Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Minggu, 18 April 2021

Ramadhan Day-5 Perempuan-Perempuan Perkasa

05.04 0 Comments

 



Perempuan merupakan sosok yang banyak dibicarakan oleh banyak kalangan. Perempuan menyimpan rahasia yang tak banyak diungkap kecuali oleh orang-orang yang menghargai seorang perempuan. Perempuan tak bisa disentuh dengan kekerasan, namun jangan pula memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah.

Saat itu, sebuah sore yang cerah, dikala kuberkendara dengan sepeda motor kesayanganku. Angin bertiup, menerpa wajah yang kututup dengan masker. Terasa pedih di mata ketika kubuka kaca helm yang melindungi muka. Namun kubiarkan, karena jarang kubisa menikmatinya. Jalanan terasa lengang karena memang tak terlalu banyak kendaraan. Saat kumenikmati perjalananku, di depanku ada seorang yang bermotor dengan membawa barang bawaan yang tak wajar. Hal tersebut menggelitik keingintahuanku. Maka kucoba membuntutinya. Dan akhirnya pun kutemukan jawaban. Betapa takjubku ketika kumengetahuinya. Sosok tersebut adalah seorang perempuan, berkendara dengan sepeda motor. Aku menyebutnya Honda Star. Mungkin tak ada yang istimewa. Tapi menurutku perempuan itu istimewa. Yang membuatnya istimewa adalah apa yang dia bawa. Jok belakang ada beberapa barang yang kupikir tak wajar dibawa seorang perempuan yang melewati jalanan menanjak dan menurun seperti yang kulalui saat ini. Setelah kuhitung, perempuan yang sudah cukup berumur itu membawa 8 karung yang dia bawa sendirian. 2 karung dia letakkan di depan (foot step) dan sisanya yang berjumlah 6 karung dia ikat di jok bagian belakang.

Mengapa kumenyebutnya istimewa? Jika kumembayangkan aku yang membawanya mungkin tak akan sanggup. Tidak hanya itu. Cara beliau berkendara pun tak main-main. Aku mencoba mengimbangi kecepatannya di jalanan yang cukup menantang, namun ku tak bisa. Beliau tetap memimpin di depan. Ku hanya berpikir bahwa apa yang beliau bawa mungkin akan segera dijual yang mana uangnya akan segera diberikan kepada anak-anaknya yang menunggu di rumah.

Tak berhenti di situ. Satu pekan berselang setelah kubertemu perempuan perkasa itu. Aku pun bertemu dengan perempuan perkasa yang lain. Masih sama seperti jalan yang kulalui pekan lalu. Perempuan ini umurnya berkisar 50 tahun. Dia menggunakan pakaian ala Jawa tulen, yaitu jarik dan baju jawa untuk bagian atas. Dan yang membuatnya istimewa adalah dia mengendarai sepeda yang kusebut sepeda unta yang sangat tinggi dan di bagian belakang dia membawa dua keranjang berisi barang dagangan berupa sayuran dan semacamnya. Sore itu aku hanya bisa tafakur betapa  sulitnya melakukan itu semua.

Sungguh betapa indah semua yang ditampakkan padaku. Di sela-sela aku berpikir tentang perempuan-perempuan perkasa itu di bagian ufuk sebelah utara seperti arah yang aku tuju aku melihat asma Allah terlukis di sana. Awan-awan yang merupakan bagian dari ciptaan-Nya bertasbih dengan melukiskan asma-Nya di permukaan awan tersebut. Dalam hati ku hanya bisa berkata, adakah alasan bagiku untuk tidak berdzikir kepada-Nya jika awan yang tak bernyawa saja selalu ingat pada-Nya.

Lamunanku kembali kepada perempuan-perempuan perkasa tadi. Tak kubayangkan jika mereka adalah seseorang bagian dalam kehidupanku ataupun diriku sendiri. Akan sanggupkah? Namun, sepertinya pertanyaan itu tak perlu karena sebenarnya apa yang mereka lakukan itu berawal dari kondisi yang memang melingkupi mereka. Keadaan lah yang memaksa mereka menjadi seperti itu. Tak ada kata terpaksa untuk mereka, karena kupikir mereka menikmati dalam menjalani itu semua.

Betapa selama ini kita banyak mengeluh dengan kondisi yang ada di sekitar kita. Mengeluh tentang pekerjaan yang kita geluti. Merasa berat untuk berbuat yang terbaik. Mengumpat jika pekerjaan tak sesuai dengan keinginan. Dan segala hal yang tak jauh beda. Tak merasa malukah jika kita melihat pada perempuan-perempuan perkasa tadi. Di sela umur yang kian menua, tenaga yang kian berkurang namun mereka tetap tegar dan pasrah dalam menjalaninya. Dalam hati mereka hanya bisa berharap bahwa apa yang mereka kerjakan hari ini membuahkan hasil dan bisa dipakai untuk menghidupi keluarganya. Sangat jauh dengan kita, ketika mendapat sedikit nikmat maka pikiran kita sudah berjalan-jalan ke mall, toko baju, toko sepatu, tempat rekreasi dan keinginan-keinginan yang lain yang terkadang bukanlah prioritas dalam kehidupan kita. Benarlah jika dikatakan jika manusia itu panjang angan-angannya. Keinginan mereka terlalu banyak yang kadang tak mereka sesuaikan dengan prioritas maupun kebutuhan yang mendasar.

Tak salah jika seharusnya kita belajar dari perempuan - perempuan itu, agar kita lebih bisa bersyukur atas apa yang ada dalam diri kita saat ini. Betapa kuiri pada mereka, kekuatan yang muncul dari dalam diri mereka adalah kekuatan ikhlas. Perempuan, siapapun dirimu kuingin menjadi sepertimu. Kuingin sekuat dirimu. Kuingin se-IKHLAS dirimu.



pict: google

Sabtu, 17 April 2021

Ramadhan Day-4: Kunjungan Syekh Abdul Basith, Motivasi Menghafal Al Qur’an

02.25 4 Comments

 



Ramadhan di hari keempat ini Masjid Baitul Hikmah yang terletak di Dusun Wirik, Umbulreo Ponjong mendapat kunjungan dari Syekh Abdul Basith. Siapakah beliau? Nama lengkap beliau adalah Syekh Abdul Basith Abdul Jalil Abdullah Musfi. Beliau lahir di Mekkah, akan tetapi ayah dan ibu beliau berasal dari Indonesia. Beliau adalah lulusan University Ummul Qura Makkah Al Mukarromah.

Dalam pemaparannya beliau banyak memberikan motivasi untuk menghafal Al Qur’an pada para jama’ah yang hadir. Syekh Abdul Basith memberikan contoh dirinya sendiri dalam proses menamatkan hafalan Qur’an. Syekh Basith mulai belajar Al-Qur'an sejak usia 4 tahun dan sejak saat itu beliau khatam huruf Bahasa Arab dan mulai menghafal Al-Qur'an hingga tamat menghafalnya di usia 10 tahun.

Apa rahasianya sehingga beliau bisa hafal Al Quran di usia yang sangat muda? Beliau menyampaikan, “Sekolah yang pertama di dunia ini adalah ibu. Madrasah pertama bagi anak-anaknya adalah ibu”. Kalimat yang beliau sampaikan tersebut mengandung maksud bahwa yang menjadi roda utama dalam proses menghafal Qur’an tersebut adalah ibunya. Ibu beliau bukanlah seorang ustadzah, bukan pula seorang hafidzah. Akan tetapi ibu beliau memiliki satu kalimat yang terus diulang yaitu ,” ibu harus balas dendam terhadap diri sendiri”. Apa maksud dari kalimat tersebut? Ibu beliau memiliki azam yang kuat bahwa ketika ia tidak bisa menghafal Al Qur’an, maka anaknya harus menjadi penghafal Al Qur’an. Ketika anaknya tidak bisa juga, maka cucunya harus menjadi penghafal Al Qur’an.

Apa yang dilakukan oleh sang Ibu sehingga Abdul Basith kecil terpesona akan Al Quran dan dapat menamatkan hafalannya? Syekh Abdul Basith menceritakan bahwa ketika ibunya melakukan kegiatan sehari-hari, maka ibunya ini melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Sambil memasak, melantunkan Al Qur’an, sambil menyapu melantunkan Al Qur’an. Pokoknya di setiap kegiatan ibunya ini selalu melantunkan bacaan Al Qur’an. Ketika sebuah rumah senantiasa diperdengarkan bacaan Al Quran dan shalawat, maka keluarga itu akan tenang.  Keluarga tersebut akan menjadi ahli Qur’an.

Selain itu, rahasia yang laian adalah ketegasan. Syekh Abdul Basith menyamoaikan bahwa ibunya adalah orang yang sangat tegas, ayahnya pun juga sangat tegas. Didukung oleh guru yang juga tegas dalam proses pengajaran. Hampir setiap hari ayah dan ibunya akan menanyakan, “Apakah Abdul Basith hari ini sudah menghafal?” Jika belum, maka ayah atau ibunya pun mengingatkan. Konsistensi dan komitmen dari orang tua inilah yang menjadi kunci kesuksesan anaknya.

Dalam pemaparannya beliau juga menegaskan bahwa apa yang didapatkan adalah karunia dari Allah SWT. Ketika anak hafal Al Quran, maka yang akan memberi hadiah adalah Allah SWT. Hadiahnya berupa mahkota yang diberikan di akhirat kelak. Orang tua mana yang tak ingin mendapat hadiah berupa mahkota dari anaknya ketika di akhirat nanti? Pasti semua menginginkan.

Beliau memberikan semangat agar anak-anak diwakafkan ke pesantren agar bisa hafal Qur’an. Ketika anak sudah hafal Al Quran maka urusan dunia itu akan mengikuti. Teringat akan sebuah pesan yang intinya “Jika kau kejar dunia, maka ia akan semakin menjauh. Tetapi jika kau mengejar akhirat, maka dunia akan datang dengan merunduk”.


Ramadhan Day 3: Sebait Perjalanan #2

00.19 0 Comments

 

google.com

Guratan asa itu kini kian terang. Loncatannya membuncah karena girang. Teringat betapa berat laju pembuktian perjuangan. Kini ku terduduk dalam sebuah gerbong kereta khusus wanita. Yang harapannya kan menemaniku menjemput asa itu. Asa yang tlah lama terpendam namun tak pernah mati. Dengan asa itulah ku merasa hidup. Hidup dalam alam pikiran dan angan yang membawaku serasa terbang menembus batas logika yang kadang tak dipercaya oleh terbatasnya daya pikir manusia.

Perlahan gerakan gerbong yang serasa sedikit mengguncang di awal pemberangkatan. Namun, kini kurasai stabil dan nyamannya perjalanan. Dan memang seperti itulah dawai kehidupan memperjalankan setiap manusia. Dari getaran-getaran itulah tercipta alunan merdu kehidupan yang indah. Kali pertama kita memutuskan sesuatu sungguh terasa berat di pijakan pertama.  Ketakutan, kebimbangan, pergolakan batin bahkan mungkin pertentangan senantiasa mengiringi getaran di kali pertama. Namun seperti halnya kereta dan dawai gitar tadi, maka setelah goncangan dan getaran itu akan dirasakanlah sebuah kenyamanan terutama kepuasan hati. Kepuasan akan perjuangan melawan ketakutan pada pikiran, kebimbangan hati, pergolakan batin atau mungkin pertentangan atas keputusan yang diambil.

Laju perjalanan yang nyaman itu bukanlah tidak diwarnai dengan riak-riak kesulitan, justru harus diwarnai agar lebih terlihat dan terasa indah. Kesulitan itu layaknya bumbu penyedap pada masakan. Bumbu tersebut menjadikan rasa hidup semakin lezat dan enak. Bayangkan jika sebuah masakan tanpa bumbu sedikitpun pasti akan terasa hambar.  Begitu pula perjalanan hidup, ia akan terasa hambar jika tidak ada bumbu-bumbu berupa kesulitan, kegagalan, kesuksesan, kemenangan, derai tangis dan canda tawa. Kita wajib meyakini bahwa semua itu telah diatur oleh Sang Pencipta. Dan tak ayal, tujuannya pun untuk kebaikan kita semua.

Perjalanan hidup tak mengenal siaran tunda. Ia senantiasa berjalan, berputar, menari-nari menghiasi hari-hari yang dilewati. Namun, ada kalanya perjalanan itu diselingi dengan pemberhentian sementara. Berhenti sejenak istilahnya. Mengapa harus berhenti? Perhentian itu bertujuan untuk mengisi kembali baterai dalam diri, mengevaluasi perjalanan yang telah terlewati atau sekedar menikmati serpihan-serpihan kecil yang mewarnai.  Dan yang paling penting adalah untuk membenahi rangkaian-rangkaian mimpi untuk bisa menjadi lebih baik. Muhasabah diri mungkin itulah yang memang harus dilakukan oleh setiap kita yang merasa hidup di dunia. Karena merupakan sebuah kepastian bahwa dalam perjalanannya, hidup ini penuh dengan warna yang kadang ada yang harus dihapus, diperbaiki atau dihias kembali agar menjadi lebih indah.

Allah Yang Maha Baik telah menyediakan waktu yang sangat luas bagi kita manusia untuk bermuhasabah/merenung. Dalam satu hari saja ada 5 kali waktu yang disediakan Allah untuk kita. Kapan waktu tersebut? Yaitu saat sholat wajib. Belum lagi jika ditambah dengan shalat-shalat sunnah yang lain. Sudah berapa waktu yang Allah berikan kepada kita? Tak terhitung lagi.  Dalam shalat tersebut ada waktu ketika kita mengadu kepada Allah atas segala persoalan hidup. Ada waktu ketika kita memohon kepada Allah untuk mengabulkan apa yang kita inginkan. Namun pertanyaannya, apakah kita mau memanfaatkan waktu yang disediakan oleh Allah tersebut atau tidak?

Sungguh akan terasa merugi jika kita hanya mengisi ruang-ruang perjalanan hidup ini dengan sesuatu yang hambar. Ciptakan selalu tantangan agar otak senantiasa aktif bekerja, hati senantiasa terasah tuk merasa yang nantinya kan terlahir memoar-memoar indah catatan perjalanan hidup kita. Hal tersebut membuktikan bahwa kita pernah hidup dan merasai kehidupan. Rangkaian kemanfaatan yang kita hembuskan meski hanya lewat sebuah keteladanan merupakan prasasti yang kelak bisa mengantarkan kita pada kehidupan yang lebih bermakna di hadapan-Nya.

Ramadhan Day 2: Sebait Perjalanan #1

00.15 0 Comments

 

                                           google.com


Seorang manusia menjalani kehidupan dunia dengan adanya prinsip. Tanpa prinsip itu sesungguhnya dia hanya akan menjadi seperti dedaunan yang bergerak tertiup angin kemanapun arahnya kan pergi. Tak bisa melawan, dan mungkin memang tak mau melawan. Mengalir pasrah tanpa usaha dan kekuatan.

Seorang manusia mendapat takdir dari Allah untuk menjadi seorang guru. Dalam hatinya telah terpatri sedari muda bahwa dia akan menjadi seorang pendidik yang berilmu dan bijaksana. Maka kisahpun terukir lewat perjalanan hidupnya yang indah.

Sang guru mendapat amanah untuk mengajar di sebuah sekolah tak begitu bernama karena memang sedang merintis untuk menjadi ada nama di masyarakat yang hingga sekarang masih berpendapat bahwa sekolah yang bagus itu adalah sekolah yang ternama alias ada nama (emang ada sekolah yang tidak ada nama ya?)

Kewajiban pun dia laksanakan, setiap tugas dia usahakan untuk dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Karena dalam prinsipnya, bahwa seseorang dihargai bukan karena uang, tampang, jabatan dan semacamnya. Tapi seseorang dihargai lewat dedikasinya dalam menjalankan tugas.

Dalam perjalanan menjalankan rutinitas kerjanya, dia berpikir ulang tentang orientasi hidupnya. Apakah memang ini yang ia cari. Mengapa pun ia bertanya? Mungkin lah tanya itu muncul ketika dia menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan sebuah hal yang terkesan monoton. Apalah dibilang begitu? Mengapa tidak. Setelah bangun dari tidur, persiapan aktivitas pun dia jalankan. Kadang sembari mendengarkan senandung yang membersitkan impian kehidupan masa depan. Setelah itu, berangkatlah ia ditemani kendaraan yang apa adanya ia punya. Jika tidak ada pun, kadang bus dan ojek jadi pelarian

Setelah sampai di tempat pencarian rizky, dia pun segera malaksanakan kewajiban mulai dari mengajar hingga mengisi administrasi. Rutinitas yang sama setiap hari. Masuk dan keluar kelas, mengajarkan hal yang sama,  selalu sama. Apatah itu yang membuatnya kembali bertanya tentang orientasi hidupnya. Pun pernah terpikir olehnya bahwa dia bukan hanya milik satu instansi saja. Ada banyak lembaga di luar sana yang layaknya mengajaknya untuk berkiprah pula. Namun apa daya, kadang dia tak kuasa dengan kewajibannya.

Dalam hal keilmuan pun, dia merasa ada yang berubah. Dahulunya dia adalah orang yang haus akan ilmu, apapun itu. Kini, dia merasa ada stagnasi pikiran dan semangat untuk kompetisi itu. Semua mengalir begitu saja. Tak ada riak yang mewarnai perjalanannya. “Layaknya katak dalam tempurung” itulah yang dia sematkan untuk menggelari dirinya.

Pergolakan batin pun menggejala. Tak bisa dia membiarkan dirinya berada dalam kubangan yang tak berujung. Tak bisa pun dia berharap bahwa lingkungan segera berubah. Dia sendiri yang harus menciptakan perubahan itu. Ibarat sebuah benih, ketika ia berada dalam tanah yang subur maka ia akan tumbuh dengan baik. Pun ketika ia ditempatkan pada lahan tandus, maka ia harus berusaha untuk tetap bisa bertahan. Bahkan, setidaknya justru dia yang berperan sebagai pupuk untuk mengubah tanah yang tandus itu menjadi subur. Itulah azzam dalam hatinya.

Azzam itu pun dia patri dalam hati dan terejawantah dalam tindakan. Peluang pun diciptakan dengan sokongan beberapa teman. Ladang diskusi tentang keilmuan atau biasa dia bilang dengan istilah kongkow-kongkow yang mencerdaskan (Teringat dia ucapkan ini pertama kali waktu berada di bangku kuliah, ketika dia senang berdiskusi menunggu datangnya dosen ke kelas. Entah kapan itu kan terulang. Kurindu kebersamaan itu. Yah, kongkow-kongkow yang mencerdaskan). Berbagai peluang keilmuan dia coba geluti hingga beberapa kali dia menghubungi beberapa teman termasuk yang menulis cerita ini. Dia memohon untuk dibantu dalam penciptaan peluang itu. Rata-rata dari kami menjawab, “Oke, dengan senang hati!”. Senyum terkembang di bibirnya. Senyum yang sering aku lihat ketika dulu dia berhasil mendapatkan apa yang dia citakan. Dan kinipun aku berharap teman, kau mendapatkan apa yang kau citakan sehingga senyum itu pun tetap terkembang.

Bagiku, kau ibarat burung. Burung yang senang terbang bebas ke angkasa luas. Menembus cakrawala kehidupan. Menjelajah pengalaman dan petualangan yang serba baru. Tak gentar oleh angin, hujan, badai, topan ataupun segala hal yang kan merintangi perjalananmu untuk meraih citamu. Dulu pun kau tak ubahnya pula seperti itu. Kuingat betapa antusias ketika kau bercerita tentang angan indahmu, goresan citamu yang ingin kau wujudkan meskipun kau sadar itu tak mudah. Kulihat bagaimana keadaan telah menempamu menjadi seperti sekarang ini. Kau layak karang yang tak tergoyah oleh ombak. Prinsip itu sampai saat ini kau pegang erat. Namun, itu semua hanya kenangku akanmu. Karena kini, tak bisa kulihat lagi engkau berpontang-panting mengejar asamu, tak kudengar lagi ceritamu tentang angan indahmu, tak kurasakan pelukmu di dekatku meminta untuk dikuatkan walaupun kutahu kau telah begitu kuatnya. Yang tetap terngiang dalam pikirku adalah semangatmu. Semangat yang kurasa tak pernah pudar dan tak pernah sedikitpun berkurang. Kubayangkan kini kau terbang, terbang laksana burung yang menjemput asa di tempat tinggi nun jauh di sana. Di relung hatiku, jujur ku rindu padamu. Rindu akan semangatmu.

Wahai burung, terbanglah mengangkasa. Ku tahu di luar sana citamu menunggu. Hanya ku bisa pinta kepada-Nya lewat do’a bahwa suatu saat kau kan berhasil menggapai apa yang kau impikan.  Suatu saat ketika kelak umur masih mempertemukan kita, maka satu yang ingin kulihat darimu. Senyum itu, yah senyum kemenangan atas citamu, ketundukkan akan takdir-Nya yang memperjalankanmu menjadi seperti yang kau inginkan. Tentunya atas kehendak dan ridho-Nya.


Nafisah Al Akhfiya

Jumat, 16 April 2021

Ramadhan Day 1: Quovadis Hidup

23.56 0 Comments

 


Kemarin kita hidup, sekarang kita hidup, besok kita juga mungkin masih hidup. Apa buktinya? Kemarin kita masih bercengkerama dengan keluarga, bermain dengan anak-anak tercinta, bercakap dengan istri /suami tercinta, merangkai kehidupan mendatang yang nampak begitu indah. Itu cerita kemarin. Kemudian hari ini? Hari ini kita masih mandi pagi, berangkat bekerja, bertemu teman kerja, melakukan segala kewajiban yang menuntut separuh waktu kehidupan.

Pernahkah kemudian kita bertanya, untuk apakah hidup dihadirkan? Jika boleh meminjam jawaban seorang ustadz, maka sesungguhnya hidup dihadirkan agar kita bisa merasakan nikmat dan indahnya mati. Hidup berarti berjalan menyeberangkan diri menuju kematian. Kenapa jawaban itu terasa menakutkan? Mati, mati, mati. Sebuah kata yang kita kadang tak kuat dan bahkan tak mau untuk mendengarnya. Berusaha menghindar untuk mengatakannya.  Dan mungkin ada juga yang berusaha untuk menghindarinya. Bahkan ada yang berkata “aku belum siap menghadapinya”. Itulah beberapa jawaban manusia yang lemah akan ilmu Allah. Padahal Allah telah berfirman dalm surat al A’raf : 34 “tiap-tiap umat mempunyai batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya”.Itu bukan kata saya, itu juga bukan pendapat Anda. Tapi itu adalah firman Allah yang tertulis dalam kalamNya yang mulia. Bersembunyi di tempat serapat apapun,  seaman apapun, dengan teknologi secanggih apapun, sesungguhnya tak ada manusia yang akan lepas dari Al Maut.  Al Maut akan datang jika memang sudah dititahkan oleh Allah untuk datang. Tak bisa maju sedetik pun dan tak pula diundurkan sedetikpun.

Betapa indah skenario Allah, bahkan skenario tentang kematian. Apakah kemudian kita akan tunduk dengan segala skenario yang kita jalani tanpa do’a dan usaha sama sekali? Sesungguhnya tidaklah seperti itu. Allah masih memberikan ruang bagi kita untuk menentukan takdir yang akan kita jalani. Usaha dan do’a. Ya, itulah usaha kita untuk dapat menjemput takdir-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar Ra’du:11). Itu janji Allah yang pasti. Tak maukah kemudian kita berusaha menagih janjinya yang pasti akan ditepati? “Mintalah kepada-Ku, maka aku akan mengabulkan permintaanmu”

Kemanakah hidup harus kita bawa sehingga akhirnya Dia bertitah untuk mengabulkan takdir yang kita inginkan? Adakah rumus jitu ataupun ramuan mujarab yang bisa dipakai untuk menjemputnya? Seperti halnya sebuah soal matematika yang paling rumit sekalipun pastilah tersedia jawabannya. Begitu pula pertanyaan tentang hidup ini, Allah Yang Maha Baik pun telah memberikan jawabannya lewat kalam-Nya yang mulia.

Kita tidak hanya menginginkan hidup ini indah, namun seharusnya yang menjadi tujuan kita tertinggi adalah menginginkan kematian yang indah. Yah, kematian yang biasa kita sebut dengan Khusnul Khatimah. Kemudian apa yang harus kita lakukan agar kita bisa menjemput kematian itu dengan indah? Pasti kita semua ingin merasakan apa yang sering disebut dengan Khusnul Khatimah. Sesungguhnya setiap jiwa bisa menjemput kematian dengan indah. Yang harus kita lakukan adalah menggunakan hidup ini untuk menjemputnya. Setiap hal yang kita lakukan, sekecil apapun kita orientasikan hanya untuk meraih ridho-Nya. Menjadikan segala yang kita lakukan berorientasi kepada akhirat itulah kira-kira yang bisa kita lakukan agar hidup ini selamat dunia dan akhirat.

Berikut beberapa hal yang kiranya bisa upayakan untuk menjemput kematian dengan indah, walaupun masih banyak hal yang bisa dilakukan. Pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan melepaskan diri dari segala pengaruh buruk nafsu. Seperti disebutkan dalam surat Yusuf ayat 53 yang artinya kurang lebih “Dan aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Berbuat bukan semata-mata karena ingin tapi karena butuh.  Dalam memilih makanan, hendaknya mempertimbangkan makanan yang memang dibutuhkan oleh tubuh tidak hanya apa yang diinginkan oleh lidah saja tapi tidak memperhatikan faktor kesehatan. Begitu pula ketika berbelanja baju, kadang seseorang berbelanja bukan berdasar pada prioritas tetapi lebih kepada keinginan semata. Itulah nafsu manusia.

Dalam Tafsir Al-Misbah Thantawi memngemukakan bahwa sesungguhnya nafsu manusia sangat banyak yang mendorong pemiliknya kepada keburukan kecuali jiwa yang dirahmati Allah dan dipelihara dari ketergelinciran dan penyimpangan. Hal ini berawal dari kisah Yusuf yang digoda oleh seorang wanita dan dirayu untuk berbuat zina. Namun, ia lebih suka dimasukkan ke dalam penjara.

Al Qur’an memperkenalkan tiga macam peringkat nafsu manusia. Pertama, an nafs al-ammarah yang selalu mendorong pemiliknya berbuat keburukan. Kedua, an-nafs al-lawwamah yang selalu mengecam pemiliknya begitu dia melakukan kesalahan hingga timbul penyesalan dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan. Dan yang ketiga adalah an-nafs al-muthma’innah yakni jiwa yang tenang karena selalu mengingat Allah dan jauh dari segala pelanggaran dan dosa.

Kedua adalah mengembalikan segala urusan kepada Allah SWT (Al Baqarah: 155-157). Kata kami milik Allah berarti bahwa apapun yang dilakukan haruslah sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi Allah Maha Bijaksana. Segala tindakan-Nya pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah di balik ujian atau musibah. Seseorang yang menyerahkan segala urusan kepada Allah maka akan mendapat keberkahan, rahmat dan juga petunjuk. Keberkahan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam yang berupa limpahan pengampunan, pujian, menggantikan yang lebih baik daripada nikmat yang sebelumnya yang telah hilang. Semua keberkahan itu bersumber dari Tuhan.

Mereka juga mendapat rahmat. Yang pasti rahmat Allah tidaklah seperti rahmat makhluk. Bagaimana rahmat Allah, Allahlah Yang Maha Mengetahui. Selain itu mereka juga mendapat petunjuk. Bukan saja petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihan, tetapi juga petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (Fii Dzilalil Qur’an)

Tidak berlindung kepada apapun dan siapapun kecuali kepada Allah SWT. “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun (Al Baqarah: 155-156).

Telah menjadi suatu keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan menguji dengan ketakutan, kelaparan, kesengsaraan serta kemusnahan harta, nyawa dan makanan. Hal ini adalah suatu ketentuan untuk meneguhkan keyakinan orang yang beriman pada tugas kewajiban yang harus ditunaikannya. Sehingga, akhirnya mereka setelah mengalami ujian tentu akan terbukti tangguh dan merasa berat untuk berkhianat kepada Islam karena mengingat pengorbanan yang telah dilakukannya.

Akidah yang diperolah dengan gampang tanpa ujian akan mudah pula bagi penganutnya untuk meninggalkan bila satu ketika tertimpa ujian. Semakin berat ujian dan pengorbanan akan semakin meninggikan nilai akidah keyakinan dalam hati dan jiwa penganutnya. Bahkan, makin besar penderitaan dan pengorbanan yang diminta oleh suatu akidah bertambah berat juga seeorang untuk berkhianat.

Yang terpenting adalah kembali mengingat Allah ketika menghadapi segala keraguan dan kegoncangan  serta berusaha mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukan semata karena Allah. Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah dan tidak ada daya kecuali daya Allah. Ketika itu akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat yang menjadi landasan tegaknya tasahawwur atau pandangan yang benar.

Iman, hijrah dan jihad (Al Baqarah: 218) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

Harapan orang mukmin terhadap rahmat Allah sama sekali tidak akan dikecewakan oleh Allah. Sesungguhnya dia telah mendengar tentang golongan yang mukhlis dari golongan orang-orang mukmin yang berhijrah mengenai janji Allah yang benar ini, yang berjuang dan bersabar, sehingga Allah merealisasikan janji-Nya dengan memberinya kemenangan atau mati syahid. Kedua hal ini sama-sama baiknya, sama-sama sebagai rahmat. Mereeka beruntung mendapatkan pengampunan dan rahmat Allah SWT (Fi Zhilalil Qur’an : 271).

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah/jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung” (Al Ma’idah:35).

Mati dan hidup adalah sepasang pengantin yang terus berbulan madu sepanjang waktu tanpa kenal jemu. Barangsiapa yang tidak berusaha memesrakan hidupnya dengan kematiannya, maka ia tak akan merasakan bahagia untuk selamanya.  Kita berdoa semoga kita dikumpulkan dalam surga yang sama bersama keluarga kita yang tercinta.


Penulis

Nur Iswanti Hasani

Tinggal di Dusun Wonodoyo, Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul


pict: google.com



Prasasti Petualangan Penjelajah Samudera Amarta Misi Ke-8

22.50 0 Comments

Dalam pacuan hidup untuk menjadi manusia yang lebih baik diperlukan berbagai usaha. Usaha yang dilakukan tersebut sangatlah beragam. Yang jelas semua usaha tersebut adalah sesuatu yang bermanfaat bagi sesama.

Begitu pula dalam misi penjelajahan Samudera Amarta pada kesempatan kali ini, kami ditantang untuk membuat suatu karya yang memberikan dampak bagi sekitar. Sangat "wow" sekali tentunya. Dalam tugas kali ini kami diminta untuk menemukan 4E dan mengaplikasikannya.

Apakah itu 4E? 4 E terdiri dari enjoy, easy, excellent dan earn.  Suatu hal yang saya menemukan kesenangan dalam melaksanakannya saat ini adalah terkait dengan kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Karena saat ini kami memang menekuni apa yang sering disebut dengan organic farming (enjoy). Dalam melaksanankannya kami menikmati dan merasa mudah dalam mengatasi beberapa kendala yang hadir (easy). Selain itu, kami pun selalu ingin menmbah ilmu  dan terus berkarya di bidang tersebut dengan totalitas (excellent). Dan pada akhirnya, kami pun berusaha untuk mengajak dan membagikan ilmu yang kami miliki (earn). Dari analisi 4E tersebut, maka lahirlah karya  berikut ini yang merupakan pengalaman pertama melakukan live zoom untuk membagikan ilmu yang kami miliki. Yang pengin belajar seperti apa prosesnya bisa klik gambar atau tulisan di bawah ini ya. 

akses link👉Cara Mudah Membuat Kompos Ember Rumah Tangga

Kesan dan pesan setelah melakukan sesi live via zoom terkait membuat kompos menggunakan ember adalah luar biasa. Mengapa dikatakan luar biasa karena ternyata bayangan ketakutan akan beberapa kendala dalam proses live zoom tersebut tidak ada sama sekali. Justru saya merasa menikmati melakukan live zoom. Bahkan bisa dikatakan bahwa saya bahagia dalam melakukannya. Berbahagia karena bisa berbagi tentang bagaimana membuat kompos menggunakan ember. 

 Nantikan live zoom berikutnya .....



#Misi8
#KarakterIbuProfesional
#PenjelajahSamuderaAmarta
#Matrikulasibatch9
#InstitutIbuProfesional
#IbuProfesionalforIndonesia
#SemestaKaryauntukIndonesia


Jumat, 09 April 2021

Misi Hidup; Merawat Fitrah Keluarga

04.28 0 Comments


 

ü Merumuskan Misi Hidup

Misi hidup adalah peran hidup yang dipilih dan diperjuangkan hingga akhir hayat. Misi hidup ini ditemukan melalui proses yang sangat panjang. Pertemuan dengan misi hidup ini pun terkadang tak terbatas oleh usia. Ada yang menemukan misi hidup di usia yang sangat belia. Sebagai contoh para sahabat Rasulullah SAW yang menemukan peran hidupnya di usia muda. Salah satu yang sering kita dengar adalah Muhammad Al Fatih. Pada usia 25 tahun beliau telah mampu menaklukkan Konstantinopel di Romawi Timur. Sosok Muhammad Al Fatih ini tentu saja melalui proses pengasuhan keluarga yang sangat luar biasa. Bahakan bisa disimpulkan bahwa karakternya dibangun  oleh peradaban pada saat itu. Selain Muhammad Al Fatih masih banyak lagi sosok pemuda yang memulai debut misinya di awal usia.

Meskipun begitu, ketika usia telah beranjak renta pun tak menghalangi untuk berusaha menemukan misi hidup dan memperjuangkannya hingga tutup usia. Sebuah misi dalam hidup bukanlah target yang dibatasi oleh waktu. Misi hidup merupakan arah hidup yang senantiasa memanggil-manggil untuk dilaksanakan dan terus diperjuangkan. Maka dari itu, taka da kata berhenti dalam menjalankan misi hidup ini. Sering kita melihat seorang yang sangat bersemangat dalam melakukan suatu gerakan perubahan dan dia terus menerus melakukan itu hingga maut lah yang menghentikan perjuangannya tersebut. Salah satu contoh yang dekat dengan kita adalah almarhum Bapak BJ. Habibie. Siapa yang tak kenal dengan sosok arsitek ini? Beliau sedari muda sudah memperjuangkan misinya dalam bidang kedirgantaraan. Meskipun apa yang beliau lakukan mungkin tidak begitu diapresiasi, tetapi beliau tetap berjuang menjalankan misi tersebut. Hingga pada akhirnya kini putranya pun bergelut pada bidang yang sama, sebagai penerus misi sang ayah. Kesimpulan lain dari misi hidup adalah terintegrasi dengan misi keluarga. Misi hidup yang dijalankan tak bisa terlepas dari misi keluarga yang akan diwujudkan. Poin penting dalam misi hidup adalah sesuatu yang diperjuangkan hingga akhir hayat dan terintegrasi dengan misi keluarga.

Dalam penjelajahan kali ini, sesuatu yang menurut saya sangat menantang karena kami diminta untuk menuliskan misi hidup dengan detail. Oleh karena itu, proses perumusan misi hidup tersebut dilakukan secara bertahap yang nantinya diharapkan akan membentuk sebuah karakter dalam hidup. Seperti apa yang disampaikan oleh sahabat Widya Iswara mbak Farida Ariyani maka komponen karakter yang menjadi patokannya adalah knowing, feeling dan action.

1.    Knowing

Dalam tahap ini, saya berusaha mencari tahu “kegalauan” yang selama ini saya alami. Dari “kegalaua tersebut yang nantinya akan mendorong saya untuk belajar lebih banyak dalamenemukan solusi. Kegalauan yang saya alami selama ini adalah sebagian besar orang tua berpandangan untuk bisa memiliki banyak uang sehingga bisa menyekolahkan anak di tempat favorit. Sekolah menjadi tempat untuk menempa semua aspek dalam proses pendidikan anak. Sementara itu, tidak semua orang tua yang mau terlibat dalam proses tersebut. Hal inilah yang menjadikan semakin melonjaknya krisis adab dan krisis moral. Karena tanggungjawab pendidikan adab/moral adalah keluarga.

Dari permasalahan tersebut akhirnya saya belajar untuk menemukan solusi. Salah satu solusi yang saya pilih adalah dengan belajar mengenai Fitrah Based Education (pendidikan berbasis fitrah) yang dicetuskan oleh Ust. Harry Santosa. Kami pun tersadar bahwa selama ini kehidupan kami tidak dipandu dari misi personal maupun misi keluarga. Kami berjalan seperti umumnya orang, yaitu mencari uang untuk kebutuhan dan kesenangan. Padahal misi hidup tersebut yang akan memandu seluruh gerak dalam menjalani kehidupan yang lebih baik.

2.    Feeling

Dalam proses ini, hati yang terlibat untuk merasa apakah yang kami pilih tersebut baik ataukah tidak. Banyak manfaatnya ataukah mudharatnya? Setiap saat melakukan self talk dan perenungan untuk memperkuat keyakinan. Dari proses tersebut akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa pendidikan berbasis fitrah merupakan jawaban dari kegalauan yang kami alami. Dari kesadaran dan keyakinan tersebut, maka kami semakin bersemangat memperkuat niat untuk segera berubah.

3.    Action

Setelah melalui dua proses sebelumnya maka saat inilah saatnya untuk bergerak dan berubah.  Beberapa pola pikir dan pola hidup yang kami jalani saat ini diantaranya:

a.       Menjadi “pendidik rumahan”

Seperti halnya orang tua muda yang memiliki anak usia pra sekolah, maka kami pun memiliki harapan dan mimpi besar untuk kedua anak kami. Salah satu harapannya adalah anak-anak dapat bersekolah di tempat yang favorit dengan biaya selangit. Alasan tersebut yang mendasari kami berdua untuk giat bekerja mengumpulkan pundi-pundi uang sehingga bisa mewujudkan impian tersebut. Selain itu, kami juga memiliki harapan bahwa anak-anak sedini mungkin harus sudah diberikan bekal berupa berbagai macam ilmu.

    Namun, setelah mengenal FBE kami tersadar bahwa tak ada istilah lebih cepat lebih baik lagi. Yang ada adalah fitrah yang tumbuh dengan sempurna sesuai dengan waktunya. Maka saat ini yang kami lakukan adalah menemani anak-anak bermain. Yang menjadi titik tekan kami saat ini adalah mempesonakan mereka akan Maha Besarnya Allah. Kami berusaha bagaimana anak-anak memiliki kekaguman akan agama Islam. Kami juga belajar lagi untuk mendalami sejarah perjalanan Rasulullah SAW agar kami bisa mengisahkan bagaimana hebatnya utusan Allah tersebut.

Dalam proses membersamai anak-anak tersebut, justru kami sadar bahwa sebenarnya fitrah kamilah yang belum tumbuh dengan sempurna. Selama ini kami berislam hanya sekedar beribadah saja tanpa ada ghirah untuk berbuat bagi agama. Maka-proses dalam merawat dan menumbuhkan fitrah pada anak-anak tersebut membuat kami pun tersadar akan kekurangan selama ini.

b.      Mengurangi carbon footprint

Sudah menjadi kebiasaan di rumah, pilihan pertama kami ketika akan bepergian untuk jarak dekat adalah dengan bersepeda. Anak-anak merasa nyaman ketika bersepeda karena biasanya kami memilih jalur yang sediit polusi uadaranya. Biasanya kami lewat pematang sawah, lewat kebun-kebun jagung, gang-gang sempit. Pengalaman inilah yang justru menjadi “sumber kebahagiaan” tersendiri bagi kami dan anak-anak. Selain itu, tempat-tempat yang kami lewati tersebut menjadi sumber belajar bagi anak-anak.

Kegiatan memilah sampah juga menjadi bagian penting dalam keluarga kami. Setelah menerapkan proses pemilahan ini kami semakin “menikmati”. Kami mendapat keuntungan berupa kompos dari sampah organik. Sampah anorganik pun semakin berkurang karena dibarengi dengan mengurangi penggunaan plastik.

Setelah mengenal konsep fitrah, maka kami saat ini berusaha memenuhi kebutuhan harian dengan membuatnya sendiri. Untuk kebutuhan makanan harian kami terbiasa memasak sendiri. Bahan yang dimasak pun kami usahakan untuk ditanam di sekitar rumah. Beberapa barang penunjamg yang saat ini kami usahakan untuk dibuat sendiri diantaranya adalah: deodorant, minyak rambut, minyak telon anak, sabun mandi, dan masker. Untuk kebutuhan yang selain itu, kami berusaha umtuk meminimalisir pemakaian.


c.    Memilih makanan yang halal dan thayib

Ungkapan hidup untuk makan atau makan untuk hidup memang perlu menjadi bahan perenungan. Mengapa begitu? Karena selama ini banyak konsep salah kaprah kita tentang makanan yang sebenarnya dibutuhkan oleh tubuh. Sebelum mengikuti kelas FWM Summit, kami berpandangan bahwa makanan itu seperti apa yang umumnya ditemui di masyarakat. Ternyata sajian tersebut tak semuanya dibutuhkan oleh tubuh. Tubuh kita memerlukan makanan untuk regenerasi sel atau biasa disebut dengan living food. Living food didapatkan dari buah-buahan dan sayuran segar. Itupun tak banyak proses dengan dimasak.

Berawal dari pemahaman tersebut, maka saat ini kami menimati waktu menjadi “petani” rumahan. Bertani di area sempit yang terkadang dianggap aneh. Banyak yang menyarankan kenapa harus menanam sendiri kalau beli saja lebih mudah. Namun, sudah menjadi niatan kami untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan keluarga meskipun masih dalam sektor  kecil. Kami mempunyai mimpi besar untuk memiliki peternakan kambing, lahan bertanam yang lebih luas, serta area untuk bisa beternak lebah madu.

 

Dari semua proses panjang tersebut, maka saatnya untuk merumuskan misi hidup diri ini. Misi hidup saya di dunia adalah Menjadi ibu yang senantiasa belajar dan bersungguh-sungguh dalam merawat fitrah keluarga sehingga terwujud pendidikan dan pola hidup selaras fitrah”

 

ü Tantangan dalam Mewujudkan Misi Hidup

Ketika mulai mengaplikasikan FBE di dalam kehidupan sehari-hari, kami menemukan beberapa kendala. Kendala tersebut biasanya bersifat keraguan dan ketakutan apakah kami mampu melakukannya. Sebagai contoh ketika mengambil keputusan tentang pendidikan anak-anak. Untuk usia sampai 5 tahun, anak bersekolah bersama ibu dan ayahnya di rumah. Keputusan tersebut tentu saja menuntut pemenuhan waktu maupun kapasitas. Akhirnya salah satu dari kami pun akhirnya resign dari pekerjaan. Saya sebagai ibu dari anak-anak lah yang akhirnya melepaskan pekerjaan yang sudah sekitar 11 tahun digeluti (sebagai guru di sekolah swasta). Tetap ada kekhawatiran karena satu pundi keuangan kami harus berkurang.

Tantangan selanjutnya adalah pertanyaan dari keluarga besar dan juga masyarakat kenapa anak belum masuk sekolah. Karena di tempat kami, anak usia dini memang sudah seharusnya masuk sekolah. Jujur waktu itu memang kami kebingungan memulai dari mana. Ditambah belum adanya komunitas yang bisa saling mendukung dalam menerapkan konsep FBE dalam keluarga. Akhirnya penguatan tersebut kami lakukan dalam keluarga inti. Suami yang selalu menyemangati dan kembali menyadarkan tentang misi keluarga. Ketika saya merasa lelah dan bingung bagaimana membersamai anak-anak, maka beliau akan kembali menyadarkan tentang konsep FBE yang sampai saat ini kami pilih sebagai panduan.

 

 

ü Karakter yang Menguatkan Misi Hidup

Proses untuk perwujudan misi hidup tersebut memerlukan penguat agar senantiasa istiqomah untuk memperjuangkannya. Beberapa karaktert dalam ibu professional di bawah ini yang akan selalu menjadi penguat proses dalam menjalani misi hidup tersebut.

 

1.      Never stop running, the mission alive

Dalam komunitas ibu professional ini kami bersama saling menjaga, terus bergerak menuju misi hidup. Berproses bersama dalam ranah kerja dan bidang masing-masing. Sesekali tak apa beristirahat untuk mengisi perbekalan. Sebuah ketapel pun perlu ditarik mundur untuk menghasilkan loncatan yang jauh.

 

2.      Don’t teach me. I love to learn.

Karakter ini merupakan sesuatu yang harus seantiasa melekat pada diri setiap ibu. Karena dengan belajar maka seorang ibu akan lebih bisa mengimbangi proses perkembangan anak-anak. Selain itu, seorang ibu akan menjadi inspiratory dan generator bagi masyarakat di sekitarnya. Maka, tak perlu disuruh dan merasa terpaksa seorang ibu harus selalu haus akan ilmu pengetahuan terbaru.


3.      I know I can be better

Seorang ibu harus merasa yakin bahwa dirinya bisa berproses menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan senantiasa melakukan update dan upgrade ilmu serta keterampilan.

 

4.      Always on time

Waktu merupakan salah satu harta yang paling berharga yang dimiliki oleh manusia di muka bumi. Dengan menghargai dan memanfaatkan waktu dengan baik maka akan terjadi perubahan besar dalam hidup. Oleh karena itu, dalam mewujudkan misi pun harus senantiasa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Tak ada sedetikpun waktu yang terlewat kecuali digunakan sebagai sarana memperjuangkan misi kehidupan.

 

5.      Sharing is caring

      Perwujudan misi tersebut pastilah melibatkan orang lain terutama keluarga. Maka karakter berbagi haruslah menjadi kebiasaan yang dilakukan. Dari proses berbagi tersebut akan banyak orang yang mendapat inspirasi dari apa yang dilakukan. Berbagilah sebagai bagian dari perhatian kepada orang lain. Kita tak hanya menjadi baik sendiri tetapi harus membaikkan orang lain.

 

Harta karun telah terkumpul, misi telah dirumuskan. Kini saatnya untuk menata hati dan berharap keridhoan Allah SWT agar apa yang telah dirumuskan mendapatkan kemudahan di kemudian hari.

Nur Iswanti Hasani

 

#Misi7

#KarakterIbuProfesional

#PenjelajahSamuderaAmarta

#Matrikulasibatch9

#InstitutIbuProfesional

#IbuProfesionalforIndonesia

#SemestaKaryauntukIndonesia