Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Rabu, 21 April 2021

Ramadhan Day-7: Apakah Umar bin Khattab Marah?

 


Kelompok-kelompok kecil itu telah duduk di tempatnya masing-masing. Berbaris dengan lurus, kaki bersila, tangan bersedekap, mata terpejam, lantunan doa pun dimulai. Rutinitas pagi yang semoga kan bertahan sampai kapanpun. “Jika pekerjaan akan dimulai, ucapkan basmallah. Jika pekerjaan telah selesai, ucapkan hamdallah.” Kubuka pertemuan pagi itu dengan lantunan lagu. Walaupun suaraku tak bagus-bagus amat, tapi cukuplah membuat perhatian anak-anak terpusat padaku.

“Say, basmallah...”

“Bismilalahirrohmaanirrohiim..” bibir-bibir kecil itu serentak berucap.

“How are you today?”

“I’m fine, thank you. And you?”

“I’m fine too thank you. Who is absent today?”

“Arya, Mom. Tadi pagi telepon kalo sakit.”

“O, begitu. Kita doakan moga lekas sembuh ya.”

“Kita selalu berdoa agar kita semua diberikan kesehatan ya.”

“Hmmmm.... hari ini bu guru punya cerita untuk anak-anak”, ucapku membuka pembelajaran pagi itu.

“Cerita apa bu?”, tanya beberapa anak yang membuat kelas menjadi gaduh.

“Kira-kira cerita apa ya???? Ada yang tahu???”, lanjutku memancing rasa penasaran anak-anak. Bercerita merupakan ritual pagi yang selalu kami biasakan. Cerita dapat berasal dari guru maupun siswa. Tema ceritanya pun sangat beragam. Makanya ketika ritual dimulai, banyak anak yang mualai bersiap menebak cerita yang akan didengar.

“Ayo, Bu dimulai ceritanya”, sambut salah seorang anak.

“Oke, bu guru akan memulai kalau kalian semua sudah siap,” ucapku pelan untuk menarik perhatian anak-anak yang mulai bosan menunggu.

Anak-anak pun muali duduk tenang di tempatnya. Beberapa yang masih sibuk sendiri, diingatkan oleh temannya untuk segera tenang. Karena itu merupakan syarat cerita akan dimulai.

“Nah, cerita pagi ini adalah tentang seorang shahabat Rasul yang bernama Umar Bin Khattab. Ada yang pernah mendengar ceritanya?”, tanyaku.

“Saya sudah bu, lihat di Televisi, “sambut salah seorang anak.

“Itu Bu, di ensiklopedia di perpus ada,” lanjut yang lain.

“Umar itu kan teman kita Bu,” timpal Doni yang langsung disambut tawa anak-anak dalam satu kelas. Yang tersebut namanya senyum-senyum bangga dengan nama yang disandangnya. Dan kelas mulai riuh oleh celotehan antar anak yang ingin menyampaikan apa yang mereka tahu tentang Umar Bin Khattab.

“Kita lanjutkan ceritanya ya,” sambungku.

“Umar adalah adalah seorang pemuda yang gagah berani, badannya tinggi besar, kalau berbicara suaranya menggelegar”, terangku sambil mencoba meirukan karakter Umar lewat suara dan mimik wajah. Anak-anak terlihat membayangkan deskripsi yang kuberikan.

“Umar ini sangat ditakuti oleh masyarakat Quraisy pada waktu itu. Coba kalian bayangkan. Kalau di jalan, kalian bertemu dengan orang seperti Umar, kira-kira takut tidak?”tanyaku.

“Takut buuuuu....”, jawab sebagian anak serempak.

“Saya tidak takut Bu,” sela Erda. “Soalnya Bapak saya juga kayak gitu. Tiap hari kerjaannya marah-marah terus”, tambahnya.

Aku mengernyitkan dahi mendengar apa yang Erda sampaikan.

“Oh, begitu ya. Tapi orang tua itu akan marah jika kita berbuat salah. Dan biasanya tujuannya baik. agar kita menjadi lebih baik.”

Riuh rendah anak-anak berceloteh menceritakan pengalaman pernah dimarahi oleh orang tuanya.

“Mau lanjut tidak ya ceritanya?”, selaku.

“Mauuuuu.... “

“Nah, karena sangat ditakuti maka masyarakat memberikan sebutan khusus untuk Umar ini. Sebutannya adalah Singa Padang Pasir.”

“Wahh, singa??? Ngeri ya..” sela salah satu anak

“Betul sekali, itulah kenapa pada waktu itu Rasulullah masih berdakwah secara diam-diam. Setelah Umar masuk Islam, barulah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan.”

“Berdakwah secara sembunyi itu gimana Bu? Kayak main petak umpet gitu ya?”, tanya Bimba.

Sontak satu kelas tertawa mendengar pertanyaan Bimba.

“Bagus sekali pertanyaan Bimba,” pujiku

“Namun bukan berarti Rasulullah bersama para shahabat itu seperti main petak umpet. Maksudnya, dalam menyebarkan ajarannya Rasulullah memilih untuk melaksanakkanya di rumah salah seorang penduduk Mekkah. Rumah yang dipilih adalah rumah sahabat bernama Arqam. Makanya dinamakan Darul Arqam. Rasulullah tidak melaksanakan di tempat umum karena mendapat ancaman dari kaum kafir Quraisy”, terangku panjang lebar.

“Trus kapan Rasulullah mulai berdakwah di tempat umum bu?”, tanya Intan.

“Cerdas sekali.”

“Rasulullah mulai berdakwah secara terang-terangan itu setelah Malaikat Jibril memerintahkan. Nah, salah satu yang menguatkan Rasul untuk berdakwah di tempat umum itu ya Umar Bin Khattab.”

“Loh, tapi kan Umar Bin Khattab itu kafir Bu?” tanya Vino.

“Betul sekali Vino, tapi ada kejidian luar biasa yang membuat Umar akhirnya memeluk agama Islam.”

“Gimana bu ceritanya?”, lanjut Vino.

“Waktu Islam mulai disebarkan oleh Rasulullah, salah satu adik Umar pun ikut memeluk agama Islam. Nah, mengetahui hal itu Umar marah besar. Dalam keadaan marah itu, Umar menuju rumah adiknya yang saat itu sedang membaca Al Qur’an. Dari luar rumah, Umar mendengar lantunan ayat suci tersebut. Surat yang sedang dibaca adalah surat Thoha.  Tanpa pikir panjang dia langsung mendobrak pintu rumah adiknya.”

Sambil memperagakan apa yang dilakukan Umar di depan kelas aku pun mulai beraksi layaknya seorang artis kawakan.

“Wahai adikku apa yang kau baca itu?”,tanya Umar kepada adiknya.

“Ini adalah kitab suci Al Qur’an”, jawab adiknya.

“Letakkan dan tinggalkan ajaran Muhammad!” bentak Umar.

“Tidak, sampai kapanpun aku tidak akan pernah meninggalkan keyakinan ini.”

Mendengar pernyataan tersebut, semakin tersulut kemarahan Umar.

Amarah yang sedari tadi ditahan, ia lampiaskan dengan memukul adiknya. darah pun mengucur dari kepala sang adik. Namun tak ada erang kesakitan sidkitpun dari mulutnya.

Melihat kondisi tersebut, Umar merasa iba. Pelan dia dekati adiknya dengan amarah yang mulai menurun.

“Perlihatkan bacaan yang kau baca tadi,” kata Umar.

Dengan sedikit ragu, maka adiknya pun menyerahkan kitab suci tersebut.

Baris demi baris Umar menelusuri bacaan surat Thaha tersebut. Hatinya terguncang dengan isi dari surat tersebut. Hidayah Allah tidak ada yang tahu. Dan pada hari itulah Allah menurunkan hidayah-Nya kepada Umar. Pada hari itu juga Umar akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Cerita pun usai. Anak-anak sangat bangga memiliki tauladan hebat seperti Umar Bin Khattab. Aktivitas pun dilanjutkan.

“Anak-anakku, hari ini kita akan mengganti nama kelompok. Kalau kemarin kita sudah menggunakan nama buah-buahan, maka hari ini kita akan memakai nama yang lain,” jelasku.

“Pakai nama apa, Bu?”

“Kita akan memakai nama Shahabat Rasul.” Cerita Umar Bin Khattab sebelumnya memang sengaja kuberikan agar anak-anak merasa bangga dengan para Shahabat Rasul.

“Sahabat Rasul? Siapa aja Bu?” terlihat anak-anak masih bingung.

“Pakai nama Umar bin Khattan yang tadi itu ya Bu?,” tanya Endra

“Iya, salah satunya adalah Umar,” jawabku.

Aku tertarik untuk memberikan nama kelompok yang diambil dari nama para sahabat Nabi diantaranya adalah Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Harun Ar Rasyid.  Harapannya anak-anak akan mengidolakan  para tokoh tersebut. Dengan ghirah yang coba dihembuskan lewat keteladanan cerita, paling tidak ada sesuatu yang berbekas dalam benak anak-anak, pikirku waktu itu.

“Sahabat Rasul tersebut diantaranya Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Harun Ar Rasyid.”

“Ada yang sudah pernah mendengar namanya?”, tanyaku kemudian.

“Tadi baru saja ibu cerita tentang Umar,”

“Yang lain mungkin?”

“Abu Bakar itu yang kaya raya itu kan?” sela Jatu.

“Iya, betul sekali Jatu. Kalau yang lain?”

Setiap kali penyebutan nama kelompok, aku selalu mencoba untuk mengulas bagaimana sifat dan watak dari para tokoh yang dipilih sebagai nama kelompok. Abu Bakar dan Utsman bin Affan lewat kedermawanannnya, Umar lewat keberanian ketegasannya, Ali lewat kecerdasannya dan Harun ar Rasyid lewat keadilannya.

Kelompok pun telah diubah namanya. Semua anak saling membanggakan nama kelompok masing-masing. Hingga pada suatu ketika, kelompok yang bernama Umar bin Khattab anggotanya rata-rata lemes semua. Mereka mengantuk dan tidak bersemangat. Padahal dalam cerita kusebutkan bahwa Umar bin Khattab adalah seorang tokoh yang sangat pemberani dan disegani oleh kaum kafir. Ketegasannya telah membuat para tokoh kafir pun gentar.

Aku pun berucap, “ Ayo kelompok Umar kok loyo, semangat dong. Nanti Umar bin Khattab marah kalau namanya dipakai untuk kalian yang loyo-loyo.”

Seorang anak menyeletuk ,” Lho emang Umar bin Khattab masih hidup po Bu?”

Aku pun menjawab, “Tidak, beliau sudah meninggal”

Siswa tersebut menyahut lagi, “Kalo misal sudah meninggal berarti tidak bisa marah dong Bu.”

Ow, ow, kepolosan yang mengandung pembelajaran pikirku. Hikmah yang sungguh luar biasa dari kejadian yang sungguh tak terduga. Pertanyaan simple tapi tak pernah terpikir dan mungkin bingung untuk menemukan jawabannya. Pemikiran yang senantiasa kritis atas segala sesuatu yang baru dari apa yang dilihat, didengar dan dialami. Akankah aku berhenti belajar ketika anak-anak selalu berkembang seiring tersambungnya tiap hubungan dendrit di dalam otaknya. Benarlah bila dikatakan bahwa belajar itu adalah proses sepanjang hayat (long life education). Menuntut ilmu itu dimulai dari buaian sampai ke liang lahat. Dia hanya akan berhenti ketika ruh telah terpisah dari raga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar