga macam peringkat
nafsu manusia. Pertama, an nafs
al-ammarah yang selalu mendorong pemiliknya berbuat keburukan. Kedua, an-nafs al-lawwamah yang selalu mengecam
pemiliknya begitu dia melakukan kesalahan hingga timbul penyesalan dan berjanji
untuk tidak mengulangi kesalahan. Dan yang ketiga adalah an-nafs al-muthma’innah yakni jiwa yang tenang karena selalu
mengingat Allah dan jauh dari segala pelanggaran dan dosa.
Kedua adalah mengembalikan segala urusan kepada
Allah SWT (Al Baqarah: 155-157). Kata kami milik Allah berarti bahwa apapun yang dilakukan haruslah
sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi Allah Maha Bijaksana. Segala tindakan-Nya
pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah di balik ujian atau musibah. Seseorang
yang menyerahkan segala urusan kepada Allah maka akan mendapat keberkahan,
rahmat dan juga petunjuk. Keberkahan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam
yang berupa limpahan pengampunan, pujian, menggantikan yang lebih baik daripada
nikmat yang sebelumnya yang telah hilang. Semua keberkahan itu bersumber dari
Tuhan.
Mereka juga
mendapat rahmat. Yang pasti rahmat Allah tidaklah seperti rahmat makhluk.
Bagaimana rahmat Allah, Allahlah Yang Maha Mengetahui. Selain itu mereka juga
mendapat petunjuk. Bukan saja petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihan,
tetapi juga petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (Fii Dzilalil Qur’an)
Tidak berlindung kepada apapun dan siapapun
kecuali kepada Allah SWT. “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun (Al Baqarah: 155-156).
Telah menjadi
suatu keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan menguji dengan
ketakutan, kelaparan, kesengsaraan serta kemusnahan harta, nyawa dan makanan.
Hal ini adalah suatu ketentuan untuk meneguhkan keyakinan orang yang beriman
pada tugas kewajiban yang harus ditunaikannya. Sehingga, akhirnya mereka
setelah mengalami ujian tentu akan terbukti tangguh dan merasa berat untuk
berkhianat kepada Islam karena mengingat pengorbanan yang telah dilakukannya.
Akidah yang
diperolah dengan gampang tanpa ujian akan mudah pula bagi penganutnya untuk
meninggalkan bila satu ketika tertimpa ujian. Semakin berat ujian dan
pengorbanan akan semakin meninggikan nilai akidah keyakinan dalam hati dan jiwa
penganutnya. Bahkan, makin besar penderitaan dan pengorbanan yang diminta oleh
suatu akidah bertambah berat juga seeorang untuk berkhianat.
Yang terpenting
adalah kembali mengingat Allah ketika menghadapi segala keraguan dan
kegoncangan serta berusaha mengosongkan
hati dari segala hal kecuali ditujukan semata karena Allah. Kemudian, agar
terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah dan tidak ada
daya kecuali daya Allah. Ketika itu akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat
yang menjadi landasan tegaknya tasahawwur
atau pandangan yang benar.
Iman, hijrah dan jihad (Al Baqarah: 218) “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang”.
Harapan orang mukmin terhadap rahmat Allah sama
sekali tidak akan dikecewakan oleh Allah. Sesungguhnya dia telah mendengar
tentang golongan yang mukhlis dari golongan orang-orang mukmin yang berhijrah
mengenai janji Allah yang benar ini, yang berjuang dan bersabar, sehingga Allah
merealisasikan janji-Nya dengan memberinya kemenangan atau mati syahid. Kedua
hal ini sama-sama baiknya, sama-sama sebagai rahmat. Mereeka beruntung
mendapatkan pengampunan dan rahmat Allah SWT (Fi Zhilalil Qur’an : 271).
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah dan carilah wasilah/jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung” (Al Ma’idah:35).
Mati dan hidup adalah sepasang pengantin yang terus berbulan madu sepanjang waktu tanpa kenal jemu. Barangsiapa yang tidak berusaha memesrakan hidupnya dengan kematiannya, maka ia tak akan merasakan bahagia untuk selamanya. Kita berdoa semoga kita dikumpulkan dalam surga yang sama bersama keluarga kita yang tercinta.
Penulis
Nur Iswanti Hasani
Tinggal di Dusun Wonodoyo, Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul
pict: google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar