Kelompok-kelompok kecil itu telah duduk di
tempatnya masing-masing. Berbaris dengan lurus, kaki bersila, tangan
bersedekap, mata terpejam, lantunan doa pun dimulai. Rutinitas pagi yang semoga
kan bertahan sampai kapanpun. “Jika pekerjaan akan dimulai, ucapkan basmallah.
Jika pekerjaan telah selesai, ucapkan hamdallah.” Kubuka pertemuan pagi itu
dengan lantunan lagu. Walaupun suaraku tak bagus-bagus amat, tapi cukuplah
membuat perhatian anak-anak terpusat padaku.
“Say, basmallah...”
“Bismilalahirrohmaanirrohiim..” bibir-bibir
kecil itu serentak berucap.
“How are you today?”
“I’m fine, thank you.
And you?”
“I’m fine too thank
you. Who is absent today?”
“Arya, Mom. Tadi pagi telepon kalo sakit.”
“O, begitu. Kita doakan moga lekas sembuh
ya.”
“Kita selalu berdoa agar kita semua diberikan
kesehatan ya.”
“Hmmmm.... hari ini bu guru punya cerita
untuk anak-anak”, ucapku membuka pembelajaran pagi itu.
“Cerita apa bu?”, tanya beberapa anak yang
membuat kelas menjadi gaduh.
“Kira-kira cerita apa ya???? Ada yang
tahu???”, lanjutku memancing rasa penasaran anak-anak. Bercerita merupakan
ritual pagi yang selalu kami biasakan. Cerita dapat berasal dari guru maupun
siswa. Tema ceritanya pun sangat beragam. Makanya ketika ritual dimulai, banyak
anak yang mualai bersiap menebak cerita yang akan didengar.
“Ayo, Bu dimulai ceritanya”, sambut salah
seorang anak.
“Oke, bu guru akan memulai kalau kalian semua
sudah siap,” ucapku pelan untuk menarik perhatian anak-anak yang mulai bosan
menunggu.
Anak-anak pun muali duduk tenang di
tempatnya. Beberapa yang masih sibuk sendiri, diingatkan oleh temannya untuk
segera tenang. Karena itu merupakan syarat cerita akan dimulai.
“Nah, cerita pagi ini adalah tentang seorang
shahabat Rasul yang bernama Umar Bin Khattab. Ada yang pernah mendengar
ceritanya?”, tanyaku.
“Saya sudah bu, lihat di Televisi, “sambut
salah seorang anak.
“Itu Bu, di ensiklopedia di perpus ada,”
lanjut yang lain.
“Umar itu kan teman kita Bu,” timpal Doni
yang langsung disambut tawa anak-anak dalam satu kelas. Yang tersebut namanya
senyum-senyum bangga dengan nama yang disandangnya. Dan kelas mulai riuh oleh
celotehan antar anak yang ingin menyampaikan apa yang mereka tahu tentang Umar
Bin Khattab.
“Kita lanjutkan ceritanya ya,” sambungku.
“Umar adalah adalah seorang pemuda yang gagah
berani, badannya tinggi besar, kalau berbicara suaranya menggelegar”, terangku
sambil mencoba meirukan karakter Umar lewat suara dan mimik wajah. Anak-anak
terlihat membayangkan deskripsi yang kuberikan.
“Umar ini sangat ditakuti oleh masyarakat
Quraisy pada waktu itu. Coba kalian bayangkan. Kalau di jalan, kalian bertemu
dengan orang seperti Umar, kira-kira takut tidak?”tanyaku.
“Takut buuuuu....”, jawab sebagian anak
serempak.
“Saya tidak takut Bu,” sela Erda. “Soalnya
Bapak saya juga kayak gitu. Tiap hari kerjaannya marah-marah terus”, tambahnya.
Aku mengernyitkan dahi mendengar apa yang
Erda sampaikan.
“Oh, begitu ya. Tapi orang tua itu akan marah
jika kita berbuat salah. Dan biasanya tujuannya baik. agar kita menjadi lebih
baik.”
Riuh rendah anak-anak berceloteh menceritakan
pengalaman pernah dimarahi oleh orang tuanya.
“Mau lanjut tidak ya ceritanya?”, selaku.
“Mauuuuu.... “
“Nah, karena sangat ditakuti maka masyarakat
memberikan sebutan khusus untuk Umar ini. Sebutannya adalah Singa Padang
Pasir.”
“Wahh, singa??? Ngeri ya..” sela salah satu
anak
“Betul sekali, itulah kenapa pada waktu itu
Rasulullah masih berdakwah secara diam-diam. Setelah Umar masuk Islam, barulah
Rasulullah berdakwah secara terang-terangan.”
“Berdakwah secara sembunyi itu gimana Bu?
Kayak main petak umpet gitu ya?”, tanya Bimba.
Sontak satu kelas tertawa mendengar
pertanyaan Bimba.
“Bagus sekali pertanyaan Bimba,” pujiku
“Namun bukan berarti Rasulullah bersama para
shahabat itu seperti main petak umpet. Maksudnya, dalam menyebarkan ajarannya
Rasulullah memilih untuk melaksanakkanya di rumah salah seorang penduduk
Mekkah. Rumah yang dipilih adalah rumah sahabat bernama Arqam. Makanya
dinamakan Darul Arqam. Rasulullah tidak melaksanakan di tempat umum karena
mendapat ancaman dari kaum kafir Quraisy”, terangku panjang lebar.
“Trus
kapan Rasulullah mulai berdakwah di tempat umum bu?”, tanya Intan.
“Cerdas sekali.”
“Rasulullah
mulai berdakwah secara terang-terangan itu setelah Malaikat Jibril
memerintahkan. Nah, salah satu yang menguatkan Rasul untuk berdakwah di tempat
umum itu ya Umar Bin Khattab.”
“Loh,
tapi kan Umar Bin Khattab itu kafir Bu?” tanya Vino.
“Betul
sekali Vino, tapi ada kejidian luar biasa yang membuat Umar akhirnya memeluk
agama Islam.”
“Gimana
bu ceritanya?”, lanjut Vino.
“Waktu
Islam mulai disebarkan oleh Rasulullah, salah satu adik Umar pun ikut memeluk
agama Islam. Nah, mengetahui hal itu Umar marah besar. Dalam keadaan marah itu,
Umar menuju rumah adiknya yang saat itu sedang membaca Al Qur’an. Dari luar
rumah, Umar mendengar lantunan ayat suci tersebut. Surat yang sedang dibaca
adalah surat Thoha. Tanpa pikir panjang
dia langsung mendobrak pintu rumah adiknya.”
Sambil
memperagakan apa yang dilakukan Umar di depan kelas aku pun mulai beraksi
layaknya seorang artis kawakan.
“Wahai
adikku apa yang kau baca itu?”,tanya Umar kepada adiknya.
“Ini
adalah kitab suci Al Qur’an”, jawab adiknya.
“Letakkan
dan tinggalkan ajaran Muhammad!” bentak Umar.
“Tidak,
sampai kapanpun aku tidak akan pernah meninggalkan keyakinan ini.”
Mendengar
pernyataan tersebut, semakin tersulut kemarahan Umar.
Amarah
yang sedari tadi ditahan, ia lampiaskan dengan memukul adiknya. darah pun
mengucur dari kepala sang adik. Namun tak ada erang kesakitan sidkitpun dari
mulutnya.
Melihat
kondisi tersebut, Umar merasa iba. Pelan dia dekati adiknya dengan amarah yang
mulai menurun.
“Perlihatkan
bacaan yang kau baca tadi,” kata Umar.
Dengan
sedikit ragu, maka adiknya pun menyerahkan kitab suci tersebut.
Baris
demi baris Umar menelusuri bacaan surat Thaha tersebut. Hatinya terguncang
dengan isi dari surat tersebut. Hidayah Allah tidak ada yang tahu. Dan pada
hari itulah Allah menurunkan hidayah-Nya kepada Umar. Pada hari itu juga Umar
akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
Cerita pun usai. Anak-anak sangat bangga
memiliki tauladan hebat seperti Umar Bin Khattab. Aktivitas pun dilanjutkan.
“Anak-anakku, hari ini kita akan mengganti
nama kelompok. Kalau kemarin kita sudah menggunakan nama buah-buahan, maka hari
ini kita akan memakai nama yang lain,” jelasku.
“Pakai nama apa, Bu?”
“Kita akan memakai nama Shahabat Rasul.”
Cerita Umar Bin Khattab sebelumnya memang sengaja kuberikan agar anak-anak
merasa bangga dengan para Shahabat Rasul.
“Sahabat Rasul? Siapa aja Bu?” terlihat
anak-anak masih bingung.
“Pakai nama Umar bin Khattan yang tadi itu ya
Bu?,” tanya Endra
“Iya, salah satunya adalah Umar,” jawabku.
Aku tertarik untuk memberikan nama kelompok
yang diambil dari nama para sahabat Nabi diantaranya adalah Abu Bakar Ash
Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Harun Ar
Rasyid. Harapannya anak-anak akan
mengidolakan para tokoh tersebut. Dengan
ghirah yang coba dihembuskan lewat keteladanan cerita, paling tidak ada sesuatu
yang berbekas dalam benak anak-anak, pikirku waktu itu.
“Sahabat Rasul tersebut diantaranya Abu Bakar
Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Harun Ar
Rasyid.”
“Ada yang sudah pernah mendengar namanya?”,
tanyaku kemudian.
“Tadi baru saja ibu cerita tentang Umar,”
“Yang lain mungkin?”
“Abu Bakar itu yang kaya raya itu kan?” sela
Jatu.
“Iya, betul sekali Jatu. Kalau yang lain?”
Setiap kali penyebutan nama kelompok, aku
selalu mencoba untuk mengulas bagaimana sifat dan watak dari para tokoh yang
dipilih sebagai nama kelompok. Abu Bakar dan Utsman bin Affan lewat
kedermawanannnya, Umar lewat keberanian ketegasannya, Ali lewat kecerdasannya dan
Harun ar Rasyid lewat keadilannya.
Kelompok pun telah diubah namanya. Semua anak
saling membanggakan nama kelompok masing-masing. Hingga pada suatu ketika,
kelompok yang bernama Umar bin Khattab anggotanya rata-rata lemes semua. Mereka
mengantuk dan tidak bersemangat. Padahal dalam cerita kusebutkan bahwa Umar bin
Khattab adalah seorang tokoh yang sangat pemberani dan disegani oleh kaum
kafir. Ketegasannya telah membuat para tokoh kafir pun gentar.
Aku pun berucap, “ Ayo kelompok Umar kok
loyo, semangat dong. Nanti Umar bin Khattab marah kalau namanya dipakai untuk
kalian yang loyo-loyo.”
Seorang anak menyeletuk ,” Lho emang Umar bin
Khattab masih hidup po Bu?”
Aku pun menjawab, “Tidak, beliau sudah
meninggal”
Siswa tersebut menyahut lagi, “Kalo misal
sudah meninggal berarti tidak bisa marah dong Bu.”
Ow, ow, kepolosan yang mengandung
pembelajaran pikirku. Hikmah yang sungguh luar biasa dari kejadian yang sungguh
tak terduga. Pertanyaan simple tapi tak pernah terpikir dan mungkin bingung
untuk menemukan jawabannya. Pemikiran yang senantiasa kritis atas segala
sesuatu yang baru dari apa yang dilihat, didengar dan dialami. Akankah aku
berhenti belajar ketika anak-anak selalu berkembang seiring tersambungnya tiap
hubungan dendrit di dalam otaknya. Benarlah bila dikatakan bahwa belajar itu
adalah proses sepanjang hayat (long life
education). Menuntut ilmu itu dimulai dari buaian sampai ke liang lahat.
Dia hanya akan berhenti ketika ruh telah terpisah dari raga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar