Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Jumat, 16 April 2021

Ramadhan Day 1: Quovadis Hidup

 


Kemarin kita hidup, sekarang kita hidup, besok kita juga mungkin masih hidup. Apa buktinya? Kemarin kita masih bercengkerama dengan keluarga, bermain dengan anak-anak tercinta, bercakap dengan istri /suami tercinta, merangkai kehidupan mendatang yang nampak begitu indah. Itu cerita kemarin. Kemudian hari ini? Hari ini kita masih mandi pagi, berangkat bekerja, bertemu teman kerja, melakukan segala kewajiban yang menuntut separuh waktu kehidupan.

Pernahkah kemudian kita bertanya, untuk apakah hidup dihadirkan? Jika boleh meminjam jawaban seorang ustadz, maka sesungguhnya hidup dihadirkan agar kita bisa merasakan nikmat dan indahnya mati. Hidup berarti berjalan menyeberangkan diri menuju kematian. Kenapa jawaban itu terasa menakutkan? Mati, mati, mati. Sebuah kata yang kita kadang tak kuat dan bahkan tak mau untuk mendengarnya. Berusaha menghindar untuk mengatakannya.  Dan mungkin ada juga yang berusaha untuk menghindarinya. Bahkan ada yang berkata “aku belum siap menghadapinya”. Itulah beberapa jawaban manusia yang lemah akan ilmu Allah. Padahal Allah telah berfirman dalm surat al A’raf : 34 “tiap-tiap umat mempunyai batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya”.Itu bukan kata saya, itu juga bukan pendapat Anda. Tapi itu adalah firman Allah yang tertulis dalam kalamNya yang mulia. Bersembunyi di tempat serapat apapun,  seaman apapun, dengan teknologi secanggih apapun, sesungguhnya tak ada manusia yang akan lepas dari Al Maut.  Al Maut akan datang jika memang sudah dititahkan oleh Allah untuk datang. Tak bisa maju sedetik pun dan tak pula diundurkan sedetikpun.

Betapa indah skenario Allah, bahkan skenario tentang kematian. Apakah kemudian kita akan tunduk dengan segala skenario yang kita jalani tanpa do’a dan usaha sama sekali? Sesungguhnya tidaklah seperti itu. Allah masih memberikan ruang bagi kita untuk menentukan takdir yang akan kita jalani. Usaha dan do’a. Ya, itulah usaha kita untuk dapat menjemput takdir-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar Ra’du:11). Itu janji Allah yang pasti. Tak maukah kemudian kita berusaha menagih janjinya yang pasti akan ditepati? “Mintalah kepada-Ku, maka aku akan mengabulkan permintaanmu”

Kemanakah hidup harus kita bawa sehingga akhirnya Dia bertitah untuk mengabulkan takdir yang kita inginkan? Adakah rumus jitu ataupun ramuan mujarab yang bisa dipakai untuk menjemputnya? Seperti halnya sebuah soal matematika yang paling rumit sekalipun pastilah tersedia jawabannya. Begitu pula pertanyaan tentang hidup ini, Allah Yang Maha Baik pun telah memberikan jawabannya lewat kalam-Nya yang mulia.

Kita tidak hanya menginginkan hidup ini indah, namun seharusnya yang menjadi tujuan kita tertinggi adalah menginginkan kematian yang indah. Yah, kematian yang biasa kita sebut dengan Khusnul Khatimah. Kemudian apa yang harus kita lakukan agar kita bisa menjemput kematian itu dengan indah? Pasti kita semua ingin merasakan apa yang sering disebut dengan Khusnul Khatimah. Sesungguhnya setiap jiwa bisa menjemput kematian dengan indah. Yang harus kita lakukan adalah menggunakan hidup ini untuk menjemputnya. Setiap hal yang kita lakukan, sekecil apapun kita orientasikan hanya untuk meraih ridho-Nya. Menjadikan segala yang kita lakukan berorientasi kepada akhirat itulah kira-kira yang bisa kita lakukan agar hidup ini selamat dunia dan akhirat.

Berikut beberapa hal yang kiranya bisa upayakan untuk menjemput kematian dengan indah, walaupun masih banyak hal yang bisa dilakukan. Pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan melepaskan diri dari segala pengaruh buruk nafsu. Seperti disebutkan dalam surat Yusuf ayat 53 yang artinya kurang lebih “Dan aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Berbuat bukan semata-mata karena ingin tapi karena butuh.  Dalam memilih makanan, hendaknya mempertimbangkan makanan yang memang dibutuhkan oleh tubuh tidak hanya apa yang diinginkan oleh lidah saja tapi tidak memperhatikan faktor kesehatan. Begitu pula ketika berbelanja baju, kadang seseorang berbelanja bukan berdasar pada prioritas tetapi lebih kepada keinginan semata. Itulah nafsu manusia.

Dalam Tafsir Al-Misbah Thantawi memngemukakan bahwa sesungguhnya nafsu manusia sangat banyak yang mendorong pemiliknya kepada keburukan kecuali jiwa yang dirahmati Allah dan dipelihara dari ketergelinciran dan penyimpangan. Hal ini berawal dari kisah Yusuf yang digoda oleh seorang wanita dan dirayu untuk berbuat zina. Namun, ia lebih suka dimasukkan ke dalam penjara.

Al Qur’an memperkenalkan tiga macam peringkat nafsu manusia. Pertama, an nafs al-ammarah yang selalu mendorong pemiliknya berbuat keburukan. Kedua, an-nafs al-lawwamah yang selalu mengecam pemiliknya begitu dia melakukan kesalahan hingga timbul penyesalan dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan. Dan yang ketiga adalah an-nafs al-muthma’innah yakni jiwa yang tenang karena selalu mengingat Allah dan jauh dari segala pelanggaran dan dosa.

Kedua adalah mengembalikan segala urusan kepada Allah SWT (Al Baqarah: 155-157). Kata kami milik Allah berarti bahwa apapun yang dilakukan haruslah sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi Allah Maha Bijaksana. Segala tindakan-Nya pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah di balik ujian atau musibah. Seseorang yang menyerahkan segala urusan kepada Allah maka akan mendapat keberkahan, rahmat dan juga petunjuk. Keberkahan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam yang berupa limpahan pengampunan, pujian, menggantikan yang lebih baik daripada nikmat yang sebelumnya yang telah hilang. Semua keberkahan itu bersumber dari Tuhan.

Mereka juga mendapat rahmat. Yang pasti rahmat Allah tidaklah seperti rahmat makhluk. Bagaimana rahmat Allah, Allahlah Yang Maha Mengetahui. Selain itu mereka juga mendapat petunjuk. Bukan saja petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihan, tetapi juga petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (Fii Dzilalil Qur’an)

Tidak berlindung kepada apapun dan siapapun kecuali kepada Allah SWT. “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun (Al Baqarah: 155-156).

Telah menjadi suatu keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan menguji dengan ketakutan, kelaparan, kesengsaraan serta kemusnahan harta, nyawa dan makanan. Hal ini adalah suatu ketentuan untuk meneguhkan keyakinan orang yang beriman pada tugas kewajiban yang harus ditunaikannya. Sehingga, akhirnya mereka setelah mengalami ujian tentu akan terbukti tangguh dan merasa berat untuk berkhianat kepada Islam karena mengingat pengorbanan yang telah dilakukannya.

Akidah yang diperolah dengan gampang tanpa ujian akan mudah pula bagi penganutnya untuk meninggalkan bila satu ketika tertimpa ujian. Semakin berat ujian dan pengorbanan akan semakin meninggikan nilai akidah keyakinan dalam hati dan jiwa penganutnya. Bahkan, makin besar penderitaan dan pengorbanan yang diminta oleh suatu akidah bertambah berat juga seeorang untuk berkhianat.

Yang terpenting adalah kembali mengingat Allah ketika menghadapi segala keraguan dan kegoncangan  serta berusaha mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukan semata karena Allah. Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah dan tidak ada daya kecuali daya Allah. Ketika itu akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat yang menjadi landasan tegaknya tasahawwur atau pandangan yang benar.

Iman, hijrah dan jihad (Al Baqarah: 218) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

Harapan orang mukmin terhadap rahmat Allah sama sekali tidak akan dikecewakan oleh Allah. Sesungguhnya dia telah mendengar tentang golongan yang mukhlis dari golongan orang-orang mukmin yang berhijrah mengenai janji Allah yang benar ini, yang berjuang dan bersabar, sehingga Allah merealisasikan janji-Nya dengan memberinya kemenangan atau mati syahid. Kedua hal ini sama-sama baiknya, sama-sama sebagai rahmat. Mereeka beruntung mendapatkan pengampunan dan rahmat Allah SWT (Fi Zhilalil Qur’an : 271).

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah/jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung” (Al Ma’idah:35).

Mati dan hidup adalah sepasang pengantin yang terus berbulan madu sepanjang waktu tanpa kenal jemu. Barangsiapa yang tidak berusaha memesrakan hidupnya dengan kematiannya, maka ia tak akan merasakan bahagia untuk selamanya.  Kita berdoa semoga kita dikumpulkan dalam surga yang sama bersama keluarga kita yang tercinta.


Penulis

Nur Iswanti Hasani

Tinggal di Dusun Wonodoyo, Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul


pict: google.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar