Pendidikan karakter diawali dengan penanaman pemahaman yang utuh
dalam diri siswa. Inkulkasi tersebut dapat melalui berbagai cara yang dapat
disesuaikan dengan model belajar anak. Yang terpenting bahwa siswa memahami urgensi
dari sikap yang ditanamkan. Misalnya: seorang anak harus mendengarkan dan
menghargai seseorang yang sedang berbicara. Pemahaman yang diberikan dapat
diberikan melalui perumpamaan. Diumpamakan
saja anak tersebut menjadi yang berbicara, kemudian tidak didengarkan
oleh orang lain. Dari perumpamaan tersebut, si anak diminta untuk membayangkan
rasanya. Akan lebih mengena lagi ketika hal tersebut dipraktikan secara
langsung. Dirancang sebuah simulasi di dalam kelas yang mempraktikkan beberapa
hal yang wajar dan tidak wajar dilakukan. Kemudian anak diminta
mengidentifikasi kegiatan mana yang mereka pilih untuk diterapkan. Penarikan kesimpulan mengenai kegiatan yang
harus dilakukan tersebut mengajak anak untuk terlibat. Dengan begitu, akan
tumbuh rasa memiliki atau “handarbeni” sehingga akan lebih ringan untuk
mengaplikasikannya.
Setelah inkulkasi, langkah selanjutnya adalah modelling atau
keteladanan. Sebuah adagium yang mungkin sangat sering kita dengar mengatakan
bahwa satu keteladanan lebih baik daripada seribu kata-kata. Kalimat tersebut
bermakna bahwa satu hal yang dilakukan langsung oleh orang dewasa di depan
seorang anak, maka sikap itulah yang akan ia potret kemudian terekam dalam
memori jangka panjangnya. Sebagai contoh, seorang guru yang melihat sampah
kemudian memungut dan membuangnya ke tempat sampah. Hal itu mungkin sesuatu
yang sepele. Namun, mata-mata kecil yang menyaksikan langsung sikap tersebut
akan menyimpulkan sesuatu yang lebih daripada yang kita perkirakan. Sangat
berbeda kiranya ketika sikap guru tersebut acuh atau justru hanya menyuruh
siswa untuk membersihkan. Petuah dan perintah keluar darinya agar si anak
membuang sampah tersebut ke tempat sampah. Pada saat itu, perintah tersebut
manjur. Akan tetapi, pada saat tidak ada perintah, maka sikap siswa pun akan
biasa ketika melihat sampah tersebar di sekitarnya. Itulah kekuatan keteladanan
yang kini mungkin semakin jarang kita temukan.
Keteladan yang diberikan didukung dengan fasilitasi (facilitation)
dan juga pengembangan keterampilan (skill building). Bagaimana kedua hal
tersebut bisa dilaksanakan? Fasilitasi dapat dilakukan pada proses pembelajaran
yang terjadi di dalam kelas. Pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan
nilai akan menumbuhkan kebiasaan. Kebiasaan yang selalu berulang tersebut
akhirnya menjelma menjadi sebuah karakter yang mengakar dalam diri anak. Contoh
dari aplikasi fasilitasi adalah ketika guru menjelaskan suatu pelajaran. Ada
kalanya guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendengarkan
pendapatnya. Guru tidak egois untuk bicara sepanjang waktu atau teacher
talking time. Akan tetapi, guru juga menghargai apa yang ingin disampaikan
oleh siswanya. Dengan begitu, siswa pun akan menghargai apapun yang guru
sampaikan.
Proses fasilitasi dalam diri anak tidak terlepas dengan proses skill
building. Keterampilan sosial yang perlu untuk selalu diasah adalah yang
terkait dengan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan mengatasi masalah.
Kedua keterampilan tersebut merupakan modal bagi anak dalam menghadapi
kehidupan nantinya. Berpikir kritis akan mengarah pada pembentukan pribadi yang
bijaksana, senantiasa cermat dalam mensikapi suatu masalah sehingga bisa
membuat keputusan yang tepat. Dengan begitu, akan lahir pribadi-pribadi yang
sangat menghargai penyelesaian masalah dengan cara yang baik tanpa harus
mengendalkan kebiasaan destruktif yang kini seperti menjadi bagian dari bangsa
ini. Pendidikan karakter yang komprehensif yang meliputi penanaman pemahaman,
pemberian keteladanan, fasilitasi dan pengembangan keterampilan menjadi model
yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran.