Seorang ibu yang belajar dan berproses untuk merawat dan menumbuhkan fitrah keluarga

Jumat, 18 Agustus 2000

Anak, Aset Masa Depan Bangsa

17.41 1 Comments
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini,
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
(WS Rendra, Puisi Sebatang Lisong)



“Pendidikan di masa kecil bagai mengukir di atas batu. Jika sebuah ranting mencoba untuk diluruskan, maka akan menjadi lurus. Namun jika batang mencoba untuk diluruskan maka sesungguhnya tidak akan melunak”
Anak merupakan aset yang tak ternilai harganya. Anak bagaikan selembar kertas kosong yang siap diberikan tulisan apapun dan dihias dengan warna apapun. Rasulullah SAW memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak, seperti apa yang beliau sampaikan lewat hadits yang kemudian diriwayatkan oleh Imam Bukhari, beliau bersabda:
“Tidak ada seorang anak yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fithrah. Maka ibu dan bapaknya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”
Seperti diisyaratkan juga oleh Imam Ghazali, beliau mengatakan, “Anak kecil siap menerima segala ukiran dan akan cenderung pada setiap yang diucapkan.” Maka dari itu, pendidikan yang baik merupakan hak setiap anak di seluruh dunia ini. Sebagai orang tua maupun pendidik, kita mempunyai kewajiban untuk mengantarkan anak-anak ke gerbang pendidikan yang mencerahkan. Pendidikan yang menjadikannya seorang yang utuh dalam bidang kognitif, sosial, maupun akhlaq. Anak tak bisa dipungkiri adalah penerus estafet sebuah keluarga, kelompok, organisasi, bahkan negara. Maka dari itu, sudah sepantasnyalah berbagai institusi yang langsung bersinggungan dengan anak saling bersinergi untuk menghasilkan pendidikan yang terbaik.
Institusi bernama sekolah, yang mana setiap hari pasti ditemui oleh setiap anak mempunyai kewajiban besar dalam pendidikan seorang anak. Lebih khusus lagi adalah seorang pendidik (baca;guru) yang mana ketika di sekolah sebagai pengganti peran orang tua ketika di rumah. Seorang pendidik wajib menciptakan iklim yang menyenangkan bagi siswa sebagai haknya dalam memperoleh pengajaran. Telah banyak ahli yang menulis dan mengemukakan berbagai teori pengajaran, tetapi itu semua hanya akan menguap ketika tak dipraktikkan dalam pembelajaran sehari-hari.
Penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan juga didukung oleh Peter Kline, seorang penulis buku The Everyday Genius yang mengatakan bahwa “sekolah harus menjadi ajang kegiatan yang paling menyenangkan di setiap kota”. Menyenangkan di sini tentu saja bukan diartikan tanpa tujuan. Tetapi bagaimana seorang guru bisa mendesain kelas dan memilih metode pengajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Sebagai contoh, di sebuah kelas yang berisi anak-anak dengan berbagai tipe kecerdasan (auditory, visual dan kinestetik).
Pembelajaran yang dilakukan tidak hanya menitikberatkan pada satu model saja misalnya presentasi (yang mungkin cocok untuk anak-anak visual), sementara anak dengan tipe kecerdasan kinestetik dan auditory tidak tercover. Bagaimanapun cara guru mendudukkan siswa, dan mungkin memang terlihat patuh dan tertib. Tapi percayalah bahwa sesungguhnya mereka tidak betul-betul belajar. Mereka terlihat duduk tertib karena pengaruh gurunya yang tegas atau bisa jadi killer. Alangkah malang anak-anak yang belajar dalam keterpaksaan itu. Bisa jadi ketika ada waktu berekspresi, mereka akan meluapkan dengan berlebihan bahkan tidak terkontrol. Karena sesungguhya kebutuhan mereka selama ini tidak terpenuhi. Seperti bom yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Penciptaan suasana yang nyaman tersebut pasti akan sangat berpengaruh terhadap cara pandang siswa terhadap belajar. Banyak anak yang beranggapan bahwa matematika itu sulit, tapi jangan salah. Matematika bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membuat ketagihan manakala seorang guru bisa menyulap suasana belajar di dalam kelas. Selain itu, untuk lebih memantik gairah seorang anak dalam belajar, maka siswa perlu mengetahui kegunaan dari apa yang dia pelajari. Bobby De Porter mengistilahkannya dengan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku?). Anak-anak akan bersemangat untuk melakukan sesuatu jika mereka mengetahui apa manfaat dari pekerjaan itu.
Sebagai seorang guru, pernahkah kita berkaca terhadap apa yang telah kita jalani selama ini. Bisa jadi salah satu dari kita termasuk tipe guru yang kuper (kurang perhatian), sehingga setiap kali mengajar selalau berucap “Perhatikan anak-anak”. Padahal jika kita mau mencari sebab kenapa anak-anak tidak memperhatikan bisa jadi karena pelajaran yang kita berikan atau cara mengajar yang kita gunakan tidak menarik bagi mereka. Mungkin sangat jarang kita mendengarkan apa yang anak-anak inginkan. Pembelajaran selalu berfokus kepada guru (teacher-centered) dengan mengabaikan kebutuhan seorang anak yang seharusnya diakomodasi.
Dole dan Sinatra menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan. Siswa sendiri yang melakukan perubahan tentang pengetahuannya. Peran guru hanya sebagai fasilitator, mediator dan pembimbing. Guru membantu proses perubahan tersebut dengan scaffolding dan guiding sehingga siswa bisa mencapai tingkat pemahaman yang lebih sempurna dibandingkan pemahaman sebelumnya. Guru menyuapkan tangga yang efektif, tetapi siswa sendiri yang memanjat melalui tangga tersebut untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam. Tentunya kita semua berharap tidak menjadi model guru atau orang tua yang memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang anak inginkan.