Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Kamis, 22 April 2021

Ramadhan Day-9: Tangan Bicara

10.28 0 Comments

 


Karakteristik anak mencerminkan kondisi kelas. Kadang terdapat kelas yang mendapat cap dari beberapa guru karena situasi yang ada di dalamnya. Kelas yang rame, kelas yang aktif, kelas yang anteng, dan kelas yang lain sebagainya. Cap tersebut diberikan berdasar apa yang guru alami ketika mengajar di dalamnya. Kondisi tersebut tercipta oleh perpaduan komposisi anak yang mendiami kelas tersebut.

Begitu pula yang kualami ketika berada di kelasku sekarang ini. Dengan jumlah anak 28, merupakan percampuran karakter yang tak bisa terbayangkan. Awal pertemuan dengan jumlah anak yang tidak sedikit dan berbagai karakter yang melengkapi diperlukan manajemen kelas yang senantiasa dipertimbangkan. Salah satunya adalah dalam hal pembagian kelas menjadi beberapa kelompok kecil.

Sudah menjadi kebiasaan di awal tahun, anak-anak akan kubagi menjadi lima kelompok dengan percampuran laki-laki dan perempuan. Penempatannya pun tidak sembarangan. Aku harus mempertimbangkan  tipikal masing-masing anak. Anak yang terbilang aktif tidak bisa dijadikan dalam satu kelompok, begitu pula anak yang aktif. Nanti yang aktif semakin aktif, yang pasif akan jalan di tempat.

“Nak, bu guru hari ini akan membagi kalian menjadi lima kelompok .Tujuannya agar kalian dapat saling kenal dan bekerjasama, “ terangku untuk mengawali kegiatan pada hari itu.

“Kelompok saya siapa saja, Bu?’ tanya Alfa, anak yang duduk paling depan.

“Akan Bu guru bacakan. Setelah itu, kalian berpindah tempat sesuai dengan kelompok yang telah Bu Guru bagi ya.”

Aku membacakan susunan kelompok satu sampai dengan lima.

“Nah. Itu tadi kelompoknya. Sekarang dengan berjalan pelan dan tanpa banyak ngobrol, silahkan anak-anak berpindah tempat. Kelompok satu silahkan duduk di barisan paling kanan.” Tuntunku. Anak-anak mulai beranjak dari tempat duduknya. Ada yang sangat bersemangat, namun ada pula yang ogah-ogahan karena mendapat teman satu kelompok yang agak kurang cocok.

“Dilanjutkan kelompok dua, disusul kelompok tiga sampai dengan kelompok lima.” Semua anak sudah duduk di tempatnya. Beberapa langsung akrab mengobrol, saling bertukar tempat atau sekedar so bersama. Namun, tak ayal ada pula yang duduk tepekur sambil cemberut karena merasa tidak terima dengan pembagian kelompok hari ini.

“Sekarang, kelompok kita sudah terbentuk. Bu Guru lihat dari tadi Irsyad diam saja sambil cemberut, kenapa Nak? “

“Saya nggak mau sekelompok sama Alfa Bu!”, sergahnya,

“Kenapa Irsyad tidak mau sekelompok dengan Alfa? Boleh Ibu tahu alasannya?”

“Saya nggak suka, karena Alfa anaknya suka mukul Bu?” Mataku melirik ke arah Alfa.

“Apakah betul Alfa apa yang dikatakan Irsyad?” tanyaku mengagetkannya.

“Iya Bu”, jawabnya singkat sambil menunduk.

“Kenapa Alfa suka memukul Irsyad?”

“Ya, Cuma pengin mukul aja Bu.”

“Alfa gemes sama Irsyad gitu?”

“Iya, di rumah saya juga gitu Bu kalo sama adek.”

“O,begitu ya”. Aku memutar otak mencari cara untuk memahamkan semua anak.

“Begini, Bu guru punya pertanyaan untuk semua.” Aku mulai masuk pada prolog dari apa yang ingin kusampaikan.

“Siapa yang menciptakan tangan kita ini?”

“Allah”, jawab mereka serempak.

“Allah memberi kita tangan. Kita semua punya tangan kan ya? Ada nggak di kelas ini yang mungkin tangannya tidak lengkap atau tidak sempurna?”

“Nggak ada Bu”, jawab mereka lagi.

“Tapi, saya pernah melihat ada orang yang nggak punya tangan, Bu”, timpal Erm dengan ditambahi beberapa anak yang menceritakan pengalamannya bertemu orang yang tangannya tak lengkap atau tak sempurna.

“Betul sekali. Memang Allah menciptakan beberapa hambanya tidak mempunyai tangan yang lengkap. Tapi bukan berarti ciptaan Allah tidak sempurna”.

“Nah, sekarang Bu Guru lanjutkan bertanya. Tangan diciptakan untuk apa ya?”

“Untuk memegang”, jawab beberapa anak.

“Untuk makan, mandi, ngambil barang”, tambah yang lain. Riuh rendah semua anak ingin memberikan pendapatnya.

“Subhanallah, jawaban kalian semua benar.”

“Bagaimana dengan Alfa, tangan itu digunakan untuk apa Nak?”

“Untuk megang, garuk-garuk kalau gatal”, sontak semua tertawa termasuk aku tentunya.

“Nah, berarti boleh tidak kalau tangan digunakan untuk memukul?”

“Tidak Bu”, jawab Alfa.

“Bagus, Alfa. Dan Bu Guru percaya bahwa mulai hari ini Alfa tidak akan menggunakan tangan yang diberikan Allah ini untuk memukul lagi”, terangku sambil mendekat dan menyentuh tangan kecilnya.

“Tangan ini Allah ciptakan untuk membantu orang lain. Karena suatu saat nanti, tangan ini akan bicara, bersaksi di hadapan Allah atas apa yang pernah dilakukannya di dunia ini.”

“Loh, emang tangan bisa bicara Bu?”, tanya Rendra.

“Di akhirat nanti, ketika perhitungan amal, tidak hanya tangan yang bisa berbicara. Semua anggota tubuh ini akan berbicara, bersaksi di hadapan Allah SWT. Jika waktu di dunia tangan digunakan untuk mencuri, maka tangan ini akan mengatakan, Allah aku dulu di dunia digunakan untuk mencuri (kuperagakan tangan yang sedang bicara)”

“Jadi, tidak ada yang bisa berbohong lagi di hadapan Allah, karena saksinya banyak.”

“Wah, berarti harus hati-hati ya Bu.”

“Betul sekali, Nak. Coba, kalian percaya nggak kalau setiap hari ada yang mengawasi kita?”

“Percaya Bu, kan ada Malaikat Raqib Atid di sini,” ucap Irma sambil menunjuk pundaknya.

“Iya, betul. Selain itu, ada yang setiap hari melihat kita. Walaupun kita tidak bisa melihat-Nya, tapi kita harus merasa bahwa kita senantiasa diawasi.”

Ketika diskusi berjalan, Alfa mengacungkan tangannya.

“Iya, Alfa. Ada apa Nak?”

“Bu, saya kan sudah banyak memukul teman. Allah akan memaafkan nggak?”

Kutatap Alfa dengan senyum, kemudian aku beranjak dan mendekatinya.

“Alfa, Allah itu Maha Pemaaf, Al Ghafur. Allah akan mengampuni setiap hamba yang meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Alfa tinggal minta saja sama Allah”, terangku sambil mengusap rambutnya.

“Selain itu, Alfa juga harus meminta maaf kepada teman yang pernah dipukul serta berjanji bahwa tidak akan mengulangi lagi.”

“Iya, Bu.”

“Nah, coba sekarang anak-anak bu guru berikan waktu untuk mengingat-ingat. Kira-kira ada tidak teman dalam satu kelas ini yang pernah tersakiti. Kalau ada, silahkan berjalan ke teman tersebut dan minta maaaflah dengan baik. Kita awali hari ini dengan saling memaafkan.”

Semua anak mencoba berpikir, ada pula yang saling pandang dan saling tunjuk menandakan pernah ada kejadian diantara mereka. Beberapa langsung berjalan menuju temannnya dan bersalaman kemudian mengucapkan kata maaf. Pemandangan yang sangat indah.

“Bu, saya mau minta maaf,” sela Rendra mengagetkanku.

“Minta maaf untuk apa Nak?”

“Sebenarnya yang menyembunyikan sepatu Bu Guru kemarin itu saya. Saya takut nanti tangan saya bicara waktu di akhirat.”

Kutatap Rendra dan kukatakan, “Iya, Nak. Bu Guru maafkan. Besok lagi jangan diulangi ya.”

“Iya, Bu. Tapi Bu Guru juga harus minta maaf.”

Aku mendengarkan sambil terbengong.

“Bu Guru kemarin kan marah-marah waktu sepatunya nggak ketemu.”

Jleb, rasanya menohok hati. Teringat kemarin waktu sepatu hilang sempat mengeluarkan kata dengan nada keras seperti orang marah. 

“Iya, Bu Guru minta maaf ya. Terima kasih Nak telah mengingatkan Bu Guru.”

Senyum terkembang ketika kulangkahkan keluar dari kelas tersebut. Terima kasih Ya Rabb. Satu pintaku, buka hati-hati kecil ini untuk selalu merasa diawasi oleh-Mu. Begitu pula yang memohon doa ini.

 

 

 

 

Rabu, 21 April 2021

Ranadhan Day-8: Gombalisasi: Apa Beda Cutter dan Cowok?

21.05 0 Comments

 


Bulan syawal tiba, setelah Ramadhan terlewati beberapa waktu yang lalu. Bulan ini identik dengan berkumpul dengan keluarga besar, bermaafan, saling mengunjungi dan berbagai ritual sosial khas daerah masing-masing. Dan yang jelas, bulan ini juga dianggap sebagai bulan baik untuk melangsungkan pernikahan. Terbukti, dalam waktu seminggu saja, jadwal jagongan Bapak lebih dari 7 tempat yang berbeda. Dalam satu hari, Bapak bisa perbaikan gizi lebih dari satu kali, begitu beliau mengistilahkan. Adat masih sangat menjerat masyarakat. Pemilihan waktu untuk melangsungkan pernikahan masih berdasar pada perhitungan njlimet ala kejawen. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Anak yang lahir pasaran paing tidak cocok jika menikah dengan wage dan lain sebagainya. Hal yang paling ditakutkan adalah jika kepercayaan tersebut secara tidak sadar menggerus kepercayaan kepada yang di atas. Begitulah masyarakat kita saat ini, di zaman yang berlabel globalisasi.

Waktu untuk kembali masuk seklah pun tiba.

Bergerombol anak perempuan di belakang kelas seperti sedang merencanakan sesuatu. Seperti biasa, aku duduk di meja guru di samping kanan kelas. Sambil menghadap laptop, aku makan snack yang telah susah-susah diantar oleh bu Parti yang cukup bisa mengganjal rasa laparku pagi itu. Terima kasih Bu Parti. Resoles ditemani oleh cabai kecil berwarna hijau dan caragesing membuat mataku kembali awas, nafasku kembali normal dan yang jelas tenagaku kembali pada titik aman walaupun tidak begitu maksimal. Ketika aku mulai memegang tuts huruf pada laptop di depanku, beberapa anak perempuan mendekat dan bertanya, “Ibu lagi ngapain?”, tanya salah satu diantara mereka. “Ibu sedang ngetik, nih kalian lihat kan”, jawabku santai. “Ngetik apa bu?”, lanjut yang lain. “Ngetik apa ya, mau tahu aja atau mau tahu banget?”, candaku. “Ah, bu guru ini lho alay”. “Loh, alay gimana. Ibu kan tanya bener.” “Iya deh.” “Bu, gantian saya mau tanya boleh?” , tanyanya. “Boleh aja, tanya apa?”, sambil kuhentikan pekerjaanku dan menghadap langsung padanya. “Bu, apa bedanya cutter dan cowok?” Aku tidak begitu kaget dengan pertanyaan teka-teki dari anak-anak. Karena kami memang seringkali saling bertanya tentang teka-teki karena itu mengaktifkan otak untuk senantiasa mencari jawaban yang kreatif. Yang memberikan pertanyaan pun tertantang untuk kreatif membuat atau mencari sumber di buku maupun internet. Aku mengernyitkan dahi, “Apa ya bedanya,. Emmmmm, kalau cutter itu kan benda mati, kalau cowok itu benda hidup”, jawabku. “Bukan bu, bu guru salah”, bantahnya sambil tersenyum tanda bahagia karena aku tidak bisa menjawab. “Terus apa dong jawabannya?”, tanyaku. “Bu guru sudah nyerah?” “Iya deh, bu guru nyerah”, kataku. “Bedanya cutter sama cowok itu tipis bu. Kalau cutter itu untuk merobek kertas, kalau cowok itu merobek hatimu”, jawabnya sambil menunjuk ke arah dadaku. Seketika aku tertawa mendengar jawabannya. “Kamu dapat teka-teki itu darimana?”, kulanjutkan dengan pertanyaan. “Dari kakak bu, kakak saya bilang kalau cowok itu sering melukai hati perempuan bu, merobek gitu lah. Istilah kerennya bikin broken heart”, paparnya polos. “Oh ya, emang kakakmu pernah dirobek hatinya sama cowok?”. “Iya bu, pernah. Kakak saya sampai nangis, gak mau makan berhari-hari”. “Oh ya, terus apa yang kamu lakukan waktu itu?”, lanjutku. “Ya saya bilang sama kakak kalau gak usah sedih. Kan masih banyak cowok di dunia ini yang mau sama kakak. Tingga cari yang lain aja kok repot”, tandasnya. Kuacungkan jempol di hadapannya sekaligus berkata, “Trus kakakmu reaksinya gimana kamu bilang begitu.” “Itu bu, kakak saya malah marah-marah. Katanya, kamu gak tahu sih yang kakak rasakan, bilang gitu sambil nangis tambah kenceng. Saya langsung lari keluar kamar bu. Takut kakak saya ngamuk.” Aku tersenyum mendengar penjelasan polos anak itu. “Niatmu itu baik sayang, kamu pasti pengin kakakmu tersenyum lagi kan?”, anak itu menjawab dengan menganggukkan kepala. “Sini bu guru kasih tahu”. Mereka semakin mendekat. “Kadang, orang dewasa itu perlu waktu untuk berpikir sendiri. Kakakmu juga sudah tahu apa yang kamu katakan. Cuma, dia perlu waktu untuk mengatasi masalahnya itu. Bu guru yakin, dalam beberapa waktu ke depan kakakmu sudah biasa lagi kok”, jelasku. “Begitu ya bu, jadi orang dewasa itu ribet ya, apa-apa dipikirin”, jawabnya sambil berlalu mengambil makan yang sudah diantar oleh pak Di. Aku cuma bisa tertawa mendengar kata-katanya itu.

Dalam hati, aku seperti mengiyakan perumpamaan antara cutter dan cowok itu. Teka-teki itu muncul di saat yang tepat dengan apa yang kurasakan. Beberapa minggu yang lalu, seorang yang kudambakan dan kuharapkan menjadi pendamping hidup pun akhirnya mengatakan “Kita bersaudara saja ya dek.” Kata-kata itu meluncur dengan sangat enteng dari mulutnya. Tapi tidak seenteng ketika masuk ke hatiku. Berat rasanya hujaman kenyataan itu. Ahh... ingatanku mulai lagi. Sekuat aku mencoba untuk mengatakan iya di bibir, tapi ternyata tidak di dalam hati. Apakah bisa dikatakan seperti cutter yang telah merobek kertas, pikirku. Tapi jujur, ketika aku mengingatnya, seperti ada lubang menganga di sudut hati ini yang belum tertambal dengan sempurna. Tekadku, waktu yang berjalan akan mengobatinya.

Kutepiskan pikiran itu sambil beranjak menghampiri anak- anak yang sedang makan bersama di atas karpet di sudut kelas. Sambil bercanda dengan mereka, pikirku masih melayang. Bagaimanapun guru juga manusia, punya rasa punya hati kata candil di dalam salah satu syair lagunya. Guru juga mempunyai sisi kemanusiaan yang juga dialami oleh orang kebanyakan. Sisi tersebut justru kadang membuatku belajar untuk bisa bersikap lebih bijak ketika menghadapi setiap pertanyaan murid yang berkaitan dengan pelajaran kehidupan. Toh, suatu saat mereka pun akan menjadi manusia dewasa yang sedikit banyak akan merasai apa yang mungkin kurasakan saat ini. Proses timbal balik pun terjadi. Bagaimana kita orang dewasa harus belajar bagaimana mensikapi sesuatu menurut kacamata anak-anak. Sikap santai, ikhlas, mudah lupa terhadap satu masalah adalah beberapa yang bisa kita ambil dari kearifan anak-anak kita. Terima kasih anak-anakku.

Ramadhan Day-7: Apakah Umar bin Khattab Marah?

20.59 0 Comments

 


Kelompok-kelompok kecil itu telah duduk di tempatnya masing-masing. Berbaris dengan lurus, kaki bersila, tangan bersedekap, mata terpejam, lantunan doa pun dimulai. Rutinitas pagi yang semoga kan bertahan sampai kapanpun. “Jika pekerjaan akan dimulai, ucapkan basmallah. Jika pekerjaan telah selesai, ucapkan hamdallah.” Kubuka pertemuan pagi itu dengan lantunan lagu. Walaupun suaraku tak bagus-bagus amat, tapi cukuplah membuat perhatian anak-anak terpusat padaku.

“Say, basmallah...”

“Bismilalahirrohmaanirrohiim..” bibir-bibir kecil itu serentak berucap.

“How are you today?”

“I’m fine, thank you. And you?”

“I’m fine too thank you. Who is absent today?”

“Arya, Mom. Tadi pagi telepon kalo sakit.”

“O, begitu. Kita doakan moga lekas sembuh ya.”

“Kita selalu berdoa agar kita semua diberikan kesehatan ya.”

“Hmmmm.... hari ini bu guru punya cerita untuk anak-anak”, ucapku membuka pembelajaran pagi itu.

“Cerita apa bu?”, tanya beberapa anak yang membuat kelas menjadi gaduh.

“Kira-kira cerita apa ya???? Ada yang tahu???”, lanjutku memancing rasa penasaran anak-anak. Bercerita merupakan ritual pagi yang selalu kami biasakan. Cerita dapat berasal dari guru maupun siswa. Tema ceritanya pun sangat beragam. Makanya ketika ritual dimulai, banyak anak yang mualai bersiap menebak cerita yang akan didengar.

“Ayo, Bu dimulai ceritanya”, sambut salah seorang anak.

“Oke, bu guru akan memulai kalau kalian semua sudah siap,” ucapku pelan untuk menarik perhatian anak-anak yang mulai bosan menunggu.

Anak-anak pun muali duduk tenang di tempatnya. Beberapa yang masih sibuk sendiri, diingatkan oleh temannya untuk segera tenang. Karena itu merupakan syarat cerita akan dimulai.

“Nah, cerita pagi ini adalah tentang seorang shahabat Rasul yang bernama Umar Bin Khattab. Ada yang pernah mendengar ceritanya?”, tanyaku.

“Saya sudah bu, lihat di Televisi, “sambut salah seorang anak.

“Itu Bu, di ensiklopedia di perpus ada,” lanjut yang lain.

“Umar itu kan teman kita Bu,” timpal Doni yang langsung disambut tawa anak-anak dalam satu kelas. Yang tersebut namanya senyum-senyum bangga dengan nama yang disandangnya. Dan kelas mulai riuh oleh celotehan antar anak yang ingin menyampaikan apa yang mereka tahu tentang Umar Bin Khattab.

“Kita lanjutkan ceritanya ya,” sambungku.

“Umar adalah adalah seorang pemuda yang gagah berani, badannya tinggi besar, kalau berbicara suaranya menggelegar”, terangku sambil mencoba meirukan karakter Umar lewat suara dan mimik wajah. Anak-anak terlihat membayangkan deskripsi yang kuberikan.

“Umar ini sangat ditakuti oleh masyarakat Quraisy pada waktu itu. Coba kalian bayangkan. Kalau di jalan, kalian bertemu dengan orang seperti Umar, kira-kira takut tidak?”tanyaku.

“Takut buuuuu....”, jawab sebagian anak serempak.

“Saya tidak takut Bu,” sela Erda. “Soalnya Bapak saya juga kayak gitu. Tiap hari kerjaannya marah-marah terus”, tambahnya.

Aku mengernyitkan dahi mendengar apa yang Erda sampaikan.

“Oh, begitu ya. Tapi orang tua itu akan marah jika kita berbuat salah. Dan biasanya tujuannya baik. agar kita menjadi lebih baik.”

Riuh rendah anak-anak berceloteh menceritakan pengalaman pernah dimarahi oleh orang tuanya.

“Mau lanjut tidak ya ceritanya?”, selaku.

“Mauuuuu.... “

“Nah, karena sangat ditakuti maka masyarakat memberikan sebutan khusus untuk Umar ini. Sebutannya adalah Singa Padang Pasir.”

“Wahh, singa??? Ngeri ya..” sela salah satu anak

“Betul sekali, itulah kenapa pada waktu itu Rasulullah masih berdakwah secara diam-diam. Setelah Umar masuk Islam, barulah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan.”

“Berdakwah secara sembunyi itu gimana Bu? Kayak main petak umpet gitu ya?”, tanya Bimba.

Sontak satu kelas tertawa mendengar pertanyaan Bimba.

“Bagus sekali pertanyaan Bimba,” pujiku

“Namun bukan berarti Rasulullah bersama para shahabat itu seperti main petak umpet. Maksudnya, dalam menyebarkan ajarannya Rasulullah memilih untuk melaksanakkanya di rumah salah seorang penduduk Mekkah. Rumah yang dipilih adalah rumah sahabat bernama Arqam. Makanya dinamakan Darul Arqam. Rasulullah tidak melaksanakan di tempat umum karena mendapat ancaman dari kaum kafir Quraisy”, terangku panjang lebar.

“Trus kapan Rasulullah mulai berdakwah di tempat umum bu?”, tanya Intan.

“Cerdas sekali.”

“Rasulullah mulai berdakwah secara terang-terangan itu setelah Malaikat Jibril memerintahkan. Nah, salah satu yang menguatkan Rasul untuk berdakwah di tempat umum itu ya Umar Bin Khattab.”

“Loh, tapi kan Umar Bin Khattab itu kafir Bu?” tanya Vino.

“Betul sekali Vino, tapi ada kejidian luar biasa yang membuat Umar akhirnya memeluk agama Islam.”

“Gimana bu ceritanya?”, lanjut Vino.

“Waktu Islam mulai disebarkan oleh Rasulullah, salah satu adik Umar pun ikut memeluk agama Islam. Nah, mengetahui hal itu Umar marah besar. Dalam keadaan marah itu, Umar menuju rumah adiknya yang saat itu sedang membaca Al Qur’an. Dari luar rumah, Umar mendengar lantunan ayat suci tersebut. Surat yang sedang dibaca adalah surat Thoha.  Tanpa pikir panjang dia langsung mendobrak pintu rumah adiknya.”

Sambil memperagakan apa yang dilakukan Umar di depan kelas aku pun mulai beraksi layaknya seorang artis kawakan.

“Wahai adikku apa yang kau baca itu?”,tanya Umar kepada adiknya.

“Ini adalah kitab suci Al Qur’an”, jawab adiknya.

“Letakkan dan tinggalkan ajaran Muhammad!” bentak Umar.

“Tidak, sampai kapanpun aku tidak akan pernah meninggalkan keyakinan ini.”

Mendengar pernyataan tersebut, semakin tersulut kemarahan Umar.

Amarah yang sedari tadi ditahan, ia lampiaskan dengan memukul adiknya. darah pun mengucur dari kepala sang adik. Namun tak ada erang kesakitan sidkitpun dari mulutnya.

Melihat kondisi tersebut, Umar merasa iba. Pelan dia dekati adiknya dengan amarah yang mulai menurun.

“Perlihatkan bacaan yang kau baca tadi,” kata Umar.

Dengan sedikit ragu, maka adiknya pun menyerahkan kitab suci tersebut.

Baris demi baris Umar menelusuri bacaan surat Thaha tersebut. Hatinya terguncang dengan isi dari surat tersebut. Hidayah Allah tidak ada yang tahu. Dan pada hari itulah Allah menurunkan hidayah-Nya kepada Umar. Pada hari itu juga Umar akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Cerita pun usai. Anak-anak sangat bangga memiliki tauladan hebat seperti Umar Bin Khattab. Aktivitas pun dilanjutkan.

“Anak-anakku, hari ini kita akan mengganti nama kelompok. Kalau kemarin kita sudah menggunakan nama buah-buahan, maka hari ini kita akan memakai nama yang lain,” jelasku.

“Pakai nama apa, Bu?”

“Kita akan memakai nama Shahabat Rasul.” Cerita Umar Bin Khattab sebelumnya memang sengaja kuberikan agar anak-anak merasa bangga dengan para Shahabat Rasul.

“Sahabat Rasul? Siapa aja Bu?” terlihat anak-anak masih bingung.

“Pakai nama Umar bin Khattan yang tadi itu ya Bu?,” tanya Endra

“Iya, salah satunya adalah Umar,” jawabku.

Aku tertarik untuk memberikan nama kelompok yang diambil dari nama para sahabat Nabi diantaranya adalah Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Harun Ar Rasyid.  Harapannya anak-anak akan mengidolakan  para tokoh tersebut. Dengan ghirah yang coba dihembuskan lewat keteladanan cerita, paling tidak ada sesuatu yang berbekas dalam benak anak-anak, pikirku waktu itu.

“Sahabat Rasul tersebut diantaranya Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Harun Ar Rasyid.”

“Ada yang sudah pernah mendengar namanya?”, tanyaku kemudian.

“Tadi baru saja ibu cerita tentang Umar,”

“Yang lain mungkin?”

“Abu Bakar itu yang kaya raya itu kan?” sela Jatu.

“Iya, betul sekali Jatu. Kalau yang lain?”

Setiap kali penyebutan nama kelompok, aku selalu mencoba untuk mengulas bagaimana sifat dan watak dari para tokoh yang dipilih sebagai nama kelompok. Abu Bakar dan Utsman bin Affan lewat kedermawanannnya, Umar lewat keberanian ketegasannya, Ali lewat kecerdasannya dan Harun ar Rasyid lewat keadilannya.

Kelompok pun telah diubah namanya. Semua anak saling membanggakan nama kelompok masing-masing. Hingga pada suatu ketika, kelompok yang bernama Umar bin Khattab anggotanya rata-rata lemes semua. Mereka mengantuk dan tidak bersemangat. Padahal dalam cerita kusebutkan bahwa Umar bin Khattab adalah seorang tokoh yang sangat pemberani dan disegani oleh kaum kafir. Ketegasannya telah membuat para tokoh kafir pun gentar.

Aku pun berucap, “ Ayo kelompok Umar kok loyo, semangat dong. Nanti Umar bin Khattab marah kalau namanya dipakai untuk kalian yang loyo-loyo.”

Seorang anak menyeletuk ,” Lho emang Umar bin Khattab masih hidup po Bu?”

Aku pun menjawab, “Tidak, beliau sudah meninggal”

Siswa tersebut menyahut lagi, “Kalo misal sudah meninggal berarti tidak bisa marah dong Bu.”

Ow, ow, kepolosan yang mengandung pembelajaran pikirku. Hikmah yang sungguh luar biasa dari kejadian yang sungguh tak terduga. Pertanyaan simple tapi tak pernah terpikir dan mungkin bingung untuk menemukan jawabannya. Pemikiran yang senantiasa kritis atas segala sesuatu yang baru dari apa yang dilihat, didengar dan dialami. Akankah aku berhenti belajar ketika anak-anak selalu berkembang seiring tersambungnya tiap hubungan dendrit di dalam otaknya. Benarlah bila dikatakan bahwa belajar itu adalah proses sepanjang hayat (long life education). Menuntut ilmu itu dimulai dari buaian sampai ke liang lahat. Dia hanya akan berhenti ketika ruh telah terpisah dari raga.

Selasa, 20 April 2021

Ramadhan Day-6: Pembiasaan Penggunaan “Basa Krama” untuk Membangun Sopan Santun

17.40 0 Comments

 

Fenomena masyarakat saat ini sudah sangat jauh berubah. Peristiwa demi peristiwa menghias halaman depan surat kabar ataupun topik utama dalam pembahasan diskusi pada semua stasiun televisi. Tak tertinggal pula segala peristiwa yang membuat bulu kuduk ini bergidik menyaksikannya. Betapa tidak, berita mengenai kebrutalan anak kepada orang tua ataupun kebiadaban orang tua kepada anak sudah melampau batas fitrah yang selayaknya. Belum lagi tingkah polah para pemimpin negeri yang sudah tak malu lagi berbuat kesalahan yang akibatnya pun ditanggung oleh rakyatnya. Apakah itu? Korupsi sendiri ataupun dengan berjamaah. penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri ini sudah menjadi satu rahasia umum. Pembangunan dinasti keluarga pada suatu instansi, penyelesaian perkara dengan uang sebagai pelicin dan masih banyak lagi kasus lain yang mungkin tak sempat terekspos oleh media.

Berbagai fenomena di atas merupakan sebuah hasil dari proses lama sebuah pembentukan kepribadian atau karakter. Karakter tersebut berawal dari individu-individu yang bermental lemah yang akhirnya menjadi sebuah karakter bangsa. Seorang ahli pernah mengatakan bahwa jika kita menanam kebiasaan maka akan terbentuklah karakter. Beberapa karakter yang tersebut di atas, semisal karakter korup merupakan kebiasaan turun menurun yang tidak pernah diputus yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan ada pemakluman ataupun pemaafan. Bisa dibilang, kesalahan yang dilakukan berulang kali tidak dianggap lagi sebagai kesalahan. Semua itu sudah disebut sebagai kebiasaan yang berbuah pada karakter. Kondisi tersebut akhirnya mendarah daging dan sulit untuk dihilangkan.

Pembentukan karakter ini merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan sebuah bangsa. Jika semakin lama karakter korup yang dibiasakan maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang berkarakter korup. Jika yang dibiasakan adalah karakter sogok, maka akan muncullah karakter sogok atau pelicin dalam semua lini pemerintahan. Apalagi yang mau dikata jika hal tersebut sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Suatu yang jelek jika dibiasakan akan menjadi karakter, maka sesuatu yang baik pun ketika dibiasakan maka akan menjadi sebuah karakter juga. Namun, mungkin belum banyak yang mengumandangkan bagaimana karakter baik itu terbentuk. Padahal banyak karakter baik yang sebenarnya dimiliki oleh bangsa ini.

Bangsa yang menginginkan manusia yang berkarakter baik, maka harus berupaya untuk mewujudkannya lewat media bernama pendidikan. Kenapa harus pendidikan? Karena tujuan dari pendidikan adalah untuk membentuk dan juga mengubah. Membentuk pembiasaan yang baik melalui pendidikan, menanamkan pemahaman melalui pendidikan. Selain itu, mengubah sesuatu dari buruk menjadi baik pun juga melalui pendidikan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menjadi indikator kemajuan sebuah bangsa. Hal tersebut dikarenakan dengan pendidikan yang baik, maka kualitas manusia pun akan sejalan.  Begitu pula sebaliknya.

Sopan santun merupakan bagian dari karakter bangsa. Adat ketimuran terkenal dengan kekhasan kesantunan dalam berbahasa, berbusana maupun bertingkah laku. Terutama  dalam kebiasaan masyarakat Jawa, kekhasan tersebut sangat diberikan perhatian. Kebiasaan sikap dan bahasa seorang anak kepada orang yang lebih tua menjadi sebuah aturan informal yang memasyarakat. Dalam bertutur kata misalnya, seorang anak hendaknya menggunakan “basa krama” jika berbicara kepada orang yang lebih tua. Jika ada yang “njangkar” atau tidak menggunakan basa krama, maka dalam pandangan masyarakat anak tersebut tidak memiliki sopan santun.

Namun, kebiasaan tersebut kini kian luntur. Menghilangnya kebiasaan penggunaan “basa krama” ini dibarengi dengan semakin membudayanya penggunaan Bahasa Indonesia bahkan bahasa asing dalam keseharian anak-anak. Tidak ada salahnya sama sekali jika anak-anak terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing karena hal tersebut sebagai bagian untuk mempersatukan bangsa. Dalam konteks pelestarian bahasa daerah, alangkah lebih baiknya jika porsi penggunaan Bahasa Jawa juga mendapat perhatian. Dalam sebuah penelitian terbukti bahwa tiap tahun terdapat Bahasa Daerah yang hilang di Indonesia. Alasannya adalah karena bahasa tersebut jarang bahkan tidak pernah digunakan oleh penduduk setempat. Apakah sebagai orang Jawa asli, kita akan merelakan Bahasa Jawa memiliki nasib sama, tentu tidak. Hal tersebut dapat kita atasi dengan membiasakan menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan teruama dalam lingkungan keluarga atau rumah.

 

Penggunaan basa krama dalam percakapan sehari hari dapat membentuk karakter seseorang. Jika seseorang tersebut menggunakan/berbicara dengan basa krama, tidak akan dia bicara dengan keras atau lantang. Karena karakter menggunakan basa krama itu adalah dengan kelemahlembutan. Sikap yang ditunjukkan pun juga akan mengikuti. Seorang yang berbicara dengan basa krama pasti akan menjaga sopan santunnya.

Sri Edi Swasono dalam kongres Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menyampaikan bahwa terkait dengan penghargaan bangsa terhadap kebudayaan, jika jati diri bangsa tidak ditanamkan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional tidak dimiliki maka bangsa ini akan ela-elo, terombang-ambing ngalor ngidul ora rono-ora rene, ora ngono, ora ngene. Pernyataan tersebut kini telah terjadi di sekitar kita. Fakta yang bisa kita lihat adalah dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Misalnya: anak-anak lebih memilih menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa Jawa. Orang tua akan merasa bangga jika anaknya dapat diterima pada sekolah ataupun kelas dengan label “internasional”. Masyarakat lebih merasa mempunyai prestise ketika memiliki barang-barang yang bermerek dari luar negeri. Tontonan yang sering ditemui di televisi pun sebagian besar bernilai  kebaratan, entah dari film, iklan, lagu dan lain sebagainya. Sangat sedikit ataupun tidak ada sama sekali tayangan yang mengedepankan kebudayaan daerah. Jika adapun mungkin hanya di saluran TV nasional dan memiliki rating yang bisa dibilang rendah.

Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa penanaman sejak dini terhadap kebudayaan sangatlah penting. Melihat perkembangan zaman yang semakin tidak bersahabat, yang semakin menggerus jatidiri bangsa.

Pembiasaan penggunaan Bahasa Daerah tersebut dapat diawali dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga. Orang tua memiliki peran untuk pelestarian ini. Lingkungan yang juga mempunyai tanggung jawab adalah sekolah. Sekolah merupakan lingkungan dimana siswa menghabiskan sebagian besar waktunya. Dalam rentang tersebut, siswa berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat.

Manusia senantiasa berubah sesuai dengan kultur dimana ia tinggal. Sifat manusia tidaklah statis melainkan dinamis. Hal ini dibuktikan bahwa dalam masyarakat kita tidak sedikit orang yang dulunya jahat sekarang menjadi baik, lebih baik dari kita bahkan. Begitu pula sebaliknya, banyak juga orang yang dulunya baik berubah 180 derajad menjadi orang yang sangat jahat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sifat atau karakter seseorang bukanlah murni bawaan secara genetis, namun andil pembiasaan dan lingkungan pun juga sangat besar. Kondisi tersebut menjadi sebuah peluang ataupun kesempatan bagi para pendidik untuk membentuk karakter seorang anak sejak dini.

 
pict: google