Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Rabu, 28 April 2021

Ramadhan Day-15: Model Pendidikan Karakter (Part 1)

04.36 0 Comments

 



Pendidikan karakter yang digaungkan saat ini sepertinya belum bisa menjawab persoalan yang semakin hari semakin bertambah berat. Persoalan tersebut diantaranya terkait dengan moral dan akhlak anak dalam kehidupan kesehariannya. Penanaman karakter melalui doktrinasi seperti yang diberikan para pendahulu tidak lagi bisa diterapkan pada kondisi zaman seperti saat ini. Kondisi siswa saat ini lebih membutuhkan pemahaman yang “gamblang” tentang segala sesuatu yang mereka hadapi. Pemberian tauladan pun semakin tak dihiraukan. Hal ini disebabkan adanya krisis figuritas. Figur atau tokoh yang layak untuk bisa dijadikan pijakan dalam bersikap semakin sedikit. Ketika ada pun, biasanya mereka adalah bagian kecil dari masyarakat yang tak terekspos oleh media. Padahal saat ini, figur yang biasa menjadi panutan dan anutan seorang anak adalah yang sering muncul di media massa.  Walaupun kadang tidak menghiraukan sama sekali kualitas dari sang figur tersebut.

Pemangkasan materi sebagai usaha perbaikan kurikulum pun sepertinya belum menampakkan hasil. Beberapa pandangan menyebutkan bahwa merosotnya kualitas pendidikan karakter dikarenakan beban berat seorang anak dalam menerima pelajaran. Guru terfokus untuk menyampaikan gemuknya materi sehingga tak menghiraukan lagi segi sikap ataupun afektif peserta didiknya. Pendapat ini tak juga salah. Tuntutan yang berat dari kurikulum memang membuat guru kewalahan. Tak hanya dalam hal mengajar saja tetapi juga dalam hal mendidik. Alhasil, nilai hidup yang sejatinya tersisip dalam setiap proses pembelajaran pun menjadi terlupa.

Pertanyaan besar yang mungkin bisa diajukan saat ini adalah: model pendidikan karakter seperti apa yang tepat untuk diterapkan dalam mengatasi segala problematika yang membelit moral anak bangsa? Yang pertama harus diyakini oleh para pendidik adalah segala masalah pasti mempunyai jalan keluar. Salah satu jalan keluar dalam menjawab pendidikan karakter bangsa ini adalah dengan metode komprehensif. Apa itu metode komprehensif dalam pendidikan karakter? Metode ini berkembang sebagai kesadaran akan situasi yang serba kompleks. Pendekatan ini menekankan pada lulusan yang mampu membuat keputusan moral dan sekaligus memiliki perilaku yang terpuji berkat pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan (Zuchdi, dkk, 2013: 16). Pendekatan ini melibatkan beberapa segi diantaranya metode yang diterapkan, pendidik yang berpartisipasi, serta konteks berlangsungnya pendidikan karakter.

Metode yang digunakan dalam pendekatan komprehensif pendidikan karakter meliputi inkulkasi (inculcation), keteladanan (modelling), fasilitasi (facilitation) dan pengembangan keterampilan (skill building). Inkulkasi atau penanaman nilai merupakan usaha pengintegrasian nilai kehidupan pada diri anak secara terus-menerus setiap hari. Sebagai contoh adalah menghargai pendapat orang lain, memperlakukan orang lain secara adil, mengomunikasikan kepercayaan ataupun keragu-raguan disertai alasan yang mendasarinya, memberikan konsekuensi disertai alasan yang kuat, menjaga komunikasi dengan teman yang berbeda pendapat, memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda. Sikap tersebut harus dibiasakan dan menjadi bagian hidup dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh para siswa. Usaha penanaman tersebut tak akan sempurna jika tidak dilengkapi dengan modelling, facilitating dan skill building. Pembahasan selanjutnya dapat dibaca pada Model Pendidikan Karakter (part 2).

 

Ramadhan Day-14: Urgensi Pendidikan Karakter

04.33 0 Comments

 



Pendidikan karakter atau biasa dikenal dengan character building menjadi kebutuhan yang sangat urgen. Fenomena masyarakat saat ini sudah sangat jauh berubah. Peristiwa demi peristiwa menghias halaman depan surat kabar ataupun topik utama dalam pembahasan diskusi pada semua stasiun televisi. Tak tertinggal pula segala peristiwa yang membuat bulu kuduk ini bergidik menyaksikannya. Betapa tidak, berita mengenai kebrutalan anak kepada orang tua ataupun kebiadaban orang tua kepada anak sudah melampau batas fitrah yang selayaknya. Belum lagi tingkah polah para pemimpin negeri yang sudah tak malu lagi berbuat kesalahan yang akibatnya pun ditanggung oleh rakyatnya. Korupsi dan penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri ini sudah menjadi satu rahasia umum. Pembangunan dinasti keluarga pada suatu instansi, penyelesaian perkara dengan uang sebagai pelicin dan masih banyak lagi kasus lain yang mungkin tak sempat terekspos oleh media.

Berbagai fenomena di atas merupakan sebuah hasil dari proses lama sebuah pembentukan kepribadian atau karakter. Karakter tersebut berawal dari kebiasaan beberapa individu yang akhirnya memasyarakat. Seorang ahli pernah mengatakan bahwa jika kita menanam kebiasaan maka akan terbentuklah karakter. Beberapa karakter yang tersebut di atas, semisal karakter korup merupakan kebiasaan turun menurun yang tidak pernah diputus yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan ada pemakluman ataupun pemaafan. Bisa dibilang, kesalahan yang dilakukan berulang kali tidak dianggap lagi sebagai kesalahan. Semua itu sudah disebut sebagai kebiasaan yang berbuah pada karakter. Kondisi tersebut akhirnya mendarah daging dan sulit untuk dihilangkan.

Pembentukan karakter ini merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan sebuah bangsa. Jika semakin lama karakter korup yang dibiasakan maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang berkarakter korup. Suatu yang jelek jika dibiasakan akan menjadi karakter, maka sesuatu yang baik pun ketika dibiasakan maka akan menjadi sebuah karakter juga. Namun, mungkin belum banyak yang mengumandangkan bagaimana karakter baik itu terbentuk. Padahal banyak karakter baik yang sebenarnya dimiliki oleh bangsa ini.

Bangsa yang menginginkan manusia yang berkarakter baik, maka harus berupaya untuk mewujudkannya lewat media bernama pendidikan. Pendiidkan dipilih sebagai media nya karena tujuan dari pendidikan adalah untuk membentuk dan juga mengubah. Membentuk pembiasaan yang baik melalui pendidikan, menanamkan pemahaman melalui pendidikan. Selain itu, mengubah sesuatu dari buruk menjadi baik pun juga melalui pendidikan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menjadi indikator kemajuan sebuah bangsa. Hal tersebut dikarenakan dengan pendidikan yang baik, maka kualitas manusia pun akan sejalan.  Begitu pula sebaliknya.

Pendidikan karakter yang saat ini digaungkan di penjuru dunia merupakan salah satu jalan merubah kebiasaan lama yang sudah mengakar kuat. Manusia senantiasa berubah sesuai dengan kultur dimana ia tinggal. Sifat manusia tidaklah statis melainkan dinamis. Hal ini dibuktikan bahwa dalam masyarakat kita tidak sedikit orang yang dulunya jahat sekarang menjadi baik, lebih baik dari kita bahkan. Begitu pula sebaliknya, banyak juga orang yang dulunya baik berubah 180 derajad menjadi orang yang sangat jahat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sifat atau karakter seseorang bukanlah murni bawaan secara genetis, namun andil pembiasaan dan lingkungan pun juga sangat besar. Kondisi tersebut menjadi sebuah peluang ataupun kesempatan bagi para pendidik untuk membentuk karakter seseorang anak sejak dini.

Pendidikan karakter memang bukan merupakan mata bidang yang tercantum dalam jadwal pelajaran. Akan tetapi, kebutuhan akan pendidikan karakter ini justru lebih penting daripada teori-teori dari buku yang hanya berhenti di meja belajar. Oleh karena itu, sinergi dari semua elemen sangat diperlukan demi perbaikan karakter bangsa.

 

 

Pict: google.com

Ramadhan Day-13: Kurikulum "Gemuk"

04.27 0 Comments

 


Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang harus diikuti oleh semua satuan pendidikan. Merupakan hal yang membingungkan ketika kita menilik pada kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap hal yang telah ditetapkan pasti mengandung perdebatan yang tiada akhir. Belum lagi pro dan kontra yang senantiasa mengiringi dalam pengusungan sebuah kebijakan. Bergantinya pemimpin berdampak pada pergantian kebijakan pula. Seperti itu terus saja bergulir seiring dengan pergantian tampuk pemerintahan.

Seperti sebuah peribahasa, gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah. Perumpamaan tersebut sekiranya dapar ditarik dalam dunia nyata pendidikan yang menggejala saat ini. Ketika para pembesar pendidikan bersilang-sikut tentang kurikulum yang akan diterapkan, maka guru sebagai ujung tombak diibaratkan seperti pelanduk. Ya, seekor pelanduk yang mati atau dibahasakan dengan mati dalam kebingungan. Betapa tidak, jika pergantian yang dilakukan berdasar hanya pada kepentingan partai yang bersifat sesaat.

Kurikulum tingkat sekolah dasar pun seperti itu. Dunia bermaian yang merupakan ekspresi fitrah dari seorang anak sudah seharusnya diakomodir menjadi sebuah perumusan dalam mengaplikasikan kurikulum di tingkat dasar. Tidak seperti saat ini. Wow, STRESS, mungkin itu kata yang bisa digunakan untuk mengibaratkan. Materi tingkat sekolah dasar yang sangat gemuk dengan konsep dan teori tersebut diharuskan untuk bisa dijejalkan ke dalam otak si anak. Otak si anak yang bahkan sudah terisi dengan pemahaman awal yang merupakan hasil interaksinya dengan alam takambang.

Pensyaratan kemampuan membaca, menulis maupun berhitung pun tidak sesuai dengan fitrah anak yang masih membutuhkan lebih banyak waktu untuk pemenuhan kebutuhan bermainnya. Menurut Prof. Dr. S.C. Utami Munandar (2001:99), bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara spontan karena disenangi dan sering tanpa tujuan tertentu. Bagi anak, bermain merupakan suatu kebutuhan yang perlu agar ia dapat berkembang secara wajar dan utuh, menjadi orang dewasa yang mampu menyesuaikan dan membangun dirinya. Bermain bagian dari perkembangan anak.

Jika guru dibebani dengan gemuknya materi yang harus disampaikan kepada siswa, maka waktu untuk memberi kesempatan siswa untuk bermain pun akan berkurang. Oleh karena itu, guru pun harus cukup kreatif mensikapi kondisi yang memang belum bisa diubah hingga saat ini. guru dituntut untuk bisa mengemas kegiatan pembelajaran dalam bentuk permainan ataupun kegiatan yang menyenangkan. Dengan begitu, anak-anak tidak akan merasa bahwa sebenarnya mereka sedang belajar.


pict: google.com

Sabtu, 24 April 2021

Ramadhan Day-12: Arsitek Ulung

16.58 0 Comments


 

Duduk tertunduk, memainkan pensil yang dipegang, buku dihadapan dibiarkan terbuka tanpa dibaca. Teman yang lain berkejaran, bercanda kian kemari, berceloteh ria tak henti. Riuh rendah suara di sekitar seperti tak berpengaruh sama sekali pada konsentrasi anak tersebut dalam imajinasi.

“Tuutttttttttt,.... Tuuttt.....” , bel berbunyi berulang 3 kali.

Waktu istirahat tiba. Anak tersebut masih asyik memainkan pensil yang sedari tadi dipegang. Buku tetap saja teronggok tak terjamah.

“Brukkk..........” salah satu teman yang sedang main tak sengaja menyenggol dan jatuh tepat di depannya, menindih kertas yang ada di hadapannya.

“Aduhuhhh...... Kiki sih”, keluh anak yang jatuh tersebut.

“Dorong-dorong....!”

“Maaf-maaf..”, sambut Kiki sebelum anak tersebut marah padanya.

Anak tersebut tetap saja diam. Dia hanya melihat sekilas percakapan kedua teman di depannya. Tak ada komentar, tak ada reaksi.

45 menit telah berlalu dan kertas itu sedikitpun belum terjamah. Aku masih membiarkannya. Aku ingin melihat apa yang akan anak tersebut lakukan setelah waktu berlalu satu jam. Masih ada waktu 15 menit, harapanku tergantung pada menit tersebut. Permainan anak-anak di kelasku tetap berlanjut.

“Janu, sudah selesai, Nak?”, tanyaku membuyarkan lamunannya.

Tatapan kosong itu merupakan jawaban yang dia selalu berikan kepadaku ketika pekerjaan yang kuberikan tak selesai. Sementara itu, kertas yang ada di tanganku saat ini belum juga terisi. Hanya tulisan nama dan goresan basmallah di bagian kanan atas.

“Bagian mana yang Janu tidak bisa, biar Bu guru bantu.”

Sambil menunjuk kertas itu, “Janu nggak bisa Bu.” Tapi tatapan mata itu lagi-lagi tak menuju ke arahku.

“Baiklah, sekarang pelan-pelan kita kerjakan bersama ya.”

Tak ada jawaban maupun anggukan tanda setuju. Hanya sekilas tatapan itu terlihat mengarah ke mataku. Sangat cepat, setelah itu buyar dan pergi lagi. Pelan kubacakan soal satu per satu sembari kupancing pemahamannya terkait jawaban dari soal tersebut. Jika dia paham, maka tangan kecil itu akan langsung mendaratkan pensil di atas kertas dan menuliskan jawaban. Namun, ketika dia belum paham, maka diam dan berhenti itu langkah yang dia ambil. Tak ada pertanyaan ataupun pernyataan “Bu, aku tidak tahu” atau yang semacamnya. Itulah tantanganku untuk lebih gamblang menjelaskan konsep kepadanya.

Lima soal selesai dalam waktu 30 menit. 45 menit sebelumnya merupakan waktu penjajakanku untuk kesekian kali. Waktu dimana aku mencari cara treatment untuk muridku yang satu ini, Janu. Treatment itu akhirnya masih sama, yaitu pendampingan penuh dalam mengerjakan latihan soal.

“Janu, sekarang sudah boleh bermain dengan teman-teman ya.”

Dia tak beranjak sebelum aku yang kemudian mendahului untuk beranjak dari sisinya. Kulihat akhirnya dia melangkahkan kakinya ke arah loker dan mengambil selembar kertas. Dia mengambil tempat di sudut kelas yang tak banyak siswa bermain di sana. Tangannya mulai menggoreskan sesuatu di atas kertas tersebut. Entah apa, tapi terlihat bahwa dia sangat menikmati aktivitas tersebut.

Janu, merupakan anak tinggal kelas yang diamanahkan padaku untuk tahun ini. Dari awal tahun, memang belum pernah aku bisa berkomunikasi secara lancar dengannya. Transfer dari guru yang sebelumnya pun menyebutkan bahwa anak tersebut memang sangat spesial. Jarang bersosialisasi, jarang berbicara, menghindari tatapan langsung, sangat suka melamun dan berimajinasi, kadang berbicara ataupun tersenyum dengan sendirinya. Hampir di semua mata pelajaran tertinggal karena konsentrasinya sangat rendah. Ketika guru menjelaskan, dia justru asyik dengan imajinasinya.

Kuhampiri Janu yang sedang asyik dengan kertas dan pensil di depannya.

“Janu sedang apa?”

Kedatanganku sepertinya tak dihiraukan sama sekali. Anak itu terus saja membuat goresan dengan asyiknya. Sebuah replika pesawat yang tak lazim menurutku.

“Itu gambar pesawat ya?”, tanyaku lagi tak menyerah.

Anggukan itu cukup, tanpa tatapan sedikitpun. Sepertinya kata pesawat adalah kuncinya.

“Pesawatnya bagus. Itu pesawat tipe apa? Kok Bu Guru belum pernah lihat. Sepertinya keren banget”, lanjutku.

“Ini pesawat khusus angkutan”, jawabnya.

Antusias sepertinya tema tentang pesawat ini. Aku coba lanjutkan.

“Wah, bu Guru mau dong diceritain tentang pesawat ini”, sambil kutunjuk gambar yang ada di depannya.

Wajahnya terangkat, kemudian dia mulai berkisah.

“ Janu mau buat pesawat angkutan bu. Ini bagian mesinnya digerakkan oleh dua buah kipas yang didesaian secara khusus. Pesawat ini tidak terlalu besar sehingga mudah untuk dikendalikan”.

“Oh, gitu ya. Sejak kapan Janu suka pesawat?”

“Waktu itu saya dapay CD tentang pesawat. Saya lihat trus saya jadi suka Bu.”

“Memang kalau sudah besar nanti Janu pengin jadi engineer pesawat ya?”

“Bukan, Bu. Saya pengin jadi pilot. Pilot kan tugasnya mengendalikan pesawat. Keren, Bu.” 

Terkagum aku mendengar penjelasannya. Sebuah imajinasi luar biasa yang keluar dari seorang anak yang selama ini jarang kulirik kemampuannya. Bahkan setahuku, kemampuan penjelasannya melebihi teman-teman yang lain.

“Janu, besok lagi buat gambar pesawat yang lain ya”, pintaku.

Mengangguk dia di hadapanku.

“Bu guru juga ingin mendengar cerita tentang pesawatnya lagi.”

Kutinggalkan dia dalam keasyikan menarikan pensil di atas kertas bergambar pesawat itu. Hatiku berbisik, “Maafkan Bu guru, Nak. Selama ini belum terlalu mendalam mengenalmu.”

Jumat, 23 April 2021

Ramadhan Day-11: Cerita Cinta

00.51 0 Comments

 




Cinta merupakan sebuah kata yang bagi sebagian orang mungkin sangat susah untuk didefinisikan. Karena cinta identik dengan segala lika liku suka maupun duka. Namun apa arti cinta sebenarnya? Mestinya ini menjadi suatu defnisi yang tak sama dari setiap insan yang merasai cinta.

Cinta bagi saya adalah sesuatu yang membuat bahagia. Bisa dalam bentuk nyata ataupun maya. Sesuatu yang nyata di hadapan mata biasanya menghadirkan rasa cinta di dalam jiwa semisal pasangan hidup, anak-anak, keluarga, sahabat ataupun wujud fisik lain yang membuat bahagia. Berwujud maya jikalau hal tersebut mendatangkan suka serta dinanti kehadirannya.

Saat ini saya sedang jatuh cinta pada dunia farming. Segala bentuk nyata terkait pertanian dan aktivitasnya sangat menyita perhatian saya. Fokus saya pada saat ini adalah pada model organic farming. Mengapa saya jatuh cinta pada organic farming? Cerita ini berawal pada kegelisahan saya pola hidup yang saya jalani. Setiap hari serba terburu dalam semua aktivitas. Makanan pun serba instan yang penting mengenyangkan. Tak pernah terpikir apakah makanan tersebut sehat ataukah justru membawa banyak mudharat.  Hingga akhirnya kesadaran tersebut muncul saat saya bergabung dalam event Fitrah World Movement Summit. Dalam kelas tersebut dijabarkan hakikat hidup dari mulai dasar hingga praktik keseharian. Terjawablah rasa gelisah selama ini bahwa pola hidup yang dilakukan banyak yang belum tepat.

Fokus perubahan saya yang pertama adalah pada pola makan. Semua bahan dan pola makan dirombak. Dan memang nyata hasilnya, badan terasa lebih enak. Kemudian cara medapatkan bahan makan pun akhirnya diikhtiarkan dari proses yang tepat (organic). Merasa lebih tenang juga. Semua proses itu kami jalani hingga saat ini. Sedikit banyak akhirnya kami pun banyak belajar.

Ilmu terkait pola makan tersebut tak ingin kami simpan sendiri, kami pun berusaha membagikan apa yang kami ketahui kepada orang lain. Berawal dari keluarga, sahabat, dan masyarakat yang tertarik dengan apa yang kami lakukan. Mengapa kami ingin berbagi terkait pola makan sehat dan juga sistem organic farming ini? Banyak alasan yang mendasarinya.

-       Pola hidup yang serba terburu saat ini membuat sebagian orang tak punya waktu untuk memperhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Yang penting kenyang dan enak. Padahal makanan yang mengenyangkan dan enak tersebut tak semuanya bermanfaat bagi tubuh, bahkan ada yang sebagia hanya menjadi sampah yang akhirnya justru menjadi pemicu timbulnya penyakit.

-       Sistem pertanian organic saat ini sudah banyak ditinggalkan. Semua tergantikan dengan bantuan bahan kimia. Selain hasilnya lebih bagus, waktu yang dibutuhkan untuk memanen pun cenderung lebih singkat. Hasil yang berlimpah itulah yang menggiurkan para petani akhirnya memilih jalan pintas dengan bantuan kimia. Padahal segala hal yang melibatkan obat-obatan kimiawi itu pasti ada dampaknya. Efek yang dirasakan bisa jangka pendek, tapi bisa juga jangka panjang. Dari segi hasil panen terbukti bahwa terdapat residu bahan kimia pada sayuran yang diberikan pupuk/semprot kimia. Selain itu, tanah sebagai tempat hidup tanaman pun lama kelamaan akan berkurang tingkat kesuburan alaminya karena banyak mikoorganisme yang tak bisa hidup di dalamnya.

Masih banyak alasan lain, akan tetapi 2 alasan di atas kiranya cukup bagi kami untuk secara perlahan berhijrah pada sistem organik dan menerapkan pola makan sehat. Kami pun tak ingin sendiri, maka kami pun berusaha mengajak orang lain dengan cara menulis, berdiskusi dan menampakkan bukti langsung dari apa yang telah kami lakukan.

 

Surat CINTA untuk SI DIA



Setelah mengungkapkan kecintaan saya terhadap apa yang saya geluti saat ini, maka tiba saatnya untuk memupuk cinta pada pasangan hidup…

Surat cinta sederhana itupun saya berikan saat ia pulang dari sholat tarawih. Surat tersebut saya selipkan pada boneka berwarna pink milik anak. Awalnya beliau belum terlalu perhatian pada boneka tersebut. Tetapi ketika melihat gulungan kertas yang terselip pada leher boneka, beliau mulai merasa penasaran. “Kertas apa ini”, tanya beliau. Saya pun menjawab, “buka saja”. Akhirnya beliau mengambil gulungan kertas tersebut dan membukanya. Saat membacanya, beliau beberapa kali mengucapkan MasyaAllah sambil tersenyum. Beliau menatap saya dan berkata, “Ini surat cinta pertama yang pernah diberikan padaku, sebelumnya aku belum pernah mendapat surat cinta seperti ini”. Saya pun sontak tertawa mendengar perkataan tersebut.

Pengalaman memberikan surat cinta untuk suami memberikan satu pengalaman penting bahwa cinta memang harus selalu dipupuk dan diperbarui. Ketika alat yang kita gunakan setiap hari saja kadang butuh upgrade, maka begitu pula dengan cinta.  Dengan menulis surat ini kembali teringat akan mimpi kami berdua untuk melamjutkan menulis couple book lagi. Semoga Allah mudahkan untuk. Untuk buku yang pertama masih bisa dicari di toko buku terdekat ya (ngiklan...)

Berikut ini adalah cuplikan isi buku yang pernah saya tulis untuk suami di awal menikah dulu…

 

Pilihan di atas Pilihan

 “Ketika kau tanya mengapa aku memilihmu, itu karena Allah memberikan cinta yang kutujukan kepadamu”

Cinta berawal dari sebuah alasan. Cinta yang kurasakan saat ini pun tidak tumbuh dengan tiba-tiba. Cinta ini berawal dari kekagumanku terhadap pribadi seseorang. Seorang yang dalam pandangan mataku, dalam pendengaran telingaku mempunyai akhlak yang baik, ahsan. Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak hal pula yang tidak pas. Satu fokusku, pada hal yang positif. Betapapun, kekurangan PASTI ADA pada semua ciptaan-Nya. Karena hanya Dia Yang Maha Sempurna.

Jika fokus hanya pada satu dua kekurangan yang pernah kujumpai, tak akan lama aku bisa memendam dan mempertahankan rasa ini. Berapa rasa yang pernah mengusikku, tapi aku tetap belum bisa berpaling karena satu yang kupegang. Cinta ini adalah anugerah-Nya.  “Sempurnyanya cinta bukan hanya pada seseorang, tetapi juga pada Ar Rahman. Sebab dari sana kita mendapat kekuatan”



Cinta mestinya bagai sepasang sayap
yang membawa kita terbang tinggi.
Cinta mestinya bagai udara
yang membuat kita selalu memiliki harapan.
Tapi cinta juga mestinya bagai lukisan
yang tak kunjung selesai,
dengan begitu kita tak pernah meninggalkannya.

(Asma Nadia)

#Misi9

#KarakterIbuProfesional

#PenjelajahSamuderaAmarta

#Matrikulasibatch9

#InstitutIbuProfesional

#IbuProfesionalforIndonesia

#SemestaKaryauntukIndonesia

 

Kamis, 22 April 2021

Ramadhan Day-10: Globalisasi

10.33 0 Comments

 


Hari yang menantang. Kenapa begitu? Ya karena hari ini ada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) yang harus aku ajarkan. Terkhusus mata pelajaran ini, persiapanku harus ekstra maksimal karena materi pada mata pelajaran ini menuntut keluasan pengetahuan dan pengalaman. Jika tidak, bisa mati kutu di depan kelas. Atau, jika sudah tidak bisa berkutik, langsung beralih ke textbook oriented. Andalan guru yang tidak siap ngajar, pikirku mengutuk diri sendiri kalau sampai itu terjadi.

Materi yang harus disampakan pada pertemuan hari ini adalah tentang globalisasi. Aku agak tertarik dengan bahasannya daripada pokok bahasan sebelumnya. Dalam materi semester 1 kemarin, anak-anak harus mempelajari tentang sistem pemerintahan dari tingkat desa hingga tingkat pusat. Mereka dituntut hafal dan paham perbedaan desa dan kelurahan. Bagaimana tak sulit menjelaskan, kebanyakan siswa di tempatku mengajar adalah pendatang dari daerah lain yang tinggal di perumahan yang kadang tak kenal sistem desa ataupun kelurahan di daerah mereka. Penjelasan pun akhirnya terkesan abstrak dalam pemikiran siswa, karena mereka tak bisa secara langsung bersinggungan dengan apa yang disebutkan dalam materi pelajaran. Belum lagi tingkat kabupaten, propinsi dan pusat yang membuat semakin bingung dan bingung. Satu-satunya jalan yang saya ambil waktu itu adalah dengan penayangan video dan role play. Jika tidak begitu, yang stress tidak hanya siswa tapi juga saya.

Globalisasi sepertinya merupakan bahasan yang sangat dekat dengan kehidupan siswa. Setiap hari mereka menjumpai bahkan memanfaatkan barang-barang yang merupakan hasil dari adanya globalisasi. Diskusi merupakan model yang aku pilih. “Olalala...............”, teriakku membuka. Anak anak menyahut, “Olalala...........”. “Olilili.............”, lanjutku. “Olilili...................”, jawab mereka serempak. Cara yang cukup bagus kupikir daripada harus jadi guru caper yang setiap kali harus mengatakan, “Perhatikan, anak-anak”, yang bisa diulang sampai berpuluh kali dalam waktu satu jam pelajaran.

 “Alangkah lebih baiknya, jika kegiatan kita pada kesempatan kali ini kita buka bersama dengan membaca Basmallah.

“Bismillaahirrohmaanirrohiim....”, serempak suara itu menggema di dalam kelas. Beberapa anak yang sedari tadi masih sibuk sendiri tersadar dan langsung membenahi posisi duduknya.

“Anak-anakku, hari ini kita akan membahas tentang apa yang dinamakan globalisasi”, terangku sambil menuliskan kata G-L-O-B-A-L-I-S-A-S-I dengan jelas di papan tulis.

“Tapi sebelumnya, bu guru mempunyai beberapa pertanyaan untuk kalian”. “Jangan susah-susah ya , Bu”, celetuk salah seorang anak.

“Siapa yang mengetahui berita tentang hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH 370?”.

Semua anak mengacungkan tangan sambil mencoba mengeluarkan semua yang ada dalam pikiran mereka.

“Sebentar, coba kita dengarkan secara bergantian jawaban dari teman-temanmu”, kucoba untun menenangkan walaupun tetap saja anak-anak seperti berkejaran dengan pemikiran yang ada dalam otak mereka. Mereka seperti takut kehilangan ide ketika tidak langsung disampaikan pendapatnya. Melihat itu, aku langsung berjalan ke sekeliling untuk mendengarkan jawaban tiap anak.

“Ditembak teroris, Bu” jawab salah seorang anak. “Hilang dan meledak di laut”, “Dibajak”, “Terjebak di segitiga bermuada”. Aku mengernyitkan kening, apa segitiga bermuda sudah pindah tempat ya, tapi tak apa, jawaban anak tetap harus kuhargai pikirku. “Pak Habibie menganalisis kalau pesawatnya meledak di udara, kemudian kepingannga tersebar di laut bu”,

 “Disembunyikan jin bu”. Dan masih banyak lagi jawaban sesuai dengan versi berita yang mereka dengar ataupun baca.

“Pada dasarnya, jawaban kalian tidak ada yang salah sama sekali. Kebenaran itu akan terbukti jika blackbox dari pesawat itu sudah ditemukan”.

Kelas gaduh kembali. Anak-anak bercerita dengan teman sebangku tentang apa itu blackbox dan berita yang lain seputar itu.

Aku puaskan mereka saling bertukar pikiran, kemudian sambil berkata lirih, “Nah, pertanyaan bu guru selanjutnya”, ucapku. Kebiasaan di kelas kami, jika aku berbicara dengan nada lirih, maka anak-anak akan mengimbangi dengan langsung mengecilkan suara mereka. “Bu guru mau tahu, dari mana kalian mengetahui berita tentang hilangnya pesawat MH 370 tersebut?”

Tanpa ba,bi,bu mereka semua menjawab. Jawaban mereka aku tulis , dari TV, radio, internet, path, instagram, facebook, twitter, surat kabar, status teman dan lain-lain. Setelah itu kugiring diskusi tentang globalisasi.

“Anak-anak, apa yang kalian sebutkan terkait berita tentang pesawat MH 370 itu merupakan keuntungan adanya globalisasi. Dengan adanya globalisasi, kita bisa mengetahui berita yang terjadi di belahan dunia manapun”. Mereka memperhatikan dengan serius. “Sekarang, siapa yang bisa menyimpulkan apa yang dimaksud dengan globalisasi?” Beberapa anak mengacungkan tangan, “Ya, Kendri apa menurutmu globalisasi itu?”

“Globalisasi itu menyatunya dunia menjadi satu bu, tidak ada batas lagi”, jawabnya polos.

 “Kalau menurut Zena apa?”, tunjukku pada siswa yang lain. “Globalisasi itu kemajuan bu”.

 “Oke, jawaban kalian semua betul.

Aku masih tertantang untuk melanjutkan diskusi pada siang itu.

“Menurut kalian, selain kita bisa mengetahui berita dari belahan dunia lain, apalagi hasil positif dari adanya globalisasi?”

 “Itu bu, kita bisa pakai mobil dan motor”, “Kita bisa pergi ke luar negeri dengan waktu yang singkat”, dan jawaban lain yang polos keluar dari mulut kecil itu. Dan, semua jawaban itu ada dan tertulis di buku pegangan yang ada di depanku. Jawaban dari anak-anakku.

Waktu masih tersisa 30 menit, sementara anak-anak sepertinya sudah bosan jika kuajak melanjutkan diskusi.

Akhirnya, “Nak, bu guru punya tantangan untuk kalian!” “Apa bu tantangannya?”, beberapa anak menimpali.

“Coba sekarang kalian berimajinasi, berkhayal. Sekarang, di tahun 2014 ini, kita bisa menikmati hasil dari globalisasi yang begitu luar biasa. Nah, bayangkan 10 tahun ke depan. Kemajuan seperti apa yang akan ada di dunia ini? Bu guru berikan waktu 15 menit, setelah itu kalian membacakan hasilnya satu per satu”.

Ramai kelas oleh celoteh anak-anak yang saling bercerita dengan teman-temannya. Terlihat beberapa sampai memperagakan atraksi yang menandakan mereka sedang mereka-reka sesuatu.

“Waktunya presentasi nak, 15 menit sudah berlalu”, suaraku memecah kegaduhan anak-anak.

“Sekarang, satu per satu kalian bacakan hasil imajinasi kalian, bu guru akan menuliskan di komputer. Siapa tahu, jika masih ada takdir 10 tahun ke depan kita bisa membuktikan apakah yang kalian imajinasikan terwujud”.

Satu per satu anak-anak antusias membacakan hasil imajinasi mereka seraya menceritakan bayangan tentang imajinasi tersebut. Beberapa yang sangat terekam dan unik menurut saya diantaranya adalah setiap rumah mempunyai asisten berupa robot pembantu,  pulpen dilengkapi dengan kamera, mobil beroda dua, lipstick yang terbuat dari emas, dunia android, mobil tanpa setir, lampu yang dapat menerangi 2 rumah sekaligus, handphone tembus pandang, handphone seperti kertas, mobil bisa terbang, handphone elastis, toilet canggih, pesawat otomatis, mobil bisa dilipat, tol bawah laut, kota bawah laut, pesawat otomatis, sekolah melayang, polisi dari robot, kapal anti air, manusia anti peluru. Apapun itu, itulah jawaban hasil imajinasi luar biasa dari anak-anak usia sekolah dasar.

“Kalian memang luar biasa, bu guru bangga dengan kalian semua. Harapan bu guru, 10 tahun lagi ketika bu guru bertemu dengan kalian, bu guru ingin melihat kalian menjadi insan-insan yang memanfaatkan hasil globalisasi untuk kesejahteraan manusia. Ingat salah satu hadist “Khoirunnasi anfa’uhum linnaasi”, bahwa sebaik-baik manusia itu adalah yang bermanfaat bagi sesamanya,” terangku mengakhiri kesimpulan pelajaran pada waktu itu.

Ketika waktu telah habis dan aku akan mengajak anak-anak untuk berdoa, satu anak mengangkat tangan dan berkata,

“Saya boleh menambahi bu?”, sergahnya.

“Iya Amel, boleh saja. Kamu ingin menambahkan apa?”, jawabku.

“10 tahun lagi, sawah-sawah sudah tidak ada bu. Semua tanah sudah didirikan bangunan semua”.

Briliant, kataku dalam hati. “Tepat sekali Amel apa yang kamu katakan. Bu guru sangat setuju dengan itu”, anak-anak yang lain bersitatap mengiyakan. “Anak-anakku, apa yang disampaikan Amel ini akan menjadi bahan diskusi kita minggu depan ya. Masih terkait dengan globalisai. So, well prepare. Bu guru tunggu pendapat kalian. Terima kasih Amel atas sumbangan pemikirannya”.

Kami tutup kegiatan pada hari Jum’at penuh berkah itu dengan membaca surat Al ‘Asr, doa keluar kelas dan doa naik kendaraan.

Hari itu aku tutup dengan perasaan bahagia. Bahagia karena bisa mengajak anak-anak berimajinasi dengan dunia mereka. Pemikiran yang kadang kita orang dewasa tak sampai ke arah tersebut. Terima kasihku untuk anak-anakku.

Ramadhan Day-9: Tangan Bicara

10.28 0 Comments

 


Karakteristik anak mencerminkan kondisi kelas. Kadang terdapat kelas yang mendapat cap dari beberapa guru karena situasi yang ada di dalamnya. Kelas yang rame, kelas yang aktif, kelas yang anteng, dan kelas yang lain sebagainya. Cap tersebut diberikan berdasar apa yang guru alami ketika mengajar di dalamnya. Kondisi tersebut tercipta oleh perpaduan komposisi anak yang mendiami kelas tersebut.

Begitu pula yang kualami ketika berada di kelasku sekarang ini. Dengan jumlah anak 28, merupakan percampuran karakter yang tak bisa terbayangkan. Awal pertemuan dengan jumlah anak yang tidak sedikit dan berbagai karakter yang melengkapi diperlukan manajemen kelas yang senantiasa dipertimbangkan. Salah satunya adalah dalam hal pembagian kelas menjadi beberapa kelompok kecil.

Sudah menjadi kebiasaan di awal tahun, anak-anak akan kubagi menjadi lima kelompok dengan percampuran laki-laki dan perempuan. Penempatannya pun tidak sembarangan. Aku harus mempertimbangkan  tipikal masing-masing anak. Anak yang terbilang aktif tidak bisa dijadikan dalam satu kelompok, begitu pula anak yang aktif. Nanti yang aktif semakin aktif, yang pasif akan jalan di tempat.

“Nak, bu guru hari ini akan membagi kalian menjadi lima kelompok .Tujuannya agar kalian dapat saling kenal dan bekerjasama, “ terangku untuk mengawali kegiatan pada hari itu.

“Kelompok saya siapa saja, Bu?’ tanya Alfa, anak yang duduk paling depan.

“Akan Bu guru bacakan. Setelah itu, kalian berpindah tempat sesuai dengan kelompok yang telah Bu Guru bagi ya.”

Aku membacakan susunan kelompok satu sampai dengan lima.

“Nah. Itu tadi kelompoknya. Sekarang dengan berjalan pelan dan tanpa banyak ngobrol, silahkan anak-anak berpindah tempat. Kelompok satu silahkan duduk di barisan paling kanan.” Tuntunku. Anak-anak mulai beranjak dari tempat duduknya. Ada yang sangat bersemangat, namun ada pula yang ogah-ogahan karena mendapat teman satu kelompok yang agak kurang cocok.

“Dilanjutkan kelompok dua, disusul kelompok tiga sampai dengan kelompok lima.” Semua anak sudah duduk di tempatnya. Beberapa langsung akrab mengobrol, saling bertukar tempat atau sekedar so bersama. Namun, tak ayal ada pula yang duduk tepekur sambil cemberut karena merasa tidak terima dengan pembagian kelompok hari ini.

“Sekarang, kelompok kita sudah terbentuk. Bu Guru lihat dari tadi Irsyad diam saja sambil cemberut, kenapa Nak? “

“Saya nggak mau sekelompok sama Alfa Bu!”, sergahnya,

“Kenapa Irsyad tidak mau sekelompok dengan Alfa? Boleh Ibu tahu alasannya?”

“Saya nggak suka, karena Alfa anaknya suka mukul Bu?” Mataku melirik ke arah Alfa.

“Apakah betul Alfa apa yang dikatakan Irsyad?” tanyaku mengagetkannya.

“Iya Bu”, jawabnya singkat sambil menunduk.

“Kenapa Alfa suka memukul Irsyad?”

“Ya, Cuma pengin mukul aja Bu.”

“Alfa gemes sama Irsyad gitu?”

“Iya, di rumah saya juga gitu Bu kalo sama adek.”

“O,begitu ya”. Aku memutar otak mencari cara untuk memahamkan semua anak.

“Begini, Bu guru punya pertanyaan untuk semua.” Aku mulai masuk pada prolog dari apa yang ingin kusampaikan.

“Siapa yang menciptakan tangan kita ini?”

“Allah”, jawab mereka serempak.

“Allah memberi kita tangan. Kita semua punya tangan kan ya? Ada nggak di kelas ini yang mungkin tangannya tidak lengkap atau tidak sempurna?”

“Nggak ada Bu”, jawab mereka lagi.

“Tapi, saya pernah melihat ada orang yang nggak punya tangan, Bu”, timpal Erm dengan ditambahi beberapa anak yang menceritakan pengalamannya bertemu orang yang tangannya tak lengkap atau tak sempurna.

“Betul sekali. Memang Allah menciptakan beberapa hambanya tidak mempunyai tangan yang lengkap. Tapi bukan berarti ciptaan Allah tidak sempurna”.

“Nah, sekarang Bu Guru lanjutkan bertanya. Tangan diciptakan untuk apa ya?”

“Untuk memegang”, jawab beberapa anak.

“Untuk makan, mandi, ngambil barang”, tambah yang lain. Riuh rendah semua anak ingin memberikan pendapatnya.

“Subhanallah, jawaban kalian semua benar.”

“Bagaimana dengan Alfa, tangan itu digunakan untuk apa Nak?”

“Untuk megang, garuk-garuk kalau gatal”, sontak semua tertawa termasuk aku tentunya.

“Nah, berarti boleh tidak kalau tangan digunakan untuk memukul?”

“Tidak Bu”, jawab Alfa.

“Bagus, Alfa. Dan Bu Guru percaya bahwa mulai hari ini Alfa tidak akan menggunakan tangan yang diberikan Allah ini untuk memukul lagi”, terangku sambil mendekat dan menyentuh tangan kecilnya.

“Tangan ini Allah ciptakan untuk membantu orang lain. Karena suatu saat nanti, tangan ini akan bicara, bersaksi di hadapan Allah atas apa yang pernah dilakukannya di dunia ini.”

“Loh, emang tangan bisa bicara Bu?”, tanya Rendra.

“Di akhirat nanti, ketika perhitungan amal, tidak hanya tangan yang bisa berbicara. Semua anggota tubuh ini akan berbicara, bersaksi di hadapan Allah SWT. Jika waktu di dunia tangan digunakan untuk mencuri, maka tangan ini akan mengatakan, Allah aku dulu di dunia digunakan untuk mencuri (kuperagakan tangan yang sedang bicara)”

“Jadi, tidak ada yang bisa berbohong lagi di hadapan Allah, karena saksinya banyak.”

“Wah, berarti harus hati-hati ya Bu.”

“Betul sekali, Nak. Coba, kalian percaya nggak kalau setiap hari ada yang mengawasi kita?”

“Percaya Bu, kan ada Malaikat Raqib Atid di sini,” ucap Irma sambil menunjuk pundaknya.

“Iya, betul. Selain itu, ada yang setiap hari melihat kita. Walaupun kita tidak bisa melihat-Nya, tapi kita harus merasa bahwa kita senantiasa diawasi.”

Ketika diskusi berjalan, Alfa mengacungkan tangannya.

“Iya, Alfa. Ada apa Nak?”

“Bu, saya kan sudah banyak memukul teman. Allah akan memaafkan nggak?”

Kutatap Alfa dengan senyum, kemudian aku beranjak dan mendekatinya.

“Alfa, Allah itu Maha Pemaaf, Al Ghafur. Allah akan mengampuni setiap hamba yang meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Alfa tinggal minta saja sama Allah”, terangku sambil mengusap rambutnya.

“Selain itu, Alfa juga harus meminta maaf kepada teman yang pernah dipukul serta berjanji bahwa tidak akan mengulangi lagi.”

“Iya, Bu.”

“Nah, coba sekarang anak-anak bu guru berikan waktu untuk mengingat-ingat. Kira-kira ada tidak teman dalam satu kelas ini yang pernah tersakiti. Kalau ada, silahkan berjalan ke teman tersebut dan minta maaaflah dengan baik. Kita awali hari ini dengan saling memaafkan.”

Semua anak mencoba berpikir, ada pula yang saling pandang dan saling tunjuk menandakan pernah ada kejadian diantara mereka. Beberapa langsung berjalan menuju temannnya dan bersalaman kemudian mengucapkan kata maaf. Pemandangan yang sangat indah.

“Bu, saya mau minta maaf,” sela Rendra mengagetkanku.

“Minta maaf untuk apa Nak?”

“Sebenarnya yang menyembunyikan sepatu Bu Guru kemarin itu saya. Saya takut nanti tangan saya bicara waktu di akhirat.”

Kutatap Rendra dan kukatakan, “Iya, Nak. Bu Guru maafkan. Besok lagi jangan diulangi ya.”

“Iya, Bu. Tapi Bu Guru juga harus minta maaf.”

Aku mendengarkan sambil terbengong.

“Bu Guru kemarin kan marah-marah waktu sepatunya nggak ketemu.”

Jleb, rasanya menohok hati. Teringat kemarin waktu sepatu hilang sempat mengeluarkan kata dengan nada keras seperti orang marah. 

“Iya, Bu Guru minta maaf ya. Terima kasih Nak telah mengingatkan Bu Guru.”

Senyum terkembang ketika kulangkahkan keluar dari kelas tersebut. Terima kasih Ya Rabb. Satu pintaku, buka hati-hati kecil ini untuk selalu merasa diawasi oleh-Mu. Begitu pula yang memohon doa ini.