Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Selasa, 10 Agustus 2021

Tantangan Zona-1 Management Gadget “ Digital Waste”

10.15 0 Comments

    sumber foto:google.com
 

Pembahasan kali ini saya akan mulai dengan digital waste. Apa itu digital waste? Istilah ini mungkin sangat jarang kita dengar atau belum pernah mendengar sama sekali. Istilah ini saya dapatkan dari Kakawi Amalia Rahmah (Mak Ami) yang memberikan materi kuliah Bunda Sayang pada hari Senin, 8 Agustus 2021. Materi ini sangat “jleb” menohok orang seperti saya yang sangat “tidak rapi” dalam hal pengarsipan digital. Semua materi rasanya cocok bagi diri saya. Beberapa point penting yang dapat diambil diantaranya:

1.    Banjir informasi yang bisa kita dapatkan dari semua aplikasi di media social membuat kita terkadang tak bisa menyaring semua informasi tersebut. Yang terjadi akhirnya semua informasi tersebut masuk ke dalam memori handphone tetapi tak jelas kapan dibuka apalagi dibaca. Bener nggak ya? Hehehe. Semua materi disimpan dan didownload, berpikir suatu saat akan dibaca. Tapi bertahun-tahun tak kunjung dibuka.

2.    Selain dalam hal penyimpanan, tayangan di media sosial pun bisa mengaburkan fokus dalam hidup? Kenapa bisa? Ya karena semua media sosial diinstall dalam handphone, membuat akun dan setiap hari scrolling untuk sekedar melihat postingan/status teman. Berapa jam ya yang kita habiskan per harinya untuk sekedar “ngintip” status dan postingan orang? Andai saja waktu itu kita kalkulasi kemudian digunakan untuk hal yang bermanfaat pasti tak ada lagi kata “kurang waktu”. Selain menghabiskan waktu, scroll sana sini itu juga terkadang membuat kita “minder” lho. Karena yang kita lihat semua tayangan yang wow dan super keren dari orang lain. Akhirnya kita berpikir apalah saya ini. Nah kan jadi minder dan nggak pede deh.

Kedua point itu kiranya bisa merangkum bagaimana digital waste tersebut telah dengan kuat meracuni kehidupan kita seperti halnya sampah plastik yang kini menggunung dimana-mana. Sedih kan ya. Sampai kapan kita akan terjajah oleh sampah digital tersebut? Sudah saatnya untuk memutus “racun” itu dengan usaha dari diri sendiri. Mulai yuk!!!

Berikut ini bagan singkat dari apa yang akan saya lakukan untuk membuang digital waste dalam handphone yang saya pergunakan saat ini. Langkah ini akan dilakukan InsyaAllah selama 3 hari ke depan. Sebenarnya tantangan diberikan selama 12 hari, akan tetapi saya akan membaginya secara bertahap. Bismillah….



Langkah pertama adalah membenahi aplikasi yang terinstall dalam handphone. Coba lihat tayangan HP saya ketika awal dibuka. Parah banget kan ya? Suami saya sampai terkadang geleng-geleng kepala ketika membuka handphone saya.




Dari gambar di atas, kondisi penyimpanan jelas sudah over. Hehehe.. Jangan tanya soal kecepatan ya… jelas lemot bingit deh. Jadi inilah alasan kenapa aplikasi dalam handphone yang pertama akan saya benahi. Fokusnya pasti pada gambar wallpaper juga kan? Itu pilihan anak saya …





Kedua gambar tersebut merupakan hasil screenshoot dari tayangan aplikasi apa saja yang terinstall dalam handphone saya. Itu baru dua halaman, ada lima halaman ya. Sangat tidak bisa dikatakan rapi kan ya? Semua tidak tertata dengan baik. Maka dari itu, saya akan mulai memilih dan memilah semua aplikasi tersebut berdasarkan kepentingan dan kebutuhan saya saat ini. Proses selanjutnya adalah uninstall semua yang tidak diperlukan.

Berikut adalah proses selama uninstall aplikasi yang memang tidak saya butuhkan dan juga merapikan aplikasi dengan membuat beberapa folder. Folder ini diisi aplikasi menyesuaikan dengan jenis aplikasi. Misalnya folder alat, maka akan diisi dengan berbagai aplikasi yang mmudahkan saya dalam membuat tampilan semisal edit video, edit foto (picsart) dan yang lainnya. Begitu pula dengan folder yang lain, semua diisi dengan yang sejenis.



 

Setelah proses uninstall dan perapian maka didapatkan tayangan sebagai berikut.





 
 

Gambar di atas adalah tayangan di wall handphone saya. Peletakan semua aplikasi di kedua halaman tersebut berdasarkan kebutuhan saya saat ini. Setelah langkah pertama saya jalankan, rasanya kok lebih simple saja melihat layar handphone ya. Tidak seperti sebelumnya yang terasa penuh semua terpasang. Ketika mencari pun harus muter-muter dulu. Bahkan terkadang aplikasi yang tidak penting terpasang di halaman depan, sementara itu, aplikasi yang penting malah di halaman akhir. Akhirnya harus sering muter dulu untuk sekedar mencari. Terbuang waktu juga kan ya. Harapannya sih semoga bisa istiqomah untuk tidak install aplikasi yang tidak penting lagi…

 Lanjut untuk semangat memilah data yang ada di setiap aplikasi...

12 hari tantangan management gadget....

 




#harike-1

#tantanganzona1

#manajemengadget

#tantangan12harikalender

#bundasayangbatch7

#institutibuprofesional

#semestakaryauntukIndonesia





Senin, 03 Mei 2021

Ramadhan Day-20: Pandangan Psikologi dalam Pengembangan Kurikulum (part 3)

22.19 0 Comments

 



Psikologi perkembangan memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik. Psikologi belajar merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar.

Dalam teori Gestalt, keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.

Teori gestalt sangat mementingkan anak didik dalam proses belajar mengajar. Individu merupakan sentral dalam  proses belajar dan proses belajar bukan sekadar akumulasi ilmu pengetahuan, yaitu menambah suatu segmen pengetahuan kepada pengetahuan yang telah ada. Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/ cognitive gestalt field, antara lain ;

-        Belajar berdasarkan keseluruhan

Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pokok yang luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.

-        Belajar adalah pembentukan kepribadian

Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh  melalui program pembelajaran yang terpadu.

-        Belajar berkat pemahaman

Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman.

-        Belajar berdasarkan pengalaman

Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran  peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya

-        Belajar adalah proses berkelanjutan

Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak  pernah berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan. Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan  peserta didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan dan diperlukan.

Ramadhan Day-19: Pandangan Psikologi dalam Pengembangan Kurikulum (part 2)

22.18 0 Comments

 



Dalam pengembangan sebuah kurikulum diperlukan beberapa tahapan perencanaan. Salah satu yang sangat terkait adalah cara pandang dari sisi psikologi terutama terkait dengan psikologi belajar. Psikologi belajar merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar.

Anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan.

Sedangkan pandangan lain menyebutkan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat). Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati. Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hukum S – R (stimulus – respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan respon stimulus. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yaitu, law of readiness, law of exercise, dan law of effect. Menurut hukum kesiapan (readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada sistem syaraf individu. Hukum latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang – ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.

Peranan pendidik adalah menganalisis bahan pelajaran, membaginya dalam bagian-bagian kecil, menyajikan satu persatu kepada siswa sambil memberi balikan (reinforcement) berupa pujian bila benar dan kadang hukuman jika salah. Dengan begitu, pertimbangan ini sangat dibutuhkan dalam pengembangan sebuah kurikulum. Selain itu, terdapat satu pandangan lagi dalam psikologi yaitu tentang gestalt yang akan dibahas dalam Pandangan Psikologi dalam Pengembangan Kurikulum (part 3).

Ramadhan Day-18: Pandangan Psikologi dalam Pengembangan Kurikulum (part 1)

22.17 0 Comments

 



Manusia diciptakan berbeda dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Salah satu yang membedakan tersebut adalah dari aspek psikologi. Manusia berbeda dengan benda atau tanaman, karena benda atau tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Manusia juga berbeda dengan binatang, karena kondisi psikologis manusia jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks dibandingkan dengan binatang. Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya.  Begitu juga kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Dalam kaitan dengan pengembangan kurikulum, terdapat dua bidang psikologi yang mendasari yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.

Dari segi psikologi perkembangan, individu manusia dipandang sebagai sesuatu yang sangat kompleks tetapi unik. Ia memiliki banyak aspek seperti aspek jasmani, intelektual, sosial, emosional, dan moral.  Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya. Akan tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Seorang anak mungkin lebih cepat perkembangannya pada tahap tertentu, tetapi lambat pada tahap lainnya, atau aspek tertentu lebih cepat dibanding aspek lainnya.

Dikenal ada tiga teori atau pandangan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan  pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Kedua pendekatan tersebut berusaha untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku untuk semua individu. Dalam kenyataannya seringkali ditemukan adanya sifat-sifat individual, yang hanya dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh individu yang lainnya. Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah yang dikelompokkan sebagai pendekatan  isaptif. Dari tiga pendekatan tersebut yang banyak dianut oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pendekatan pentahapan.

Dalam pendekatan  pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala sesi perkembangan, seperti perkembangan fisik dan gerak motorik, sosial, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Pembahasan tentang psikologi belajar akan diulas dalam Pandangan Psikologi dalam Pengembangan Kurikulum (part 2)

Ramadhan Day-17: Pendidikan adalah Proses Sepanjang Hayat

22.13 0 Comments

 



Kehidupan itu sebuah proses, proses yang dijalani dari awal terbentuknya kehidupan hingga berakhirnya. Kehidupan bersifat continue (istiqomah) atau secara terus menerus. Begitu pula dengan pendidkan yang merupakan reorganisasi, rekonstruksi dan pengubahan pengalaman hidup. Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengalaman. Pengalaman diartikan sebagai apa yang diperoleh dari beberapa fase perkembangan kehidupan. Fase perkembangan masa anak-anak, masa muda, dan dewasa disebut juga sebagai fase pendidikan. Pendidikan tidak akan pernah berakhir, kecuali jika telah bertemu dengan ajal.

Perlu ditekankan lagi bahwa pendidikan merupakan pertumbuhan itu sendiri. Pendidikan dimulai sejak lahir dan berakhir pada saat kematian. Proses belajar merupakan bagian dari pendidikan, maka dari itu proses belajar tidak dapat dilepaskan begitu saja dari proses pendidikan. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu proses yang berlangsung terus menerus.

Ada sebuah ungkapan experience is the best teacher ; pengalaman adalah guru yang terbaik. John Dewey membagi pengalaman ke dalam dua bentuk yaitu; pengalaman yang bersifat aktif dan pengalaman yang bersifat pasif. Pengalaman yang bersifat aktif berarti berusaha, mencoba dan mengubah. Sedangakan pengalaman yang bersifat pasif berarti kita menerima dan mengikuti saja.[1]

John Dewey mempunyai konsep belajar dari pengalaman. Maksudnya adalah bagaimana menghubungkan pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. Belajar dari pengalaman berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflective thinking). Ada lima langkah berpikir reflektif menurut John Dewey, yaitu:[2]

a.                   Merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah

b.                  Mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis)

c.                   Mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat

d.                  Memperoleh hasil dari pengujian hipotesisi tentative

e.                   Hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.

Langkah-langkah berpikir reflektif di atas dipergunakan sebagai metode belajar dalam pendekatan  pendidikan proyek dari John Dewey. Belajar seperti halnya pendidikan adalah proses pertumbuhan, belajar, dan berpikir adalah satu.



[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek...,  hal. 43. 

[2] Ibid. 

Ramadhan Day-16: Model Pendidikan Karakter (part 2)

22.09 0 Comments

 


Pendidikan karakter diawali dengan penanaman pemahaman yang utuh dalam diri siswa. Inkulkasi tersebut dapat melalui berbagai cara yang dapat disesuaikan dengan model belajar anak. Yang terpenting bahwa siswa memahami urgensi dari sikap yang ditanamkan. Misalnya: seorang anak harus mendengarkan dan menghargai seseorang yang sedang berbicara. Pemahaman yang diberikan dapat diberikan melalui perumpamaan. Diumpamakan  saja anak tersebut menjadi yang berbicara, kemudian tidak didengarkan oleh orang lain. Dari perumpamaan tersebut, si anak diminta untuk membayangkan rasanya. Akan lebih mengena lagi ketika hal tersebut dipraktikan secara langsung. Dirancang sebuah simulasi di dalam kelas yang mempraktikkan beberapa hal yang wajar dan tidak wajar dilakukan. Kemudian anak diminta mengidentifikasi kegiatan mana yang mereka pilih untuk diterapkan.  Penarikan kesimpulan mengenai kegiatan yang harus dilakukan tersebut mengajak anak untuk terlibat. Dengan begitu, akan tumbuh rasa memiliki atau “handarbeni” sehingga akan lebih ringan untuk mengaplikasikannya.

Setelah inkulkasi, langkah selanjutnya adalah modelling atau keteladanan. Sebuah adagium yang mungkin sangat sering kita dengar mengatakan bahwa satu keteladanan lebih baik daripada seribu kata-kata. Kalimat tersebut bermakna bahwa satu hal yang dilakukan langsung oleh orang dewasa di depan seorang anak, maka sikap itulah yang akan ia potret kemudian terekam dalam memori jangka panjangnya. Sebagai contoh, seorang guru yang melihat sampah kemudian memungut dan membuangnya ke tempat sampah. Hal itu mungkin sesuatu yang sepele. Namun, mata-mata kecil yang menyaksikan langsung sikap tersebut akan menyimpulkan sesuatu yang lebih daripada yang kita perkirakan. Sangat berbeda kiranya ketika sikap guru tersebut acuh atau justru hanya menyuruh siswa untuk membersihkan. Petuah dan perintah keluar darinya agar si anak membuang sampah tersebut ke tempat sampah. Pada saat itu, perintah tersebut manjur. Akan tetapi, pada saat tidak ada perintah, maka sikap siswa pun akan biasa ketika melihat sampah tersebar di sekitarnya. Itulah kekuatan keteladanan yang kini mungkin semakin jarang kita temukan.

Keteladan yang diberikan didukung dengan fasilitasi (facilitation) dan juga pengembangan keterampilan (skill building). Bagaimana kedua hal tersebut bisa dilaksanakan? Fasilitasi dapat dilakukan pada proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. Pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan nilai akan menumbuhkan kebiasaan. Kebiasaan yang selalu berulang tersebut akhirnya menjelma menjadi sebuah karakter yang mengakar dalam diri anak. Contoh dari aplikasi fasilitasi adalah ketika guru menjelaskan suatu pelajaran. Ada kalanya guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendengarkan pendapatnya. Guru tidak egois untuk bicara sepanjang waktu atau teacher talking time. Akan tetapi, guru juga menghargai apa yang ingin disampaikan oleh siswanya. Dengan begitu, siswa pun akan menghargai apapun yang guru sampaikan.

Proses fasilitasi dalam diri anak tidak terlepas dengan proses skill building. Keterampilan sosial yang perlu untuk selalu diasah adalah yang terkait dengan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan mengatasi masalah. Kedua keterampilan tersebut merupakan modal bagi anak dalam menghadapi kehidupan nantinya. Berpikir kritis akan mengarah pada pembentukan pribadi yang bijaksana, senantiasa cermat dalam mensikapi suatu masalah sehingga bisa membuat keputusan yang tepat. Dengan begitu, akan lahir pribadi-pribadi yang sangat menghargai penyelesaian masalah dengan cara yang baik tanpa harus mengendalkan kebiasaan destruktif yang kini seperti menjadi bagian dari bangsa ini. Pendidikan karakter yang komprehensif yang meliputi penanaman pemahaman, pemberian keteladanan, fasilitasi dan pengembangan keterampilan menjadi model yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran.

 

Rabu, 28 April 2021

Ramadhan Day-15: Model Pendidikan Karakter (Part 1)

04.36 0 Comments

 



Pendidikan karakter yang digaungkan saat ini sepertinya belum bisa menjawab persoalan yang semakin hari semakin bertambah berat. Persoalan tersebut diantaranya terkait dengan moral dan akhlak anak dalam kehidupan kesehariannya. Penanaman karakter melalui doktrinasi seperti yang diberikan para pendahulu tidak lagi bisa diterapkan pada kondisi zaman seperti saat ini. Kondisi siswa saat ini lebih membutuhkan pemahaman yang “gamblang” tentang segala sesuatu yang mereka hadapi. Pemberian tauladan pun semakin tak dihiraukan. Hal ini disebabkan adanya krisis figuritas. Figur atau tokoh yang layak untuk bisa dijadikan pijakan dalam bersikap semakin sedikit. Ketika ada pun, biasanya mereka adalah bagian kecil dari masyarakat yang tak terekspos oleh media. Padahal saat ini, figur yang biasa menjadi panutan dan anutan seorang anak adalah yang sering muncul di media massa.  Walaupun kadang tidak menghiraukan sama sekali kualitas dari sang figur tersebut.

Pemangkasan materi sebagai usaha perbaikan kurikulum pun sepertinya belum menampakkan hasil. Beberapa pandangan menyebutkan bahwa merosotnya kualitas pendidikan karakter dikarenakan beban berat seorang anak dalam menerima pelajaran. Guru terfokus untuk menyampaikan gemuknya materi sehingga tak menghiraukan lagi segi sikap ataupun afektif peserta didiknya. Pendapat ini tak juga salah. Tuntutan yang berat dari kurikulum memang membuat guru kewalahan. Tak hanya dalam hal mengajar saja tetapi juga dalam hal mendidik. Alhasil, nilai hidup yang sejatinya tersisip dalam setiap proses pembelajaran pun menjadi terlupa.

Pertanyaan besar yang mungkin bisa diajukan saat ini adalah: model pendidikan karakter seperti apa yang tepat untuk diterapkan dalam mengatasi segala problematika yang membelit moral anak bangsa? Yang pertama harus diyakini oleh para pendidik adalah segala masalah pasti mempunyai jalan keluar. Salah satu jalan keluar dalam menjawab pendidikan karakter bangsa ini adalah dengan metode komprehensif. Apa itu metode komprehensif dalam pendidikan karakter? Metode ini berkembang sebagai kesadaran akan situasi yang serba kompleks. Pendekatan ini menekankan pada lulusan yang mampu membuat keputusan moral dan sekaligus memiliki perilaku yang terpuji berkat pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan (Zuchdi, dkk, 2013: 16). Pendekatan ini melibatkan beberapa segi diantaranya metode yang diterapkan, pendidik yang berpartisipasi, serta konteks berlangsungnya pendidikan karakter.

Metode yang digunakan dalam pendekatan komprehensif pendidikan karakter meliputi inkulkasi (inculcation), keteladanan (modelling), fasilitasi (facilitation) dan pengembangan keterampilan (skill building). Inkulkasi atau penanaman nilai merupakan usaha pengintegrasian nilai kehidupan pada diri anak secara terus-menerus setiap hari. Sebagai contoh adalah menghargai pendapat orang lain, memperlakukan orang lain secara adil, mengomunikasikan kepercayaan ataupun keragu-raguan disertai alasan yang mendasarinya, memberikan konsekuensi disertai alasan yang kuat, menjaga komunikasi dengan teman yang berbeda pendapat, memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda. Sikap tersebut harus dibiasakan dan menjadi bagian hidup dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh para siswa. Usaha penanaman tersebut tak akan sempurna jika tidak dilengkapi dengan modelling, facilitating dan skill building. Pembahasan selanjutnya dapat dibaca pada Model Pendidikan Karakter (part 2).