Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Kamis, 23 November 2017

Kurikulum, Jangan Ketinggalan Zaman

13.45 0 Comments
Perubahan zaman yang terjadi pada abad ke-21 ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dipungkiri apalagi dihindari. Globalisasi telah mengubah semua segi kehidupan dalam masyarakat. Perubahan tersebut diantaranya terjadi pada pemanfaatan teknologi. Saat ini, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia dicukupi dan diselesaikan dengan teknologi. Sebagai contoh perkembangan teknologi tersebut adalah adanya internet dan televisi yang memungkinkan penonton menentukan sendiri apa yang akan dipilih. Belum lagi segala peralatan komunikasi yang semakin canggih memberikan kesempatan untuk beraktivitas dan bermobilitas dengan sangat mudah. Adanya perkembangan teknologi tersebut menurut Giddens (2009:1) disebut sebagai sebuah dunia yang tunggang langgang (runaway world). Hal ini berarti bahwa jarak dan waktu bukan menjadi sebuah halangan bagi aktivitas yang akan dilakukan.
Gejala akan perubahan tesebut juga berdampak pada dunia pendidikan yang notabene memiliki hubungan erat dengan perubahan dalam bidang teknologi maupun ekonomi. Perkembangan dalam bidang ekonomi maupun teknologi tersebut telah mengubah karakter dari ilmu pengetahuan. Prof. Dr. Jimmy Assidiqie mengungkapkan bahwa dengan adanya ICT pada saat ini, proses pembelajaran pada lingkungan sekolah tidak memerlukan guru ataupun dosen sebagai penyampai ilmu. Ilmu pengetahuan dapat didapatkan dengan mudahnya melalui fasilitas yang sangat berlimpah di sekitar peserta didik[1]. Paradigma berpikir pembelajaran jaman dulu yang menganggap bahwa peserta didik sebagai sebuah gelas kosong harus diubah. Ketika pertama duduk di bangku sekolah, seorang peserta didik merupakan sebuah gelas berisi yang siap untuk diberikan warna dan rasa oleh para guru.
Pergeseran lain yang terjadi adalah dalam hal skill yang diasah. Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Oleh karena itu, skill/kemampuan yang diasah pun tidak hanya menitikberatkan pada siswa untuk tahu apa, tetapi lebih kepada siswa bisa melakukan apa dari ilmu yang diketahui. Bloom (2010: 26) menyampaikan  bahwa terdapat tiga ranah yang dikembangkan dalam proses pembelajaran yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Dari segi kognitif, pola pembelajaran di Indonesia sangat menonjol dengan mengantarkan siswanya untuk menghafal semua rumus dan konsep dari materi pelajaran. Namun, sisi psikomotor yang menitikberatkan pada praktik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masih sangat kecil porsinya. Sementara untuk ranah afektif yang menitikberatkan pada pembentukan karakter, saat ini sedang digaungkan melalui rencana implementasi kurikulum 2013.
Perubahan zaman yang membawa pada pergeseran pengetahuan dan tuntutan penguasaan skill / keterampilan yang lebih kompleks tersebut menuntut dunia pendidikan untuk senantiasa melakukan perbaikan. Salah satu komponen dari sistem pendidikan yang urgent untuk dilakukan perubahan dalam rangka mengikuti perkembangan zaman adalah kurikulum. Perubahan zaman tersebut menuntut dunia pendidikan untuk senantiasa melakukan inovasi dalam rangka mengimbangi perkembangan yang ada.




[1] Disampaikan dalam pembinaan guru-guru Al-Azhar Jatijaya, 15 September 2012 di Semarang.

Selasa, 14 November 2017

Yuk Bermain, Antri Ya!...

08.39 0 Comments
Hari itu kuajak anak-anak bermain di arena prosotan dan ayunan. Semua anak berebut untuk mencoba mainan tersebut. Sudah ada kesepakatan bahwa setiapyang akan naik prosotan harus antri terlebih dahulu. Namun, ada satu anak yang melanggar peraturan yang telah disepakati. Dia menaiki tempat prosotan dengan melawan arus yang seharusnya. Semua anak protes dan menyalahkan anak tersebut. Kucoba dekati anak tersebut, “Adek, kenapa kamu naik lewat arah yang berbeda?”, tanyaku sambil menunjuk tempat dia tadi menaiki prosotan.
“Habisnya, kalau naik lewat sana harus antri, Bu”, jawabnya dengan santai.
“Oh, begitu ya. Kira-kira apa yang kamu lakukan berbahaya tidak ya?”, lanjutku.
“ Ya, berbahaya Bu.”
“Apa bahayanya, Nak?”
“Bisa tubrukan dengan temanyang dari atas.”
“Kalau begitu, betul atau salah ya kalau kita naik dengan cara seperti itu?”
“Salah, Bu.”
“Nah, kalau sesuatu yang salah itu boleh diulangi tidak ya?”
“Tidak, Bu.” Jawab anak tersebut.

Bermain perlu latihan. Sebagaimana pula kelasku. Kulatih mereka bermain sesuai dengan dunia mereka. Melatih untuk bisa saling menghormati dan menghargai.. Sebelumnya diberikan beberapa peraturan agar berjalan dengan baik. Peraturan itu diajukan sendiri oleh anak-anak, bukanlah guru yang menentukan. Diantara yang mereka usulkan adalah antri, bergantian, tidak menyakiti teman, membantu dan lain sebagainya. Alhamdulillah, peraturan bisa berjalan dengan baik. 

Nafisah Al Akhfiya'

Selasa, 07 November 2017

Kreativitas Tanpa Batas

08.24 0 Comments
Kreativitas menurut kamus berarti kemampuan untuk mencipta (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2002:599). Kreativitas adalah ekspresi manusia (berpikir, merasa, menginderakan, dan intuisi). Kreativitas mengandung getaran emosional yang sangat khusus (Clark 1986 dalam Semiawan, 1997). Sedangkan menurut Munandar, kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru atau kemampuan untuk membentuk kombinasi-kombinasi baru dari bahan, unsur atau hal-hal lain yang telah tersedia sebelumnya (1992).
Istilah kreativitas diambil dari bahasa Inggris, yaitu dari kata dasar to create yang berarti to cause (something new) dan to exist produce (something new). Dari kata to create tadi dapat dibentuk berbagai kata jadian. Kita dan anak sebenarnya sudah kreatif. Lahir awal ke dunia sudah kreatif. Kreativitas anak merupakan tahapan paling awal dari seluruh tahapan kreativitas yang ada. Maka kreativitas anak justru dimaksudkan sebagai landasan kokoh untuk hadirnya kreativitas yang sejati. Membangun kreativitas anak berarti membangun fondasi kreativitas itu sendiri. Ibarat bangunan, fondasi itulah yang akan menentukan wujud bangunan finalnya. Kalau fondasi saja dangkal, tak mungkin di atasnya berdiri bangunan tingkat lima. Semakin kuat dan tinggi bangunan yang akan didirikan di atasnya, semakin dalam dalam dan kuat fondasi yang harus dibangunnya.
Seseorang individu dengan potensi kreatif dapat dikenal secara mudah melalui pengamatan ciri-ciri yang dimiliki terutama dalam setiap pertemuan atau diskusi. Ciri-ciri tersebut antara lain:
a.         Mempunyai hasrat ingin mengetahui
b.        Bersikap terbuka terhadap pengalaman baru
c.         Panjang akal
d.        Keinginan untuk menemukan dan meneliti
e.         Cenderung lebih suka melakukan tugas yang lebih berat dan sulit
f.         Berpikir fleksibel, bergairah, aktif dan berdedikasi dalam melakukan tugas
g.        Menanggapi pertanyaan dan punya kebiasaan untuk memberikan jawaban lebih banyak
Sedangkan Parnes (1972) mengungkapkan bahwa kemampuan kreatif dapat dibangkitkan melalui masalah yang memacu pada lima macam perilaku kreatif sebagai berikut:
1.        Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan mengemukakan ide yang serupa untuk memecahkan suatu masalah.
2.        Flexibility (keluwesan), yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa
3.        Originality (keaslian), yaitu kemampuan memberikan respon yang unik atau luar biasa
4.        Elaboration (keterperincian),yaitu kemampuan menyatakan pengarahan ide secara terperinci untuk mewujudkan ide menjadi kenyataan
5.        Sensitivity (kepekaan) yaitu kepekaan menagkap dan menghasilkan masalah sebagai tanggapan terhadap suatu situasi.

Kreativitas merupakan barang langka dan mahal, karena tercipta dari hasil olah pikir yang tidak biasa. Orang yang bermental kreatif memang cenderung “nyleneh” dalam pandangan umum. Akan tetapi, kreativitas itulah yang menghidupkan seluruh dendrit dan akson di otaknya.

Nafisah Al Akhfiya'
11-2017
 

Sabtu, 04 November 2017

Bijak Memilih Mainan untuk Anak

09.31 0 Comments

Mainan merupakan satu hal yang tak bisa terlepas dari dunia anak. Bahkan bisa dikatakan bahwa mainan ini merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi mereka. Dengan begitu, orang tua perlu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pemenuhan akan mainan ini pun tak hanya sekedar menunaikan kewajiban saja tanpa memperhatikan beberapa pertimbangan. Banyak orang tua mengira bahwa mereka telah melakukan tugas mereka dengan baik jika mereka membelikan mainan yang banyak dan bagus untuk anak-anaknya. Namun, mereka tidak merasa perlu menumbuhkan minat anak dengan menunjukkan apa saja yang dapat dilakukan dengan bahan/alat permainan tersebut. Di sinilah peran penting dari orang tua sebagai motivator, fasilitator dan  mediator yang membantu anak melihat kemungkinan yang ada yang terkandung dalam suatu alat permainan dan bagaimana menggunakannya dalam bermain.
Beberapa pertimbangan yang perlu untuk diperhatikan diantaranya adalah:
1.    Kesukaan anak , alasannya jika mainan itu tidak atas dasar kesukaan anak, maka anak tidak mau memainkannya.
2.    Harga, alasannya disesuaikan dengan keadaan rumah tangga keluarga.
3.    Bentuk,  alasannya adalah karena mainan itu tidak berbahaya/aman bagi anak.
4.    Warna, alasannya anak-anak sebagian besar lebih menyukai warna-warna yang mencolok.
Faktor lain yang mendasari adalah tingkat usia anak. Mainan yang sama dapat digunakan oleh anak-anak dari umur yang berbeda, tetapi maknanya berbeda. Misalnya bermain dengan balok-balok dapat dilakukan oleh seorang bayi (yang hanya memegangnya dan memasukannya ke dalam mulut), anak kecil dengan membuat deretan/tumpukan dari balok-balok tersebut tanpa tujuan tertentu. Sedangkan anak yang lebih besar menggunakan imajinasinya (fantasi/khayalan) untuk membangun sesuatu.
Sedangkan menurut Prof .Dr. S.C. Utami Munandar, alat permainan yang dapat menunjang kreativitas adalah yang memiliki beberapa nilai diantaranya: fisik, sosial, edukatif, kreativitas, terapeutis, pemahaman diri, moral, akhlak, kepribadian dan solutif

Jadi dalam memberikan mainan itu tidak hanya tergantung dari banyak/sedikit mainan. Yang lebih baik adalah menyediakan alat permainan anak dalam jumlah yang terbatas sehingga tidak terjadi “overstimulation” dan anak lebih mudah memfokuskan perhatiannya pada beberapa mainan. Seiring dengan perkembangan zaman, hendaknya perlu dikembangkan alat-alat permainan baru yang mengandung nilai-nilai tradisional namun tetap relevan dengan perkembangan zaman. Karena di samping merupakan warisan budaya, pada umumnya relatif tidak mahal (menggunakan bahan sederhana dan mudah diperoleh) dan bermanfaat bagi perkembangan anak. Dengan begitu, perkembangan anak tetap tertunjang dan juga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.


Nafisah Al Akhfiya'
04/11/2017