Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Jumat, 24 Februari 2017

Model Pendidikan Karakter

11.23 0 Comments
Pendidikan karakter yang digaungkan saat ini sepertinya belum bisa menjawab persoalan yang semakin hari semakin bertambah berat. Persoalan tersebut diantaranya terkait dengan moral dan akhlak anak dalam kehidupan kesehariannya. Penanaman karakter melalui doktrinasi seperti yang diberikan para pendahulu tidak lagi bisa diterapkan pada kondisi zaman seperti saat ini. Kondisi siswa saat ini lebih membutuhkan pemahaman yang “gamblang” tentang segala sesuatu yang mereka hadapi. Pemberian tauladan pun semakin tak dihiraukan. Hal ini disebabkan adanya krisis figuritas. Figur atau tokoh yang layak untuk bisa dijadikan pijakan dalam bersikap semakin sedikit. Ketika ada pun, biasanya mereka adalah bagian kecil dari masyarakat yang tak terekspos oleh media. Padahal saat ini, figur yang biasa menjadi panutan dan anutan seorang anak adalah yang sering muncul di media massa.  Walaupun kadang tidak menghiraukan sama sekali kualitas dari sang figur tersebut.
Pemangkasan materi sebagai usaha perbaikan kurikulum pun sepertinya belum menampakkan hasil. Beberapa pandangan menyebutkan bahwa merosotnya kualitas pendidikan karakter dikarenakan beban berat seorang anak dalam menerima pelajaran. Guru terfokus untuk menyampaikan gemuknya materi sehingga tak menghiraukan lagi segi sikap ataupun afektif peserta didiknya. Pendapat ini tak juga salah. Tuntutan yang berat dari kurikulum memang membuat guru kewalahan. Tak hanya dalam hal mengajar saja tetapi juga dalam hal mendidik. Alhasil, nilai hidup yang sejatinya tersisip dalam setiap proses pembelajaran pun menjadi terlupa.
Pertanyaan besar yang mungkin bisa diajukan saat ini adalah: model pendidikan karakter seperti apa yang tepat untuk diterapkan dalam mengatasi segala problematika yang membelit moral anak bangsa? Yang pertama harus diyakini oleh para pendidik adalah segala masalah pasti mempunyai jalan keluar. Salah satu jalan keluar dalam menjawab pendidikan karakter bangsa ini adalah dengan metode komprehensif. Apa itu metode komprehensif dalam pendidikan karakter? Metode ini berkembang sebagai kesadaran akan situasi yang serba kompleks. Pendekatan ini menekankan pada lulusan yang mampu membuat keputusan moral dan sekaligus memiliki perilaku yang terpuji berkat pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan (Zuchdi, dkk, 2013: 16). Pendekatan ini melibatkan beberapa segi diantaranya metode yang diterapkan, pendidik yang berpartisipasi, serta konteks berlangsungnya pendidikan karakter.

Metode yang digunakan dalam pendekatan komprehensif pendidikan karakter meliputi inkulkasi (inculcation), keteladanan (modelling), fasilitasi (facilitation) dan pengembangan keterampilan (skill building). Inkulkasi atau penanaman nilai merupakan usaha pengintegrasian nilai kehidupan pada diri anak secara terus-menerus setiap hari. Sebagai contoh adalah menghargai pendapat orang lain, memperlakukan orang lain secara adil, mengomunikasikan kepercayaan ataupun keragu-raguan disertai alasan yang mendasarinya, memberikan konsekuensi disertai alasan yang kuat, menjaga komunikasi dengan teman yang berbeda pendapat, memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda. Sikap tersebut harus dibiasakan dan menjadi bagian hidup dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh para siswa. Usaha penanaman tersebut tak akan sempurna jika tidak dilengkapi dengan modelling, facilitating dan skill building. Pembahasan selanjutnya dapat dibaca pada Model Pendidikan Karakter (part 2).
 

Kamis, 23 Februari 2017

Siswa, Ladang Belajar Guru

14.17 0 Comments

Siswa merupakan bagian tak terpisahkan dalam sebuah proses pendidikan. Mereka adalah subjek sekaligus objek dari pendidikan tersebut. Ketika pertama kali guru bertemu dengan siswanya, pastilah akan menemukan beragam tipe ataupun karakteristik pada tiap individu. Seorang anak dilahirkan dengan berbagai keunikan. Penciptaan manusia dengan berbagai ragam rupa, sifat, kemampuan pun termasuk di dalamnya. Perbedaan adalah hukum fitrah dalam semua bidang kehidupan. Bahkan Allah SWT dalam menciptakan setiap makhluk-Nya tidak ada satupun yang sama persis. Sudah bisa dipastikan dari dua individu pasti terdapat perbedaan dalam satu ataupun beberapa hal. Perbedaan ini mencakup seluruh aspek kehidupan.
Dalam konteks pendidikan, unsur yang saling berinteraksi di dalam proses pembelajaran adalah antara guru dengan siswa, maka hakikat dari perbedaan ini juga penting untuk dipahami. Perbedaan siswa sebagai pelaku pendidikan merupakan suatu hal yang wajar, karena mereka berasal dari latar belakang yang sangat beragam pula. Individu perserta didik memiliki cara-cara yang berbeda dalam memahami informasi dalam proses pembelajaran. Perbedaan ini tergantung pada gaya belajar yang lebih disukai.
Perbedaan dalam diri siswa tersebut dapat disikapi dengan dua hal oleh guru, yaitu menjadi sebuah penghalang ataukah menjadi sebuah peluang. Kondisi tersebut menjadi penghalang ketika guru belum sepenuhnya memahami kondisi siswa. Sebagai seorang guru, kita sangat berharap mendapat amanah anak-anak yang mudah untuk diajari, baik dalam akhlaq, pintar dan kelebihan yang lainnya. Namun, harapan tersebut tak seluruhnya sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Tak sedikit dan tak jarang pula kita mendapat amanah anak-anak yang memiliki special needs. Entah itu dalam hal kognitif, perilaku, ataupun sosial emosional. Setiap anak tidak meminta dia dilahirkan dengan special needs.
Penyikapan terhadap kenyataan bahwa banyak diantara siswa yang menjadi amanah kita memiliki kekurangan ataupun kelebihan adalah sebuah kesadaran bahwa memang itulah tugas seorang guru. Guru mempunyai kewajiban untuk membawa anak-anak yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak bisa menjadi bisa dan yang tidak baik menjadi baik. Jika semua siswa yang masuk sudah tahu, bisa dan baik, lantas apa tugas guru? Tidak mempunyai tugas apapun selain menjalani rutinitas harian yang mungkin kadang membosankan.
Menghadapi kenyataan akan kekurangan dan kelebihan siswa yang kita ajar itulah yang merupakan seni menjadi seorang guru. Anak yang diberikan kelebihan oleh Allah dengan kecepatan dalam mempelajari sesuatu, bahkan kadang lebih daripada gurunya, akan menantang seorang guru untuk tak berhenti belajar. Guru akan terpacu untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam bidang yang digeluti. Dengan begitu, guru akan terjauh dengan apa yang dinamakan comfort zone (zona aman) yang kadang tercipta karena kondisi kelas yang biasa-biasa saja. Tapi, karena ada yang yang tidak biasa alias luar biasa, maka guru pun akan berusaha mengimbanginya untuk menjadi luar biasa.
Begitu pula ketika guru dihadapkan dengan siswa yang oleh Allah memang diciptakan tidak seperti kebanyakan siswa lain dalam hal kecepatan belajar. Kondisi itu pun akan melecut guru untuk menemukan cara dalam mengajar agar si anak mudah dalam menerima pelajaran. Sikap apatis dan menyerahkan kondisi dengan menyalahkan keluarga apalagi anak yang bersangkutan bukanlah solusi. Sikap tersebut justru akan membekaskan luka mendalam di hati anak. Betapa dia akan merasa tidak diterima dan diacuhkan karena kondisinya yang berbeda dengan anak yang lain. Jangan sampai kita menjadi guru yang berpandangan seperti itu. Menyalahkan kondisi anak ketika hasil perolehan nilai tak meningkat secara signifikan. Introspeksi merupakan jalan yang harus dilakukan oleh kita para guru. Bisa jadi ketidakberhasilan tersebut karena kita sebagai guru belum berusaha secara maksimal dalam mengajar siswa yang menjadi amanah kita. Kondisi anak yang spesial tersebut telah mengubah cara berpikir guru yang mengampunya. Selain itu, kondisi tersebut juga telah membuat sang guru tak pernah berhenti untuk belajar dari waktu ke waktu.  Dengan begitu, siswa akan menjadi ladang luas tempat guru untuk selalu meningkatkan kemampuannya.